Aku terpaksa menerima keputusan ini, karena aku tidak ingin merepotkan ibuku untuk menanggung kerusakan rumah yang aku timbulkan saat ini.
Apalagi Mas Raka tengah menuntut banyak kepadaku saat ini, aku pun tidak mau merepotkan ibuku dengan masalah yang sudah aku timbulkan saat ini. Ku tatap Ibuku yang saat ini tampak sangat prihatin dengan apa yang terjadi kepada diriku saat ini. 'Maafkan Rania Ibu, ini adalah keputusan yang terbaik. Aku tidak ingin menyusahkan ibu,' gumamku dalam hati. Tak ingin ibuku akan kepikiran dengan masalah yang aku hadapi ini, aku pun setuju untuk ikut dengan Mas Raka pulang ke rumah dan sementara harus mengganti DP kerusakan rumah itu dengan tenagaku. Sementara, ibuku tidak setuju dengan keputusanku saat ini. Saat aku hendak melangkahkan kakiku pergi bersama dengan Mas Raka, tiba-tiba aku mendengar suara parau dari belakang, seketika ku hentikan langkah kakiku dan aku menoleh ke belakang, aku terkejut saat ibu berlari mengejar diriku dan langsung memeluk tubuhku. "Jangan pergi, Rania! Pakai saja uang tabungan haji ibu, ada emas batangan yang bisa kau berikan itu kepada lelaki yang tak bertanggung jawab ini, aku tidak rela jika kau tinggal bersama dengan lelaki ini dengan istri barunya. Aku tidak mau melihatmu sakit hati dan bersedih saat melihat mereka menikmati kebahagiaan di atas penderitaanmu," kata ibuku sembari menahan diriku pergi dari rumahnya. Aku merasa bimbang, apakah keputusan ini benar? Aku memikirkan apa yang baru saja dikatakan ibuku, 'Apakah aku harus mengambil uang tabungan haji ibu demi menyelesaikan masalah ini? Atau apakah aku harus mengambil tanggung jawab dan menghadapi konsekuensinya sendiri?'. Rasa bersalah kian menyelimuti hatiku. 'bu... maafkan aku,' bisikku dalam hati. Kembali aku berpikir ulang lagi, wajah rentanya yang membuatku tidak tega untuk mengubur semua impian ibuku yang sejak lama ingin berangkat ke tanah suci. Padahal aku sudah mengirimkan uang untuk ibuku setiap bulan, yang sudah aku titipkan kepada Mas Raka, tanpa aku ketahui uangku akhirnya ditilep olehnya. Ku tahan perasaan luka di hatiku dan aku perlihatkan ketegaran wajahku kepada ibuku, agar ibuku mau melepaskan kepergian ku bersama dengan dirinya. "Bu, tolong biarkan aku pergi, Bu. Berikan Rania kesempatan untuk menyelesaikan masalah ini. Inshaallah Rania akan kuat dan bisa menghadapi ini dengan ikhlas," ucapku sambil ku mencoba untuk meyakinkan ibuku. "Tapi Nak, di sana kau akan mendapatkan perlakuan buruk pastinya, apalagi saat ini kau sudah menghancurkan rumah itu," kata ibuku yang sedang mengkhawatirkan diriku. "Inshaallah Rania bisa mengatasi situasi itu, Bu. Rania tidak mungkin tinggal diam saja dan tertindas, jika mereka berlaku semena-mena kepadaku, segala tindakan kejahatan, akan mendapatkan proses hukum nantinya," ujarku mencoba untuk menenangkan kekhawatiran ibuku. Beberapa menit kemudian, ibuku akhirnya setuju melepaskan diriku, setelah dia mulai mempertimbangkan apa yang saat ini aku katakan kepada dirinya. "Baiklah, Nak, jika itu adalah keputusanmu yang terbaik, ini akan melepaskan dirimu. Namun, kau harus tau, jika kau sudah tidak kuat lagi tinggal di sana, rumah ini akan selalu terbuka lebar untuk dirimu, Nak," kata ibuku sembari mengelus wajahku dengan telapak tangannya. Aku pun semakin terharu dan mencium punggung tangan ibuku dengan penuh kasih sayang. Setelah itu, aku pun berpamitan kepada ibuku untuk segera melangkah pergi mengikuti langkah Mas Raka yang sudah melangkah pergi. "Bu, Rania pamit dulu, do'akan agar Tania bisa secepatnya menyelesaikan semua ini," pamitku dengan ku peluk tubuh ibuku. Ibuku tampak menangis haru, ketika dia melepaskan diriku. "Iya Nak, semoga Allah senantiasa melindungi dirimu dan kamu bisa menyelesaikan urusanmu. Do'a ibu menyertai dirimu, Nak," ujar ibuku dengan mencium keningku. "Terima kasih, Bu, Rania pamit dulu, assalamualaikum," pamitku dengan mencium punggung tangan ibuku. "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab salam ibuku. Bergegas aku pun melangkahkan kakiku pergi dari rumah ibuku, setelah aku berpamitan dengan ibuku. Aku pun menuju ke arah Mas Raka yang saat ini sudah menungguku di sebuah mobil SUV yang terparkir di halaman rumah ibuku. Entah mengapa aku sedikit mempertanyakan dari mana Mas Raka membeli kendaraan mobil seperti ini. Apakah itu semua adalah uang yang aku kirimkan kepada Mas Raka selama ini? Ya Allah, jika semua itu benar, aku tidak ikhlas uangku dipakai untuk dirinya sendiri dan wanita itu, rutukku dalam hati. Saat mobil itu melaju, ku tahan pertanyaanku sampai Mas Raka membuka obrolannya. "Kenapa kamu menatapku seperti itu, Ra?" tanya Mas Raka dengan fokus mengemudikan kendaraannya. "Aku cuma berpikir saja Mas, dari man kau mendapatkan kendaraan seperti ini? Aku rasa jika kau bekerja, tidak mungkin kau bisa secepat itu membeli kendaraan roda empat, kecuali kau memiliki posisi jabatan yang tinggi," sahutku sudah tidak tahan lagi untuk menyembunyikan rasa penasaranku. Mas Raka tersenyum miring, dia tampak terdiam dan tidak mengatakan sesuatu saat itu, rasa penasaranku semakin tertahan menunggu jawaban dari Mas Raka. "Aku rasa memang benar apa yang kau pikirkan Rania, tapi terima kasih karena sudah mengirimkan uang kepadaku setiap bulan ke rekening ayahmu, Rania. Dengan begitu, aku bisa membeli semua keinginanku," jawab Mas Raka yang seketika membuat diriku seketika merasakan sesak napas saat mendengar apa yang dia katakan kali ini kepadaku. "Apa? Jadi ..., semua ini adalah hasil kerja kerasku selama ini?" tanyaku menatap marah kepadanya. "Tentu saja, ini adalah uang biaya haji plus ibumu, yang kau titipkan kepadaku. Buat apa aku berikan kepada ibumu, hambur-hamburkan uang saja, pergi ke Mekkah hanya empat puluh hari saja," kata Mas Raka seketika membuat aliran darahku seketika mendidih. "Apa? Jadi ini adalah uang yang aku titipkan kepadamu untuk biaya haji ibuku? Tega kamu, Mas! Aku tidak akan pernah ridho jika kau menggunakan uangku untuk membeli semua ini, Mas!" seru ku menatap marah wajah suamiku. "Terserah apa yang kau katakan Ra. Saat ini kau bisa apa? Menuntutku? Atas dasar apa? Rekening itu juga milik almarhum ayahmu yang kau berikan kepadaku sebelum ayahmu meninggal beberapa bulan yang lalu, beruntung, dihari sebelum kematian ayahmu, aku sudah memintamu untuk mentransfer ke rekeningku," kata Mas Raka yang seketika membuat hatiku benar-benar geram dan hancur seketika. Aku hanya bisa menatap wajahnya dengan marah, ku tahan amarahku saat ini, dan aku berjanji akan membalas apa yang dia lakukan kepadaku saat ini. Beberapa menit kemudian, kami pun sudah sampai di sebuah rumah yang aku sendiri tidak tau itu rumah siapa. Aku pun keluar dari mobil dan menatap bangunan rumah yang baru selesai dibangun itu dengan wajah penuh keheranan. Saat aku tatap wajah Mas Raka, aku melihat Mas Raka tampak tersenyum melihat diriku yang saat ini sedang bingung. Tak ingin membuat diriku terus bertanya-tanya, aku pun segera melayangkan pertanyaan kepada Mas Raka. "Rumah siapa ini, Mas? Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanyaku dengan menatap heran ke arahnya. "Selamat datang di rumah baruku, Rania. Rumah yang akan aku tempati dengan Kalea, untuk membina rumah tangga kami yang baru," jawab Mas Raka tersenyum mengejek ke arahku. Seketika jantungku langsung berdebar saat mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Raka saat ini. "Apa? Rumah baru kalian?"Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang