Share

Pengkhianatan Besar

Penulis: Aqilazahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-31 09:05:48

Irisha perlahan bangkit. Tangan kanannya bergetar menahan amarah, sementara bibirnya tersenyum penuh kecewa.

“Kau … benar-benar membuat aku muak, Reino.” Ia menatap tajam, matanya merah berair. “Mulai sekarang, aku tidak sudi melihat wajahmu lagi.”

“Risha, please … dengarkan aku dulu, ya?” suara Reino bergetar, mencoba mendekat. “Bulan depan kita tetap menikah, setelah anak Vania lahir, kau yang akan jadi ibunya. Aku janji, semuanya akan baik-baik saja.”

“Kak Risha?” suara lembut Vania terdengar, namun setiap katanya seperti duri. “Benar kata Mas Reino, setelah anak ini lahir, kalian bisa kok mengasuhnya. Anggap saja … anak ini juga anak Kakak?”

“Diam kau!” bentak Irisha, matanya menatap penuh kebencian. “Kalian pikir aku sudi mengasuh anak haram hasil pengkhianatan kalian berdua?”

“Risha?!” Reino meninggi, tapi Irisha tak bergeming.

“Pernikahan? Ya, tentu aku akan menikah,” ucapnya dengan nada dingin dan sarkastik. “Tapi suamiku bukan pria brengsek seperti kamu, Reino. Aku akan pastikan, kau akan menyesalinya.”

Kata itu meluncur begitu saja bagai ketukan palu yang memecah sisa perasaan di antara mereka. Irisha berbalik, melangkah cepat menuju pintu tanpa menoleh sedikit pun.

“Sha—!” panggil Reino putus asa.

Namun, sebelum Reino sempat mengejar terdengar jeritan manja dari belakang.

“Mas Reino … auww! Tolong …!” teriak Vania sambil memegangi perutnya.

Refleks, Reino langsung berbalik panik. “Mana yang sakit, Van?!” tangannya mengusap perut wanita itu dengan lembut.

“Anakmu sepertinya nggak suka dengan kedatangan Kak Risha,” bisik Vania lirih, tapi cukup nyaring untuk menusuk telinga Irisha. “Aku takut, Kak Risha nekad nyakitin anak kita.”

“Tidak apa-apa, Irisha hanya sedikit marah. Dia besok juga akan kembali padaku.”

Irisha berhenti di ambang pintu. Dadanya naik-turun menahan tangis. Ia berharap, walau hanya sekejap Reino akan mengejarnya, meminta maaf, mungkin berlutut di hadapannya. Tapi tidak. Reino tetap di sana, memeluk Vania.

Air mata Irisha jatuh tanpa izin. Ia tersenyum getir. “Brengsek kau, Reino …,” bisiknya parau. “Aku bersumpah … aku akan membuat hidupmu menderita.”

Dengan langkah tergesa, ia berjalan keluar lorong rumah sakit. Pandangannya kabur karena air mata, sampai—

Brak!

Tubuhnya menabrak seseorang.

“Auww! Kalau jalan pakai mata, dong?!” serunya spontan.

Pria itu menatapnya datar, suara baritonnya dingin namun memikat. “Lucu, kau yang menabrak, kau juga yang marah.”

Irisha mengangkat wajahnya dan seketika bungkam.

Pria di depannya tinggi, rahangnya tegas, mata hitamnya tajam namun tenang. Seragam dokter dengan name tag bertuliskan Dr. Revan Dirgantara menambah pesonanya.

Dalam hati, Irisha mengumpat pelan. Ia tahu, dokter tampan itu sangat terkenal ketampanannya. “Sial … apa yang kau pikirkan, Irisha?”

Revan menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada rasa familiar yang menyentak ingatannya. “Wajah ini … bukankah dia calon istri Reino, anakku?” batinnya mengerut tajam.

Irisha cepat-cepat membuang pandangan, menarik napas panjang. “Sorry, Dok. Saya terburu-buru … habis mergokin pacar saya, dia selingkuh,” ujarnya ketus, lalu melangkah pergi.

Tapi langkah Irisha terhenti ketika suara berat itu memanggil pelan dari belakang. “Tunggu? Kau ... bukannya kau calon istrinya Reino, kan?”

Ia menoleh perlahan. Revan masih berdiri di sana, cukup dekat untuk membuat napasnya tercekat. Tatapan pria itu tenang, tajam, seolah menelan-jangi isi pikirannya.

“Kau kenal pria brengsek itu?” tanya Irisha dengan nada menantang.

Revan tidak menjawab. Ia justru melangkah maju, langkah demi langkah, hingga Irisha terdesak di antara tubuhnya dan dinding dingin di belakang. Jarak mereka tak bersisa, hanya embusan napas pria itu menyapu kulit wajahnya, membuat bulu kuduknya berdiri.

Senyum tipis melintas di bibir Revan. “Kau bilang Reino pria brengsek?”

“Iya,” jawab Irisha lantang, menatap lurus ke matanya. “Dan katanya, ayahnya juga pria brengsek. Pantas saja melahirkan anak bajin-gan seperti dia.”

Revan memejamkan mata sejenak. Saat membuka lagi, ada kilat emosi samar di balik tatapannya — antara geli dan marah. “Tajam sekali lidahmu. Tak heran Reino selalu mengeluh tentangmu.”

Irisha tersenyum miring. “Kau dokter mereka, kan? Kalau begitu, semoga kita bisa kerja sama … membuang bahkan membunuh anak haram itu dari muka bumi ini.”

Tatapan Revan membeku. “Anak haram?”

“Ya. Pria itu sudah menghamili adik tirinya sendiri.” Ia mengangkat dagu, penuh kebencian. “Dan aku, kekasihnya, hari ini dibuang seperti sampah.”

Revan menatap Irisha lama, seakan menembus luka di balik matanya. “Di mana Reino?” tanyanya datar.

Irisha menaikkan alis. “Kenapa kau tanya aku? Bukankah dia pasienmu? Atau kau terlalu sibuk membela pasien kesayanganmu itu?”

“Jangan menuduh Reino sembarangan!” sergah Revan tiba-tiba, suaranya menggelegar membuat Irisha tersentak.

Irisha mendesis, “Siapa kau sebenarnya? Oh ... atau kau dibayar untuk melindungi selingkuhannya itu? Reino benar-benar pengecut!”

Dan dalam sekejap, Revan menekan tubuhnya lebih keras ke dinding. Matanya kini gelap, membakar. “Sekali lagi kau sebut anakku bajingan,” suaranya berbisik tapi mematikan, “akan kubuat kau menyesal hidup di dunia ini, Irisha.”

Gluk.

Irisha menelan ludah. “Anakmu? J-Jadi… kau ayahnya Reino?”

Revan menatapnya tajam. “Ya. Aku Revan Dirgantara. Ayah dari pria yang kau sebut brengsek.”

Irisha menatap lencana nama di jasnya, lalu terkekeh getir. “Pantas. Nama kalian bahkan mirip. Tapi ternyata, kau lebih brengsek dari anakmu sendiri, Dokter Revan.”

Revan mengangkat dagu, menatapnya penuh kalkulasi. “Kalau begitu, buktikan. Tunjukkan padaku kalau anakku memang seburuk yang kau tuduhkan.”

Irisha tersenyum miring, bola matanya berkilat nakal. “Baik. Tapi kalau aku berhasil membuktikannya … kau yang akan menggantikan posisinya menikahiku. Deal?”

Dia tahu, pria di depannya ini sudah lama menduda. Sementara istrinya yang terdahulu, ibu Reino, lebih memilih menikah lagi dengan pengusaha sukses.

Revan membeku sejenak. Napasnya berat, sementara Irisha mendekat, jarak mereka kembali meleleh jadi debu.

“Deal,” bisik Irisha sendiri, tanpa menunggu jawaban. Ia menegakkan tubuh, lalu mengecup bibir Revan sekilas, cepat, tapi cukup untuk menyalakan bara.

Ia tersenyum puas melihat ekspresi terkejut di wajah pria itu. “Tunggu aku di pelaminan, Sayang,” bisiknya, sebelum melangkah pergi dengan senyum penuh tantangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Pelan-pelan

    Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Mari kita saling mengobati

    Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Godaan IRisha

    Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Menikahi Irisha

    Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Teka-teki

    Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Tak ada lagi gugup, dan degup

    Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status