MasukRevan masih berdiri di tempat yang sama. Tangannya terangkat pelan, mengusap bibirnya yang masih terasa hangat, bekas ciuman singkat dari wanita yang bahkan seumuran dengan anaknya sendiri.
Ia mendesis pelan, menatap arah langkah Irisha yang baru saja menjauh. “Sial … bisa-bisanya dia menciumku,” geramnya lirih, separuh marah, separuh bingung oleh getaran aneh yang entah kenapa enggan ia akui. Sementara itu, Irisha kembali ke ruangan ibunya. Begitu melihat sang ibu masih terbaring koma, tangisnya langsung pecah. Ia menggenggam tangan ibunya yang dingin, memejamkan mata menahan perih. “Ibu … pria yang kukira baik ternyata jauh lebih jahat dari dugaanku. Aku nggak akan menikah dengannya, Bu. Maafkan Risha, ya?” Suara tangisnya pelan, namun ada bara kecil yang perlahan tumbuh di balik kesedihan itu. Ia menatap wajah ibunya lagi, lalu mengusap air matanya dengan senyum getir. “Dokter Revan?” gumamnya pelan sambil terkekeh. “Lucu juga … masa aku harus nikah sama papahnya Reino?” Ia tertawa kecil, matanya berkilat nakal, tapi juga kelam. “Tapi kalau itu terjadi … bagus juga. Aku akan pastikan Reino setiap hari harus lihat aku bermesraan dengan ayah kandungnya.” Tawa pelan itu menggema di ruangan sunyi, tawa yang terdengar lembut, tapi menyimpan luka dan dendam yang dalam. Dua hari kemudian, malam itu Irisha menatap layar ponselnya, dua hari sudah ia mengumpulkan beberapa potongan bukti dari pesan, foto, dan rekaman, tapi satu hal pasti, ia merasa masih belum cukup untuk mengumpulkan bukti yang kuat agar Revan tahu kelicikan dan keburukan anaknya selama ini. “Om Revan bukan pria bodoh! Aku harus menunjukkan bukti yang kuat. Baiklah Irisha, kali ini kau harus mendapatkan bukti perselingkuhan Reino dan si Vania itu!” desisnya tajam. Malam itu, ia menunggu di koridor rumah sakit, menahan napas setiap kali langkah kaki lewat. Tatapan matanya tajam, penuh tekad dan dendam. Begitu melihat Reino masuk ke kamar Vania, Irisha bergerak perlahan. Mengendap seperti bayangan, ia mendekat ke celah pintu yang terbuka sedikit. Suara lembut Vania terdengar samar. “Mas? Kamu nggak coba untuk nemuin Kak Risha? Bukannya pernikahan kalian sebentar lagi? Aku nggak apa-apa kok, kalau ditinggal di sini, lagian kondisi anak kita sudah membaik.” Reino duduk di tepi ran-jang, tangannya mengelus perut Vania yang mulai membuncit. Ia menunduk, lalu menempelkan bibirnya lembut di sana. “Biarkan saja. Dia harus merenungi kesalahannya. Nanti juga, kalau marahnya hilang, dia bakal balik lagi nemuin mas,” ujarnya tenang, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Vania hanya tersenyum pahit. “Sialan, aku harus menggunakan cara apalagi agar mas Reino menjauh dari Irisha?” Dari balik pintu, Irisha mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Matanya panas, dadanya sesak menahan emosi. “Sialan kau Reino … kalian yang bersalah, tapi aku yang harus minta maaf?” bisiknya dengan suara bergetar. “Kau benar-benar pria gila, Reino.” Di dalam kamar itu, ketegangan semakin terasa. Vania mengusap puncak kepala Reino dengan lembut, jemarinya gemetar menahan emosi. “Mas … aku tuh sayang banget sama Mas Reino,” bisiknya serak. “Aku ingin kita menikah, Mas?” Reino mengangkat wajah, menatap Vania dengan mata yang tampak letih. “Vania … kita nggak bisa menikah.” Kata-kata itu meluncur pelan, tapi cukup untuk menghancurkan sesuatu di dalam hati Vania. Matanya langsung berkaca-kaca. Ia menggigit bibir, mencoba tersenyum meski wajahnya mulai basah oleh air mata. “Tapi kenapa, Mas? Anak ini … butuh kita berdua. Aku nggak mau kalau suatu hari nanti anakku memanggil wanita lain ibu,” suaranya bergetar, diselimuti ketakutan dan rasa bersalah. “Van …” Reino menunduk, napasnya berat. Ia tahu, apa pun yang ia katakan tak akan cukup menenangkan. Vania menggenggam tangan Reino, erat. “Please, Mas. Aku akan bicara sama papahku. Ibumu juga pasti bisa mengerti. Lagian … kita nggak punya hubungan darah, kan?” ucapnya memohon, lirih tapi nekat. Reino mengangkat pandangannya lagi, menatap Vania lurus-lurus. “Mas cinta sama Irisha, Van.” Hening. Kalimat itu menggantung di udara, seperti pisau yang meluncur perlahan dan berhenti tepat di dada Vania. Ia menarik napas panjang, lalu menahan tangis yang sudah mengenang sedaritadi. Tangan yang tadi mengusap kepala Reino kini mengepal di pangkuannya. Sementara di balik pintu, Irisha menatap keduanya dengan mata bergetar, marah, kecewa, namun ada sisa rasa yang tak mau hilang. Dadanya mendadak sesak, dalam kebenciannya pada Reino, masih tersisa sesuatu yang menyakitkan, cinta yang belum benar-benar mati. “Dasar pengecut!” bisiknya pelan, “Kau bilang mencintaiku, tapi kau tetap di sana bersama dia. Bahkan kau tidur sampai Vania mengandung anakmu? Kau benar-benar brengsek, Reino!” Air matanya jatuh juga, tanpa bisa ia cegah. Tapi detik berikutnya, ia menyeka pipinya kasar, menggantikan rasa sakit itu dengan tekad yang dingin. “Baik, Reino,” gumamnya getir. “Kalau begitu, biar cinta ini aku kubur bersamaan dengan kehancuranmu.” Irisha menahan napas saat menyalakan kamera ponselnya. Dari celah pintu, lensa kecil itu menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Di dalam sana, Vania — yang seharusnya terbaring lemah, kini menatap Reino dengan sorot mata seakan pria di depannya itu adalah miliknya. Dan tanpa ragu, ia mendekat, meraih wajah Reino, lalu menautkan bibir mereka. Suara desahan dan kecupan itu membuat Irisha terpaku. Ia masih merekam dan menatap layar ponsel itu di mana kini adegan ciuman itu berubah menjadi adegan dewasa dan panas. “Kalian ... benar-benar iblis!” Umpat Irisha, sebelum akhirnya menutup mulutnya sendiri. Perutnya terasa mual, napasnya mendadak mual antara jijik dan marah yang bergantian menusuk. “Kalian benar-benar tak punya malu…,” gumamnya pelan, hampir tak percaya pada keberutalan Reino di dalam saat menyentuh Vania. Namun, sebelum sempat berbalik pergi, tangan besar tiba-tiba menutup mulutnya rapat. Irisha tersentak, tubuhnya ditarik mundur dengan kasar. Ia berusaha melawan, tapi genggaman itu terlalu kuat. Dalam sekejap, ia sudah terhuyung masuk ke ruangan sebelah, pintu tertutup dengan bunyi klik yang keras. Irisha menatap dengan mata melebar penuh ketakutan, napasnya tersengal. Sementara sosok pria tinggi berdiri di hadapannya, wajahnya separuh tertutup masker. Suara berat itu terdengar tajam. “Apa yang kau lakukan di sana, Irisha?” Jantung Irisha berdentum keras. Ia mengenali suara itu, dalam, tenang, tapi berbahaya. “Dokter … Revan?”Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te
Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny
Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib
Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,
Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana
Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me







