Aku merasa seperti hatiku tercabik-cabik saat melihat ibuku yang tak sadarkan diri, sepertinya aku hancur saat menyadari keadaannya.
"Bu, bangun, Bu!" Usapanku penuh ketakutan, berusaha membangunkan ibu yang masih tak bisa meresapi kenyataan di hadapannya. Pak RT, dengan bantuan petugas kepolisian, buru-buru mengangkat ibuku ke kamar, berusaha menolongnya kembali pada kesadarannya. Hatiku merasa tertekan saat menunggu keadaan ibuku. "Bu, tolong bangun Bu, jangan buat aku takut seperti ini. Maafkan atas semua masalah yang sudah Rania timbulkan saat ini," ucapku dengan pelan, dan berharap ibuku mulai mendengar. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mata ibuku mulai terbuka perlahan, seketika itu juga aku memeluk tubuhnya erat-erat. "Bu, apa Ibu sudah sadar?" tanyaku dengan suara yang hampir tercekat oleh tangis. Melihat ibuku sudah mulai tersadar, Pak RT tampak mengambil segelas air putih dan memberikan minuman itu kepada ibuku, ku lihat Ibuku langsung meminumnya hingga tandas. Ibuku perlahan mengedarkan pandangannya ke arah orang-orang yang ada di sekitar kami, tampak wajahnya mulai shock saat melihat petugas kepolisian dan juga Mas Raka di sana. Perlahan Ibuku mulai mencoba untuk bangkit dan berusaha untuk kuat, agar bisa memberikan dukungannya kepada diriku. "Aku baik-baik saja, Ibu tadi hanya shock saja. Sekarang, ibu sudah lebih tenang dan biarkan ibu tau masalah kalian," kata ibuku dengan memegangi tanganku. Aku pun mengusap air mataku, menahan haru, ketika ibuku tampak berusaha tegar di hadapanku. Beberapa saat kemudian, kami pun akhirnya ke ruang tamu dan menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi diantara aku dan Mas Raka. Perlahan aku pun menjelaskan apa yang terjadi kepada ibuku. Saat ibu mendengar penuturanku, seketika ibuku shock kala aku mengatakan jika Mas Raka menikahi Kalea, sahabatku sendiri dan saat ini sedang mengandung anak Mas Raka. Aku yang menahan perasaan sakit hatiku, mencoba untuk menahan air mataku agar tidak keluar saat itu. Sebagai orang tua, tentu saja ibuku tidak terima, jika aku dimadu oleh Mas Raka. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah ridho, jika kau menikah lagi dengan wanita lain, Raka." Ibuku tampak sedang memprotes Mas Raka dengan menahan tangisannya. Mas Raka tampak gugup saat itu, tapi dia mencoba untuk menyembunyikan itu dari kami. "Maaf Bu, saya sudah menikah dengan Kalea, dan dia sedang mengandung anak Raka. Lagi pula saya dan Rania hanya menikah dibawah tangan saja, sampai saat ini kami belum melakukan pernikahan secara hukum, jadi saya tidak perlu lagi meminta ijin untuk menikah lagi," kaya Mas Raka yang seketika membuat hatiku sangat hancur. "Apa yang kau katakan, Mas?" tanyaku menatap wajah Mas Raka yang saat ini menatap diriku tanpa perasaan bersalah sedikitpun kepadaku. "Itu memang benar Rania. Aku dan kamu dulu hanya menikah dibawah tangan saja, karena saat itu kita masih belum memiliki biaya untuk menikah. Dan saat ini, aku sudah menikah dengan Kalea secara agama dan secara hukum," kata Mas Raka yang seketika membuat hatiku benar-benar hancur. "Tega kamu, Mas! Kucari jalan untuk membantu perekonomian kita, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu menikah secara sah dengan dirinya dan kamu malah membiarkan status pernikahan kita hanya dibawah tangan? Padahal selama ini aku yang mengirimkan uang kepadamu, Mas," balasku menahan rasa sesak di dadaku. Mas Raka sempat terdiam ketika aku mengatakan itu kepada dirinya. "Kau ini bagiamana, Raka. Istrimu banting tulang di negri orang, tapi kenapa kamu malah melakukan perbuatan Zina dengan wanita lain? Kau tidak punya perasaan, Raka. Selama ini,apa yang tidak diberikan oleh anakku kepadamu?" sahut ibuku dengan nada berapi-api. Tampak Mas Raka hanya tertunduk saja, saat kami sedang memojokkan dirinya. Sementara orang-orang yang berada di dalam sana, tampak menyimak apa yang kami katakan dan tidak mau mencampuri urusan rumah tangga kami. Sementara itu, Mas Raka yang saat itu tampak menatap kesal kepadaku dan ibuku, ketika kami berdua sedang menghardik dirinya, seketika langsung membentak kami dan mengalihkan pembicaraan ke topik semula. "Aku ke sini bukan untuk membahas itu! Aku ke sini untuk membahas rumah ibuku! Aku tidak mau tau, kau harus mengganti rugi atas kerusakan yang kau timbulkan akibat ulahmu sendiri!" seru Mas Raka dengan menaikkan dua oktav nada bicaranya. "Tapi aku yang membangun rumah itu, Mas. Ibumu hanya memiliki tanah saja dan tidak memiliki hak bangunan rumah itu. Aku yang membangun rumah itu dan aku juga berhak menghancurkan apa yang sudah aku bangun dari jerih payahku," protesku dengan nada semakin marah kepadanya. "Apa kau bilang? Ibuku hanya memiliki tanah saja? Ini bukti surat tanah dan bangunan milik ibuku!" Mas Raka melemparkan copyan surat sertifikat rumah ke arahku, membuatku seketika langsung terkejut saat melihat itu. "A-apa? Kau sudah mengurus surat tanah dan bangunan atas nama ibumu? Kau sungguh licik, Mas!" tanganku bergetar saat membaca sertifikat rumah itu dari Mas Raka. Sungguh, aku tidak menyangka jika Mas Raka bisa melakukan ini kepadaku, padahal sudah jelas-jelas aku yang membangun rumah itu dari hasil jerih payahku. "Kau sudah lihat sendiri, bukan? Itu adalah rumah milik ibuku, sebaiknya kau tanda tangan surat pernyataan ini atau aku akan menuntut dirimu secara hukum," ancam Mas Raka seketika membuat jantungku seperti terkena serangan jantung. Aku benar-benar sangat bingung saat itu, uangku sudah habis aku kirimkan kepada Mas Raka, hingga menyisakan sedikit saja. Tidak mungkin jika saat ini aku gunakan untuk menyicil ganti rugi yang diminta oleh Mas Raka. "Tapi Mas ...," ucapanku terpotong oleh salah satu petugas kepolisian. "Sebaiknya Ibu mengganti rugi saja dan memilih jalan kekeluargaan. Mungkin jika Ibu belum memiliki untuk membayar ganti rugi itu sekarang, Ibu bisa mencicil ganti rugi itu sedikit demi sedikit," sahut salah satu petugas kepolisian itu memberikan saran kepada diriku. Seketika air mataku mulai jatuh, merasakan sakit luar biasa, ketika aku dihadapkan cobaan yang bertubi-tubi setelah aku kembali dari negri orang. Ibu tampak memelukku dan mencoba untuk menenangkan diriku. Sementara itu, Mas Raka pun memberikan keringanan untuk mencicil ganti rugi itu kepadaku sampai beberapa kali tempo pembayaran. Saat ia meminta aku membayar ganti rugi itu sebesar sepuluh juta di awal, aku pun menolak dan memintanya untuk memberikan aku waktu. Namun, Mas Raka menolak dan memintaku untuk ikut dengannya, membayar DP itu dengan tenagaku untuk mengurus rumah yang ditinggalinya bersama dengan Kalea. Seketika aku pun terkejut dengan apa yang diminta olehnya. "Apa? Kau ingin menjadikan aku sebagai pelayan di rumahmu?" tanyaku menatap tak percaya. "Aku tidak mengatakan itu, tapi jika kau tidak mau memberikan aku uang ganti rugi di awal, maka pilihanmu hanya itu," kata Mas Raka membuatku merasakan sakit hati yang luar biasa. Mendengar itu, seketika ibuku langsung marah dan hendak memberikan tabungan hajinya kepadaku untuk aku gunakan membayar ganti rugi. Namun, aku pun langsung menolaknya dan menerima tawaran Mas Raka. "Baiklah, aku terima tawaranmu, Mas. Aku akan menerima tawaranmu, sambil aku mencari cara untuk melunasi ganti rugi kepada ibumu," balasku sambil ku kepalkan erat tanganku.Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang