"Mas, ada apa?" Baru juga menghampiri Ibu dan Nita di ruang makan sudah dicecar pertanyaan oleh istri mudaku itu. "Makan saja, jangan tanya dulu." Tanpa menoleh ke arahnya, aku menjawab ketus. Lalu duduk di seberang dia dan Ibu. Kutunggu lima menit, Nita diam saja, dia tak peka. Terpaksa aku mengambil sendiri piring dan makananku. Ia tak melayaniku seperti Hani. "Ekhem." Mendengar dehaman Ibu refleks kepala menoleh padanya. Saat mata kami bersirobok, Ibu mengedipkan matanya menyorot ke Nita seolah memberi kode padaku. Mungkin teguran atas sikap ketusku pada istri mudaku tersebut. Kulihat Nita makan tanpa semangat. Makanan di piringnya cuma diaduk-aduk saja dengan wajah ditekuk. Aku mendesah berat. 'Wanita memang aneh'. Sebenarnya lagi malas, tapi kode dari Ibu tak bisa diabaikan. "Nit, ayo makan. Jangan diaduk begitu makanannya. Maaf Mas tadi lagi banyak pikiran, tapi tolong jangan ditanya dulu, ya? Boleh kan?" Aku membujuknya lembut untuk makan dengan benar. Andai Nita tidak ham
"Jangan!" tolakku. Aku tak setuju kalau kamar ini ditempati Nita. "Loh, kenapa? Kan kak Hani sudah pergi. Kamar ini juga kosong. Sayang, daripada dibiarkan, mending kita yang pindah ke sini. Iya kan Mas?" Nita setengah memaksa. Aku menggelengkan kepala tetap menolak ide dan inginnya tersebut. "Tidak, biarkan saja seperti ini. Kamarmu tetap di sebelah.""Kenapa Mas? Apa Mas Akbar masih mengharapkannya kembali?"Refleks aku mendelik tajam padanya. Tak suka dengan kalimat yang dilontarkannya meski itu benar. Sudut hatiku terdalam masih berharap Hani kembali, tapi tidak juga harus diakui apalagi di hadapan Nita. Pasti dia cemburu kalau kuiyakan. "Sudah, jangan tanya-tanya lagi. Ayo kita keluar!" ajakku keluar dari kamar agar pembicaraan seputar Hani dan kamar ini tak dibahas lagi. Meski berat, Nita terpaksa menurut. ***"Akbar." Aku menoleh sebentar ke asal suara yang memanggilku tersebut. Itu Ibu. Dia yang bersuara dan datang menghampiriku di ruang tengah. Aku sedang sibuk di d
Pov Hanifah"Kak.""Kak Hani!"Dina terus saja memanggilku setelah aku keluar dari pintu rumahnya, tapi kuabaikan. Aku terus berjalan menuju gerbang keluar dari rumah ini. "Kak Hani!" Kepalaku refleks menoleh ke asal suara yang memanggilku tersebut. Dina. Dia menghampiriku. "Ayolah Kak, jangan menyerah. Kakak tetap di sini untuk mempertahankan Mas Akbar. Please …." rengeknya manja seperti biasanya saat dia ingin sesuatu dariku. Namun sayangnya telat, Din. Aku tersenyum kecut mendengar permohonannya barusan. Kenapa sekarang dia terlihat peduli? Kemarin kemana saja? Bukannya mendukungku, malah terus-terusan menghinaku yang selalu dianggapnya bodoh. Aku tak bergeming dengan rengekannya seperti anak kecil. "Yang minta aku pergi itu Mas Akbar, jadi buat apa aku mempertahankan kalau orang yang kuperjuangkan tidak menginginkanku di sini," jawabku mematahkan harapannya. Ponselku berbunyi. Aku yakin itu dari supir taksi online yang telah kupesan."Tapi Kak, Mas Akbar itu cintanya–"Tan
Alfian.Dokter Alfian. Iya, itu dia. Aku ingat betul karena sering bertemu dengannya. Dia dokter spesialis andrologi. Dia yang menangani suamiku dulu saat pemeriksaan kesuburan Mas Akbar. "Alfian," ucap laki-laki tersebut ramah menyebutkan namanya seraya mengulurkan tangannya ke arahku. Tak ada rasa canggung sepertiku. Apa dia tidak mengenalku? Aku asyik bertanya dalam hati, hingga …. "Han.""Hani." Teguran Reni membuyarkan lamunanku tentang laki-laki di depanku saat ini. Aku terkesiap, sedikit malu juga takutnya Reni salah mengartikan diamku. Apalagi dari caraku memandang suaminya. "Eh, m–maaf." Aku menangkupkan tanganku ke dada, menolak bersalaman dengannya. Namun aku menyebutkan namaku layaknya orang yang saling berkenalan dengan sedikit menundukkan kepala. "Hanifah."Laki-laki bernama Alfian tersebut menarik tangannya kembali. Senyum tipis masih terulas padaku. Sedikit mengangguk juga padaku. "Beruntung kamu ketemu suamiku, Han. Biasanya dia sudah di rumah sakit.""Oh, dokte
"Kenapa Ren?" Aku tak sabar ingin tahu. Reni malah tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Tidak apa. Aku cuma kesenangan kamu mau tinggal di sini. Jadi aku ada temannya. Padahal aku berharap kamunya lama loh tinggal di sini." Ia menggamit lenganku manja. Melihatnya membuatku merasakan arti sebuah saudara. Reni tiga tahun diataskudiatasku, dan sikapnya barusan membuatku terharu. Aku memeluknya. "Terima kasih ya Ren. Kalau tidak ada kamu, aku nggak tahu harus bagaimana. Harus tinggal dimana dulu. Semuanya tidak berjalan sesuai rencanaku.""Kamu nggak mau cerita kenapa cerai?"Aku melepas pelukanku. "Aku malu Ren, soalnya ada aib yang harus kututupi.""Aib … suamimu?" tebak Reni terdengar hati-hati. "Hah?" Cukup kaget mendengarnya lalu kusunggingkan senyum tipis. Tak membenarkan juga apa yang barusan dikatakan Reni. "Iya, aku ngerti. Maaf ya." Kuanggukkan kepala mengiakan. Setelah itu Reni tak bertanya lagi, ia pamit pergi dan membiarkan aku istirahat di kamarnya. Alhamdulil
"A–apa maksud Dokter?" tanyaku tergagap, gugup. Kuambil gelas minum dan meneguknya sampai tertinggal setengah. Kuletakkan kembali gelas yang masih tersisa setengahnya ke atas meja samping piring makanku. Napasku jadi tersengal karena dipaksa minum untuk menetralisir perasaan campur aduk. Pak Dokter mampu membuatku kelabakan dengan perkataannya. Mungkin ini penyebab tidak nyaman untuk mengiakan tawaran tinggal lebih lama di sini. "Tidak ada. Cuma ngasih tahu saja. Kalau bisa tinggallah lebih lama. Reni sangat menyukaimu." Ucapan Dokter Alfian terdengar sendu. Terasa aneh di kupingku seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau dia merasa saya temannya, pasti tidak akan memaksa untuk tetap tinggal. Lagi pula kapan pun Reni mau dan saya ada waktu, saya bisa berkunjung ke sini, ataupun sebaliknya Reni yang mengunjungi saya," jawabku memberi penjelasan. Tampak Dokter Alfian menghentikan aktivitas makan dan bersandar ke badan kursi makan. Lalu menghela napas berat. Apa jawabanku terlalu
"Reni sakit parah? Sakit apa, Dok?" Aku bertanya serius. "Sakit …, ehm sudah, lupakan. Kalau mau tahu, tanya sendiri ke orangnya. Saya tidak mau dianggap bocor menceritakan semua tentangnya. Nanti dia marah. Biar dia yang cerita."Lah? Tanya orangnya? Itu tidak mungkin. Reni sepertinya malah menyembunyikan penyakitnya itu dariku. Pernah kutanya, dia bilang baik-baik saja dan cuma flu biasa waktu itu. Lagian dokter aneh, tadi sudah keceplosan, kenapa tidak diselanjurkan saja, menceritakan semuanya. "Tidak mungkin Dok. Sepertinya Reni justru menutupi hal tersebut," jawabku berharap agar dokter sendiri yang cerita. "Itu karena dia tidak ingin orang lain mencemaskannya. Apalagi kamu. Dia senang sekali berteman denganmu. Katanya seperti punya saudara sendiri. Merasa akrab dan cocok. Reni itu anak tunggal."Oh, soal itu aku pernah dengar dari Reni sendiri kalau dia anak tunggal. Ternyata benar. Cuma tidak cerita mendetail. Soal aku yang dianggapnya seperti saudara sendiri, aku pun berpik
Pov Akbar"Akbar, bagaimana? Sudah dapat orangnya?"Aku menyentak napas berat. Lelah. Pertanyaan yang terus saja diulang Ibu untuk kesekian kalinya. Tampak wajah penuh harap tersirat di sana. Aku menggeleng, mematahkan binar harapannya. "Belum Bu, nanti Akbar coba hari ini datangi ke yayasannya. Siapa tahu ada. Kalau belum ada yang cocok juga, kita ambil random saja meskipun tak sesuai dengan keinginan Ibu. Bagaimana?" tanyaku memastikan. Aku tak mau nanti Ibu komplain dengan apa yang kupilih. Lelah juga menunggu dan ditodong Ibu dengan pertanyaan yang sama setiap harinya. Asisten rumah tangga.Sejak seminggu yang lalu, Ibu memaksaku secepatnya mencari asisten rumah tangga untuk membantunya di rumah ini. Ibu sudah tampak kelelahan karena mengurus rumah sendirian sejak ditinggal pergi Hanifah. Sedangkan Nita tak dapat diharap. Apalagi Dina, anak itu penuh dengan alasan. Bahkan untuk hal kecil seperti menyapu saja, Nita bilang tak bisa karena badannya pasti akan kelelahan sehabis meny