Share

Bab 4

Author: Vivian Kusuma
Di Rumah Sakit Anak Rosita, Unit Gawat Darurat.

"Ada apa?!" Rosa berlari masuk, terengah-engah.

"Alergi Reyan kambuh, dia makan sesuatu." Nada bicara Mario dipenuhi kecemasan.

Rosa ketakutan. "Alergi? Bukannya aku sudah catat semua alergi makanannya? Apa kamu nggak baca?"

Angel segera meminta maaf, "Ini salahku. Aku nggak sangka kalau Reyan alergi sama mangga. Maaf, maaf..."

"Niatnya Angel baik," kata Mario. "Lagian, kertas yang kamu kasih hilang. Kamu nulisnya juga nggak jelas."

"Aku nulisnya nggak jelas?" Rosa sangat marah.

Dia hafal semua yang tidak bisa dimakan anak-anak!

Sebelum memberikan catatan itu, dia bahkan sudah memeriksanya lagi untuk memastikan tidak ada yang terlewat. Bagaimana mungkin dia tidak menuliskan dengan jelas?

Bahkan, hilang pula?

Mario tiba-tiba mencium aroma alkohol, dan berkata, "Kamu habis minum ya? Anakmu sakit, malah masih sempat-sempatnya minum?"

Rosa yang dipenuhi amarah, berkata, "Kamu yang bawa anak-anak pergi, tapi sekarang kamu malah nyalahin..."

"Rosa!"

Tatapan Mario begitu dalam dan menakutkan, dia berseru, "Kamu seharusnya pergi periksa anak itu sekarang, bukannya cari-cari alasan. Ibu tiri memang tetap saja ibu tiri."

Jantung Rosa berdebar kencang, hatinya hancur berkeping-keping.

Dia tak percaya Mario tega mengucapkan kata-kata seperti itu.

Rosa merenung sejenak. Rosa tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sudah sempurna mengasuh kedua anaknya, tetapi dia telah mencurahkan begitu banyak perhatian untuk mereka.

Sekarang, hanya untuk melindungi perasaan Angel, Mario malah tega sekali berbicara dengan kata-kata yang begitu menyakitkan, seolah-olah Rosa yang sudah menyebabkan alergi Reyan kambuh.

Di mata Mario, apakah dia hanya ibu tiri yang tidak kompeten?

Rasa kecewa itu memenuhi dadanya, membuatnya tak mampu meluapkan.

"Di mana keluarganya anak Reyan? Silakan masuk." Tiba-tiba suara suster memanggil.

Mereka bertiga pun memasuki ruangan secara bersamaan. Dokter yang bertugas adalah seorang wanita berusia lima puluhan, dia bertanya, "Siapa orang tuanya?"

"Kami!"

Angel segera menarik Mario ke depan, raut wajahnya dipenuhi rasa cinta yang mendalam kepada putranya.

Rosa berdiri di belakang mereka, tidak ingin peduli dengan situasi saat ini. Dia hanya ingin tahu bagaimana keadaan anaknya.

Dokter wanita itu berkata, "Anak ini sudah enam tahun. Masa kalian nggak tahu alerginya, apa yang boleh dan nggak boleh dimakan? Jangan anggap remeh alergi, beberapa bisa berakibat fatal. Untungnya, anak ini nggak makan banyak hari ini, kalau sampai parah, walau dibawa ke sini pun bakal terlambat."

Setelah menerima banyak kritikan, Angel meminta maaf, "Itu kelalaian saya."

"Kamu sebagai ibu harusnya lebih perhatian." Dokter membenci orang tua yang ceroboh seperti itu.

Angel merasa tak senang dan menjawab dengan cemas, "Saya... saya nggak mengurus mereka sejak kecil, Dok. Jadi, saya nggak tahu kalau mereka punya alergi. Tapi, mereka memang selalu punya alergi. Apa itu karena lingkungan?"

Pertanyaan itu seolah-olah ditujukan untuk menyalahkan Rosa karena tidak membesarkan anak itu dengan baik.

Dokter itu berkata, "Anak-anak bisa alergi karena banyak faktor. Ada karena lingkungan, genetik, dan yang paling penting, pola makan ibu selama kehamilan."

Angel pun mengalihkan wajahnya, dia merasa sedikit bersalah.

Saat hamil, keluarganya sedang mengalami masalah yang sangat besar, hal itu membuatnya stres dan makan sembarangan, bahkan sampai minum alkohol.

Dokter itu menyadari sesuatu dan menyimpulkan dengan pengalamannya, lalu berkata, "Apa kalian sudah cerai? Siapa yang mengurus anak-anak selama ini?"

Mario tiba-tiba menatap Rosa.

Rosa melangkah maju. Dia berkata, "Halo, Dokter. Saya... saya ibu tirinya."

Dokter itu melirik Rosa dan setelah beberapa saat bertanya, "Apa kamu nggak tahu kalau anak ini ada alergi?"

Rosa mengepalkan tangannya, tiba-tiba tidak ingin lagi disalahkan. Dia menjawab, "Saya tahu, Dok. Mereka membawa anak-anak pergi, saya sudah memberi catatan, tapi catatannya hilang."

Mario sedikit mengernyit.

Dia tampaknya tidak suka Rosa menyalahkan Angel atas hal itu.

Namun, Rosa tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan suasana hati pria itu. Dia dengan khawatir bertanya kepada dokter, "Apa kondisinya parah, Dok? Apa dia muntah? Demam?"

Mendengar pertanyaannya, dokter itu langsung tahu bahwa ibu tirinya sangat mengkhawatirkan anaknya.

Di sisi lain, ibu kandungnya malah tampak acuh tak acuh dan bahkan tidak menanyakan keadaan anak itu.

Dokter itu kemudian menarik Rosa dan memberinya berbagai instruksi, dan akhirnya berkata, "Dia butuh diinfus dan harus rawat inap untuk observasi. Kalau semua hasilnya baik, dia boleh pulang."

"Baik, Dok." Rosa menghela napas lega.

Dokter tidak segan mengkritik kedua orang lainnya, "Kalau nggak bisa mengurus anak, jangan sok tahu. Apa kalian pikir membesarkan anak itu semudah meniup balon?"

Angel malu, wajahnya merah padam, dia lalu berjalan keluar, air mata mengalir di wajahnya.

Saat mereka memasuki kamar pasien, dia menyalahkan dirinya sendiri, "Mario, aku ini ibu yang buruk. Karena kecerobohanku, putra kita jadi begini."

Mario menghiburnya, "Ini bukan salahmu. Kamu kan nggak tahu alerginya Reyan. Tadi dokter bilang itu bukan masalah serius, kan?"

Mereka bertiga memasuki kamar pasien bersama.

Rosa ingin memeriksa kondisi Reyan, tetapi Angel mendekati tempat tidur terlebih dahulu.

Dia dan Mario, satu di setiap sisinya, mereka menjaga Reyan seperti keluarga yang harmonis dan hangat.

"Reyan, ini salah Papa. Papa janji akan lebih berhati-hati lain kali. Maaf ya." Mario menggenggam tangan putranya, dia sangat khawatir.

Reyan cemberut, tidak terlalu senang dengan kehadiran Angel di sana, dan tidak menanggapi kata-kata ayahnya.

Dia ingin ibunya yang tetap bersamanya.

Melihat mereka menjaga Reyan, Rosa menuntun Kirana keluar dari kamar.

Rosa duduk di kursi lorong, sementara Kirana memeluk lehernya, dan berkata, "Jangan sedih, Ma. Kalau Papa nggak nemenin Mama, Kirana saja yang nemenin."

Kata-kata itu semakin memperparah kesedihan Rosa. "Mama nggak sedih kok."

...

Di kamar pasien.

Angel menatap Reyan, sorot matanya dipenuhi kelembutan. Dia berkata, "Kata orang, anak laki-laki itu mirip ibunya. Lihat matanya Reyan, persis seperti mataku. Sifatnya Kirana juga sangat mirip aku. Melihat mereka, rasanya seperti melihat diriku waktu kecil."

Mario tak kuasa menahan diri untuk mengingat masa muda Angel yang berapi-api dan tak kenal takut.

Putrinya adalah versi mini dari Angel.

Dia mengangguk. "Iya, mirip banget."

Angel menunduk dan berkata, "Sayang sekali, semua album foto masa kecilnya sudah hilang."

Keluarganya bangkrut, dan rumahnya harus segera dijual. Keluarga Surata yang terkejut dengan perubahan situasi yang tiba-tiba itu, pun pergi hanya dengan membawa beberapa dokumen dan pakaian, meninggalkan semuanya.

Mario tentu saja tidak akan melupakan masa-masa sulit itu.

"Nggak apa-apa, nanti kita buat foto baru."

Angel berkata, dengan air mata menggenang di pelupuk matanya, "Aku masih ingat waktu hamil, kamu belajar cara membuat mie belut buatku. Rasanya enak banget."

Ingatan Mario berkelebat sejenak, dia lalu berkata, "Mau kubuatin lagi?"

"Nggak usah, semua sudah lewat." Angel terisak dan berbalik. "Aku mau ke kamar mandi dulu."

Namun, dia baru melangkah, tiba-tiba terbentur ujung ranjang rumah sakit.

"Angel!" Mario segera menopangnya. "Ada apa?"

Bibir Angel memucat. "Nggak apa-apa. Aku cuma capek saja. Ini karena kurang gizi saja, jadi tubuhku agak lemah."

Mario mengerutkan kening. "Kenapa masih maksain? Aku akan mengantarmu pulang saja."

"Nggak usah, apa kamu lupa kita ada janji makan malam bareng Ronald sama yang lainnya? Sekarang sudah telat, nggak enak kalau dibatalin. Kamu saja yang pergi, aku di sini jagain anak-anak."

Mario awalnya ingin membatalkan pertemuan itu, tetapi Angel berkata, "Kamu jangan sampai nggak pergi ya. Nanti mereka pikir aku nggak mau ketemu. Sampaikan saja salamku ke teman-teman. Kalau sudah selesai, bawain perlengkapan mandiku ya?"

Permintaan itu tidak terlalu sulit.

Mengingat kembali masa lalu, saat Angel masih ceria, dia supel dan cepat akrab dengan teman-temannya, tetapi sekarang...

Mario mengangguk. "Kalau gitu, aku pergi dulu ya."

"Iya."

Setelah Mario keluar dari kamar Reyan, dia berkata kepada Rosa yang sedang menggendong Kirana di luar, "Aku ada janji makan malam sama Ronald dan yang lainnya. Orangnya lumayan banyak dan sudah telat, jadi nggak enak kalau nggak datang. Aku akan cepat balik."

Rosa tahu Mario hanya memberitahu, bukan bertanya, jadi dia hanya mengangguk.

Setelah Mario pergi, Rosa membawa Kirana masuk ke kamar Reyan.

Tanpa ayahnya di sana, Reyan merasa lebih berani dan langsung berkata dengan tidak senang, "Aku nggak butuh kamu jagain. Kamu pergi saja, biar Mama yang nemenin aku."

Angel merasa sangat sedih dengan perlakuan putranya, tetapi dia hanya bisa menahannya, dan berkata lembut, "Reyan, kamu kan lagi sakit, Mama ini beneran khawatir."

Tepat ketika Reyan hendak mengatakan sesuatu, Rosa menghampirinya. "Reyan, cepat tidur."

Reyan cemberut, dia pun memejamkan mata, dan terdiam.

Setelah itu, tak seorang pun di kamar itu berbicara lagi. Kirana menggenggam lengan Rosa, ibu dan anak itu begitu dekat dan mesra.

Di sisi lain, Angel terus memeriksa ponselnya yang tak henti bergetar.

Kirana mendongak saat itu, dan berkata, "Kalau sibuk, kamu pergi saja. Nggak perlu tinggal di sini nemenin adikku."

Anak usia enam tahun belum memahami konsep ibu kandung dan ibu tiri.

Mereka hanya tahu bahwa yang telah bersama mereka sejak kecil dan merawat mereka adalah ibunya.

Dan sekarang, kehidupan bahagia mereka bersama ibu tercinta sedang terancam, sehingga mereka sangat menentang kemunculan Angel yang tiba-tiba.

Mendengar kata-kata putrinya, Angel dengan lembut menjawab, "Aku nggak sibuk kok. Ini pesan dari papa. Aku minta papamu bawain perlengkapan mandi. Papa lagi nanya sama Mama."

Setelah mengatakan itu, Angel sengaja menunjukkan ponselnya kepada Kirana.

Pada saat itu, jantung Rosa berdebar kencang, hingga gemetar.

Kirana dan Rosa duduk di sisi yang sama, meskipun tidak ingin melihat, dia tetap bisa melihatnya dari sudut mata.

Tanpa sengaja, dia melihat sekilas sisi Mario yang penuh perhatian dan kasih, tetapi bukan untuknya.

Semenit kemudian, pipi Angel sedikit memerah, dan berbicara dengan agak malu-malu.

"Maaf ya, Rosa, Mario nggak ngerti barang-barangku. Apalagi, ada beberapa yang agak pribadi. Aku balik sebentar, mau ambil sendiri, terus langsung nanti balik lagi. Kamu yang jaga anak-anak dulu di sini ya."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Pilih Dia, Maka Aku Pergi   Bab 50

    Angel terdiam, mengambil sampul buku itu, lalu berkata, "Ini... bersih. Jadi, kelihatan sangat rapi."Pengasuh menjawab, "Anak-anak punya desain favorit mereka sendiri." Angel melirik pengasuh yang telah menyela dengan tajam.Pengasuh ini sama seperti kepala pelayan itu, benar-benar tidak tahu sopan santun. Bibir Angel pun melengkung menjadi senyuman. Dia berkata, "Aku tahu kamu sudah merawat anak-anak tanpa lelah. Tapi sebagai pengasuh, sebaiknya kamu mundur saat keluarga berbicara. Kalau nggak, anak-anak juga jadi terbiasa menyela seenaknya."Kirana segera membelanya, "Bibi sangat baik pada kami." "Mama bilang pengasuh dan pelayan juga bagian dari keluarga, dan kita harus menghormati mereka." Reyan mengulang kata-kata yang pernah diucapkan Rosa.Meskipun mereka tidak lagi menunjukkan perlawanan terbuka terhadap Angel, tatapan mata mereka semakin jauh dan asing.Bagi mereka, Angel adalah orang luar yang bersama-sama ayahnya, telah membuat ibu mereka pergi dari rumah. Dalam hati, ke

  • Kau Pilih Dia, Maka Aku Pergi   Bab 49

    Yaitu kesabaran dan lapang dada!Hal kecil seperti ini, seharusnya Rosa mengerti dan percaya padanya.Namun, bukan hanya berulang kali meminta cerai, Rosa kini pergi meninggalkan rumah.Dia ingin melihat seberapa lama Rosa bisa bertahan di luar sana, sendirian dan tidak berdaya.Pak Suradi langsung terdiam, berbalik pergi tanpa berkata apa-apa....Mulai hari berikutnya...Mario sama sekali tidak menyebut sedikit pun tentang Rosa.Di meja sarapan, Kirana tidak melihat ibunya, jadi bertanya, "Papa, Mama mana?""Dia sudah pergi."Mario meletakkan sendoknya, wajahnya serius saat menatap anak-anaknya. "Sudah waktunya Papa beri tahu kalian ini. Mama Angel dan Papa itu orang tua kandung kalian, sedangkan Mama Rosa itu cuma ibu tiri kalian. Dia nggak mau tinggal di sini lagi, jadi kalian nggak boleh mencarinya terus. Kalian sekarang sudah masuk SD, sudah harus mengerti." Angel buru-buru menambahkan, "Benar, Kirana. Mama ngerti kalau kalian nggak suka Mama, itu karena kita belum dekat saja. T

  • Kau Pilih Dia, Maka Aku Pergi   Bab 48

    Angel seakan teringat sesuatu, lalu berkata, "Mario, aku tahu orang tuaku dulu mungkin pernah menyinggung beberapa rekan kerja, jadi mereka sekarang mau ambil kesempatan menjelek-jelekkan namaku. Keluarga Andara contohnya, dan orang-orang yang tiba-tiba muncul belakangan ini, mereka semua berniat memfitnah masa laluku. Aku beneran..."Angel sengaja mengungkit hal itu untuk memperingatkan Mario, supaya jika nanti dia dengar sesuatu, tidak langsung percaya. Mario bertanya, "Maksudmu orang-orang dari Kuil Awan Suci?""Dan orang yang baru saja memberikan hadiah kepada Rosa, dia juga bilang aku kenal seorang pengusaha kaya atau semacamnya."Angel menunduk dan berkata, "Sekarang aku nggak punya keluarga, nggak bisa membela diri. Tapi aku paham, mereka semua hanya peduli pada Rosa. Kamu jangan marah ya." "Iya, Kak."Laras berlari turun ke bawah dan membela Angel, "Orang yang tadi bawa hadiah untuk Rosa bilang Kak Angel dulu kenal seorang pengusaha kaya. Kalau dia beneran mengenal seorang pe

  • Kau Pilih Dia, Maka Aku Pergi   Bab 47

    Angel tampaknya sangat khawatir pada Mario, dia menggunakan tongkat dan turun perlahan. "Mario, sudah jangan marah lagi. Semua keributan ini, sampai ulang tahun Rosa pun terganggu, semua karena aku yang ceroboh." Rosa meliriknya sebentar sebelum berpaling ke Mario dengan senyum, dan berkata, "Menurutmu aku punya hubungan apa dengan mereka?" "Seharusnya kamu yang jawab," balas Mario, tidak menghiraukan Angel.Rosa menatap Mario yang wajahnya penuh keraguan. "Kalau aku bilang sudah kenal mereka sejak kecil, kamu percaya?" Mata Mario melebar tanpa sadar.Teman masa kecil?Angel ikut menyela, "Kenal siapa sejak kecil?" Keduanya pun terdiam.Angel mendekat ke Mario. "Mario? Apa yang kalian bicarakan?"Angel sepertinya tidak mau ada hal yang tidak diketahuinya di antara mereka. Angel sangat khawatir bahwa pria dengan jas itu mungkin telah mengatakan sesuatu yang memicu kecurigaan Mario, jadi dia ingin mengawasi pembicaraan mereka.Pak Suradi untuk pertama kalinya menunjukkan ketidaksuk

  • Kau Pilih Dia, Maka Aku Pergi   Bab 46

    "Nggak perlu," jawab Vincent ke Mario.Vincent menoleh ke Rosa, dan berkata, "Selamat ulang tahun. Jaga dirimu baik-baik, karena banyak orang yang peduli padamu."Kata-kata itu terdengar mengganggu telinga Mario.Banyak orang yang peduli pada Rosa?Siapa saja?Apakah termasuk dia, Vincent?Setelah berkata demikian, Vincent melirik Mario sebelum masuk ke mobil dengan santai.Pintu mobil tertutup. Para pengawal Keluarga Sinatra pun mulai keluar satu per satu saat lampu mobil menyala, begitu terang hingga menyilaukan....Di dalam Kediaman Sinatra.Pandangan Arga melayang santai ke arah Angel sebelum dia berkomentar, "Bu Angel memang suka jadi pusat perhatian, bukan? Selalu suka di tempat yang ramai."Ronald langsung membalas, "Jangan tindas perempuan!"Senyum Angel sedikit goyah. "Apa maksudmu?"Arga mengangkat alisnya, dan berkata, "Saya ingat Bu Angel dulu tinggal di luar negeri, kenal banyak para konglomerat, bukan?"Wajah Angel memucat sejenak.Apa maksud mereka?Bagaimana mereka bis

  • Kau Pilih Dia, Maka Aku Pergi   Bab 45

    Mario merasa dia bisa saja memaklumi jika Rosa sedang emosional. Untuk kejadian hari ini, selama dia mau mengalah dan minta maaf, tamparan itu tidak akan Mario permasalahkan. Namun, Rosa justru menatap dengan sinis wajah-wajah mereka yang penuh sikap penjilat. Penghinaan di matanya sama sekali tidak disembunyikan. Laras menyadarinya. "Apa maksudmu dengan menatap begitu? Apa kamu meremehkan Keluarga Sinatra?" Tepat saat itu, Pak Suradi memandang ke arah luar pintu dan bertanya, "Maaf, kalian siapa...?" Di tengah keributan, tidak ada yang menyadari deretan mobil mewah yang kini parkir di luar kediaman Sinatra.Lampu dari tiap mobil menyala terang, menerangi hampir seluruh sisi rumah. Sekelompok pria dengan seragam berjalan menuju pintu, masing-masing membawa kotak kado mewah dalam tangan mereka. Mereka berdiri rapi di depan pintu. Serempak berseru, "Bu Rosa, selamat ulang tahun." Rosa terpaku. Pandangan matanya jatuh ke salah satu mobil di depan. Rosa mengenali mobil itu. Mob

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status