Share

4. Kabar Burung

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2023-06-04 16:58:48

Hari ini aku bangun agak kesiangan, suamiku pun ternyata tidak pulang semalam. Segera kubasuh tubuhku dengan mandi air hangat. Entah ada apa dengan tubuh ini, rasanya begitu berat untuk memulai hari. Setelah selesai ibadah salat subuh, akupun membuka pintu utama rumah dan warung ayam bakar.

Warungku cukup sederhana, berukuran 4x6. Pagi itu aku pun segera membakar tiga ayam pesanan yang akan diambil jam tujuh pagi. Kebersihan bagiku adalah hal utama. Tiba-tiba terdengar suara kendaraan berhenti di depan warung, ada seorang wanita yang memanggil nama suamiku. Aku pun segera bangkit dari posisi duduk.

"Iya, Bu, mau beli ayam bakarkah?" tanyaku pada wanita tersebut.

"Benar ini rumahnya Yahya Sulaiman?" tanyanya.

"Iya, benar. Ada apa ya, Bu?" tanyaku lagi.

"Ini anaknya sedang masuk ke rumah sakit sedangkan dia semalam tidak pulang," papar wanita itu.

Aku terhenyak dan terkejut. Anaknya masuk rumah sakit dan dia tidak pulang ke rumah semalam. Muncul sebuah pertanyaan di otakku. Anak yang mana, tidak pulang ke mana? Oh Tuhan. Cerita apa lagi ini. Aku berusaha menetralkan perasaanku, hati ini berdetak lebih cepat dan tidak tahu harus bagaimana. Jarum jam sudah menunjukkan di angka tujuh dan pesanan ayamku masih kurang satu yang belum aku bakar.

"Maaf, Bu, mohon tunggu sebentar ya! Saya sedang membakar pesanan ayam dan akan diambil jam tujuh ini," kataku berusaha tenang.

"Ibu bisa pastikan jika si Yahya hari ini pulang?" tanya wanita itu.

Aku tidak memedulikan wanita tersebut, yang ada dalam pikiranku semua pesanan harus selesai tepat waktu. Membakar ayam satu membutuhkan waktu hanya lima menit, pasti kalian bertanya kok cepat. Jelas cepat karena aku membakarnya dengan bantuan kipas angin. Ini sangat efektif dan tidak membuat pembeli lama menunggu di saat antrian membludak.

Semua pesanan sudah siap, maka aku pun melanjutkan pertanyaanku pada wanita tersebut. Rasa penasaranku meningkat ketika dia menceritakan semua kegiatan Yahya selama berada di desanya. Sepintas cerita wanita itu Yahya yang dia maksud sama persis dengan Yahya suamiku. Baik dari segi fisik maupun kendaraan yang dibawanya saat bertandang ke rumah janda itu.

"Apa Ibu Arini tidak mengerti jika suami Ibu itu selingkuh? Bahkan sudah membangun sebuah rumah, Lho," ungkap wanita di depanku.

"Apakah Ibu tahu kemana perginya Yahya malam itu dan bersama siapa? Kok sampai tidak tahu jika anaknya masuk rumah sakit," tanyaku penasaran.

"Saya sendiri juga tidak tahu, Ibu. Maaf jika saya tidak bisa membantu banyak. Semoga anaknya bisa segera mendapat penanganan meskipun kedua orang tuanya tidak ada," kataku seiring doa tulus atas musibah yang dialami oleh sanak saudaranya itu.

Akhirnya ibu itu pun pergi dari warungku, setelah kepergiannya seketika aku terduduk lemas. Andi yang baru datang kulihat sedikit heran, dahinya mengkerut lalu senyumnya terpaksa dia terbitkan untukku. Aku pun membalas senyum itu sedikit masam.

"Kamu lanjutkan dulu semuanya, Ndi. Aku ke dalam dulu. Jika Om kamu datang katakan saja jika badanku tidak enak," kataku sambil beranjak dari dudukku yang saat itu aku sedang membungkus lalapan untuk ayam bakar.

Andi pun hanya menganggukkan kepalanya saat aku selesai berkata. Kemudian aku masuk ke dalam rumah untuk menenangkan pikiranku. Entah, apa yang aku dengar membuat mood ku pagi ini sedikit berkurang. Aku sendiri pun juga tidak mengerti apakah berita tadi itu benar. Semua harus aku tanyakan pada suamiku nanti jika dia pulang.

Sebenarnya aku sangat percaya pada suamiku itu, lebih tepatnya mencoba percaya. Namun, saat mendengar berita pagi dari seorang ibu kepercayaanku sedikit goyah. Mungkinkah seorang muslim yang sedang berguru di sebuah pondok pesantren lebih suka berpoligami? Mungkinkah ada yang kurang dari sikapku dalam memenuhi kewajiban sebagai istri dan ibu untuk ketiga anaknya?

Berbagai pertanyaan muncul dalam otakku, akibatnya untuk makan saja aku belum sempat. Kurebahkan tubuh lelahku di atas ranjang, pandanganku tertuju di langit kamar. Serentetan kisah mulai memutar, dari awal aku dikhitbah hingga peristiwa keguguran kandunganku empat bulan yang lalu.

"Oh Tuhan, kisah apa lagi yang akan aku jalani. Beri aku keiklasan dan kesabaran, ya Robb," doaku dengan nada rendah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Ya, ampun! Bang Yahud jago poligami toh
goodnovel comment avatar
Mael Julius
jadi si ibu yg datang itu siapa..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status