"Apa yang kalian semua lakukan di sini? Pernikahan? Kalian berdua menikah? Mas Raka itu suamiku, Kalea. Kau sahabatku. Kenapa kalian tega melakukan ini kepadaku?"
"Sah." Satu kata itu terdengar memekik telinga ketika diriku sudah berada diambang pintu rumahku di saat kepulanganku dari perantauan. Aku mendekat ke arah pasangan pengantin yang masih dengan tenang duduk di depan penghulu, tanpa menyadari kehadiran diriku yang sejak tadi menatap mereka. Tubuhku seketika lemas, saat melihat pasangan pengantin yang baru mengucapkan ijab qobul itu ternyata suami dan sahabat karibku sendiri. "Mas Raka ...." Suaraku tercekat ditenggoroka, ketika aku melihat suami dan sahabatku memakai baju pengantin warna putih. Wajah Mas Raka seketika terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba ada di sana, di hari pernikahannya dengan Kalea. "Rania, kamu sudah pulang?" Lelaki itu tampak sedang meraih tanganku, lalu aku pun menepiskan tangannya dengan kasar. "Pertanyaanmu tidak penting, Mas. Sekarang jelaskan kepadaku! Apa maksud semua ini?" Aku bertanya dengan tatapan penuh amarah. Wajah Mas Raka seketika tampak gugup, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Aku sudah menikah dengan Mas Raka, Ran," sahut Kalea sembari merangkul lengan Mas Raka. Deg Seketika jantungku langsung mencelos ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Kalea. "Apa? Menikah? Apa maksudmu? Mas Raka itu suamiku, kenapa kau merebutnya dariku?" Aku berucap dengan bibir mulai bergetar menatap nanar. "Tidakkah kau melihat saat ini aku dan Mas Raka sudah memakai kebaya pengantin? Apa kau tuli mendengar pak penghulu menyatakan kata sah saat ijab qobul tadi?" Kalea menyahuti ucapanku dengan wajah menatap penuh kemenangan. Sekilas attensiku terpaku pada tangan Kalea yang saat ini dengan mesra melingkar di lengan suamiku. "Lepaskan tanganmu dari suamiku! Dasar kau teman tak tau diri! Pelakor!" olok ku sembari kutepiskan tangan Kalea dari lengan suamiku. Kini attensiku beralih ke arah wajah suamiku yang sejak tadi hanya terdiam dan tak menjelaskan apapun kepada diriku. "Mas Raka, sekarang tataplah mataku! Jelaskan apa maksud semua ini, Mas? Kau menikah dengan sahabatku sendiri, disaat aku jauh darimu?" tanyaku dengan menahan rasa perih dalam dadaku. Lelaki itu tampak diam membeku, mencoba untuk tak menjawab pertanyaan dariku. Aku menggelengkan kepalaku, sambil menahan tangisan yang tak dapat aku tahan lagi sejak tadi. "KENAPA KAU DIAM SAJA MAS? KATAKAN, KEPADAKU, APA MAKSUD SEMUA INI?" Aku bertanya dengan menaikkan dua oktav nada bicaraku. "Maafkan aku Rania, aku terpaksa menikahi Kalea, karena saat ini dia tengah mengandung anakku." Bagai disambar petir, tubuhku seketika terasa lumpuh. Derai air mata tak tertahan lagi keluar dari pelupuk mataku. Tatapanku mulai kabur dan aku merasakan ini seperti sebuah mimpi buruk. "A-apa kau bilang, Mas? Kau menghamili wanita ini? Tega kau Mas, dia itu sahabatku." Aku mulai meluapkan amarahku dengan memukul dadaku sendiri yang terasa sesak. Mas Raka hanya terdiam membeku, wajahnya tak lagi bisa menjelaskan kepada diriku tentang pernikahan yang sudah terjadi dengan sahabatku karena sebuah dosa yang dia lakukan bersama dengan sahabatku disaat diriku pergi merantau jauh. "Kenapa kau diam, Mas? Apa kekuranganku hingga kau setega ini kepadaku? Kau berkhianat di belakangku dengan sahabatku sendiri?" Mulutku tercekat ketika aku mengatakan itu kepada Mas Raka. Tak terima Mas Raka terus aku sudutkan, dengan cepat Kalea membela Mas Raka yang kini menjadi suaminya. "Cukup Rania, kau jangan pernah menyudutkan suamiku lagi, semua ini terjadi begitu saja, kau juga harus tau kebutuhan biologis suamimu yang tak pernah bisa kau penuhi selama ini," sela Kalea dengan menatapku nyalang. Seketika wajahku menatap marah Kalea, ketika aku mendengar perkataan dirinya yang seolah menyudutkan diriku yang tak bisa memenuhi kebutuhan biologis suamiku, dikarenakan terpisah oleh jarak jauh. "Apa kau bilang? Kau pikir aku tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis suamiku? Tidakkah kau tau, selama ini aku yang membanting tulang untuk keluarga ini, aku bekerja di perantauan hanya demi memenuhi kebutuhan ekonomi kami saat ini. Lantas, bagaimana aku bisa memenuhi kebutuhan biologis suamiku di saat aku jauh? Katakan kepadaku! Bagaimana aku harus memenuhi kebutuhan biologisnya di saat keadaan ekonomi kami saat itu terpuruk. JAWAB!" Sentakku menyorot tajam pandanganku ke arah Kalea dan Mas Raka. Keduanya langsung terdiam dan tak sanggup berkata-kata lagi. Nampak wajah Kalea sudah mulai gugup ketika aku skakmat perkataannya. "Inilah caramu membalas pertemanan kita sejak dulu? Tidak ingatkah dirimu ketika kamu jatuh, akulah yang saat itu menolong dirimu? Lantas inikah caramu membalas semua yang aku lakukan kepadamu? Kau merebut suamiku di saat aku sedang merantau untuk memperbaiki ekonomi kami?" Seketika aku pun mulai meluapkan amarahku kepada Kalea. Keduanya tampak terdiam dan tak mengatakan apapun ketika aku mulai menghardik mereka berdua. "Rania, maafkan aku. Kau juga harus mengerti tentang kondisiku saat itu, aku lelaki normal dan hanya Kalea yang saat itu mengerti kondisiku dan kebutuhanku," ungkap Mas Raka tanpa merasa bersalah sedikitpun kepadaku. Seketika aliran darahku langsung mendidih mendengar perkataan suamiku kala itu. Wajah kerinduanku akan suamiku kian memudar tertutupi amarahku yang siap meletus bagaikan gunung merapi. "Apa kau bilang? Kau ingin aku mengerti tentang kondisimu? Sementara aku yang membanting tulang untuk kebutuhanmu?" balasku tak kalah sengitnya. Aku menarik nafasku dengan panjang, ketika aku hendak meneruskan perkataanku yang terpotong, tercekat ditenggorokanku menahan rasa sakit hatiku. "Lalu uang yang aku kirimkan kepadamu saat ini, kau gunakan untuk apa? Kau pernah bilang jika rumah itu untuk membangun sebuah rumah masa depan kita, apakah rumah yang kau maksud adalah rumah ini? Rumah yang aku bangun di atas keringatku dan kau gunakan untuk membangun masa depan dengan sahabatku yang tak tau malu ini?" sungutku dengan menghardik mereka. Keduanya tak menjawab dan seolah tertampar oleh perkataanku. Pertengkaran kami yang memanas, membuat semua para tamu yang hadir tampak memperhatikan kami yang ada di dalam. Tak lama kemudian, ibu mertuaku datang menemui kami dan menyela ucapan kami. "Maaf Rania, pernikahan ini sudah terjadi, kau jangan terus-terusan menghardik Kalea dan Raka, saat ini dia sedang mengandung cucuku," pungkas Ibu Eni yang tak lain adalah mertuaku. Seketika aku pun menatap marah, mertua yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri, tampaknya merestui hubungan terlarang mereka. "Apa yang Ibu katakan? Aku menghardik mereka? Di mana letak kesalahanku saat ini? Anakmu yang pengangguran itu membuatku harus membanting tulang mencari nafkah untuk membantu ekonomi keluarga ini. Apakah ini balasannya atas pengorbananku selama ini, Bu? Katakan, Bu!" Aku meluapkan semua emosiku yang sudah mulai meledak saat semuanya mulai memojokkan diriku. Ibu mertuaku tampak marah menatapku, dia tidak terima dengan ucapanku, ia pun seketika melayangkan tangannya ke arah pipi ku dengan keras. Plaaak! Satu tamparan kini mulai mendarat padaku dan memberikan rasa panas di sana. "Berhentilah untuk menghina anakkku! Rania," ucap Bu Eni dengan nada marah. Aku memegangi pipiku dengan menahan rasa sakit akibat tamparannya. "Anakmu memang pecundang, Bu!" olokku menatap geram. Mendengar itu, Mas Raka mulai mengarahkan tangannya ke arah wajahku, dengan cepat aku pun menahan tangannya. "Jangan pernah kau layangkan tanganmu ke wajahku, Mas!" Sergahku dengan menatap marah dan menepiskan tangan Raka dengan kasar. Keadaan mulai memanas hingga Ibu mertuaku menghentikan pertikaian kami. "Rania, sudahi saja pertikaian kalian, semuanya tidak ada gunanya jika kamu terus-menerus menghina anakku Raka, pernikahan ini sudah terjadi," lerai ibu Eni. "Tapi aku tidak terima dengan pernikahan suamiku! Suruh dia bercerai dengan Kalea!" tuntutku kelada ibu mertuaku. Semuanya tampak tersentak dengan permintaanku saat ini. "Apa kau sudah gila? Dia sedang mengandung anakku, Rania!" sahut Mas Raka dengan nada marah. "Tapi aku tidak terima dia menjadi maduku!" tolakku dengan keras. "Terserah dirimu. Kau harus terima pernikahan ini dan menghormati dia sebagai madumu!" tegas Mas Raka mengatakan itu kepadaku. "Apa kau bilang? Menghormati wanita yang sudah merebut suamiku dariku? Tidak akan, Mas! Sekarang kau pilih aku atau dia yang menjadi istrimu, Mas?" Tak terima, aku pun memberikan sebuah pilihan kepada suamiku. "Maaf Rania, terpaksa harus aku katakan. Aku lebih memilih Kalea dari pada dirimu, jadi berhentilah membuat pilihan kepadaku, terima Kalea sebagai madumu, atau kau akan kehilangan diriku," ancam Mas Raka menatap penuh intimidasi. Seketika tubuhku merosot ke bawah ketika mendengar perkataan suamiku.Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang