Tiga hari berlalu sejak Anna memutuskan pergi dari rumah. Dia tinggal di restoran yang lantai tiganya berfungsi sebagai kantor sekaligus ruangan pribadi. Terdapat satu kamar plus perabotan dan tempat tid-ur ukuran king di dalamnya. Kamar itu juga memiliki balkon menghadap ke jalan raya. Anna lebih banyak bekerja di sana selama p3rang dingin dengan Syam. Beberapa kali lelaki itu datang menemuinya, tapi selalu ditolak. Anna tak ingin luluh begitu saja meski tidak dipungkiri rasa rindu terkadang merayunya berlari menemui Syam. Anna takut terluk4 lagi, dia tak akan mampu bila harus menahan kecewa untuk kesekian kali. Meski sudah menyelesaikan pekerjaan menumpuk tak mampu mengalihkan pikirannya yang bergaduh. Setiap malam, dia membaca lagi pesan whatsapp yang dikirimkan Syam, panggilan tak terjawab pun tak terhitung banyaknya. Meski kesal, tapi ada setitik hangat jatuh di hatinya. Kegigihan Syam menghubunginya satu bukti bahwa lelaki itu masih peduli. "Sayang, maafkan aku. Pulang, ya, a
Syam beberapa kali menghubungi ponsel Anna, tetapi selalu ditolak. Dia menatap nanar layar hp yang menampilkan wallpaper wajah sang istri. Foto itu dia jepret diam-diam tujuh tahun yang lalu. Wajah cantik Anna yang ditimpa cahaya matahari di sore hari semakin memesona, berkilau laksana berbedak berlian. Dia sampai tak bisa mengalihkan tatapannya dari si wanita. Anna cinta pertama Syam, tak pernah hatinya terpaut begitu erat selain pada Anna. Dia bahkan rela menunggu hingga bertahun-tahun agar impiannya menjadi nyata. Dia juga sudah mencoba menemui Anna di restoran, tetapi selalu ditolak oleh karyawannya. Syam tersiksa, rasa bersalah dan rindu membuat hatinya resah."Papa lagi sedih, ya?" Suara halus Kai membuat Syam menoleh. Dia tersenyum pada Kai.Bagaimana hati Syam tidak ters3ntuh. Pertama kali bertemu postur Kai sangat kurus dan kecil dibanding anak-anak seusianya. Dia juga selalu terlihat ketakutan. Butuh waktu bagi Syam mendekati Kai agar bisa mendapat kepercayaan boc4h lelaki i
"Pikirkan baik-baik apa yang kamu inginkan, keluarga yang utuh atau rumah tangga yang sehat?"Kata-kata Anna terus bergema diingatanku. Cara dia menatapku semalam berbeda, begitu dingin dan datar. Aku seakan melihat sisi Anna yang lain. Aku takut dia benar-benar menyerah dengan rumah tangga kami. Tidak, Anna cinta pertamaku, tak akan kubiarkan pernikahan ini runtuh begitu saja. Aku tahu sikapku sangat keterlaluan. Bukan tak menghargai pendapatnya, tapi semua yang terjadi terlalu mendadak. Aku ingat malam itu setelah meminta Nadin pulang. Kai mulai gelisah, dia terus-menerus menangis sambil memegang perutnya. Kupikir hanya sakit perut biasa, tapi tak lama kemudian Kai muntah dan demam. Dia mengingau memanggil Mamanya. Aku yang tidak berpengalaman mengurus anak terpaksa menelepon Nadin memintanya datang untuk menjaga Kai. Keesokkan hari kondisi Kai membaik, tapi aku dibuat terkejut mendengar permintaannya yang tak masuk akal. Aku jelas-jelas menolak, tapi Nadin mengingatkan penolakanku
"Apa ini?" Aku bersuara walau serak, rasanya tenggorokanku tercekik sesuatu tak kasat mata. Melihat kebersamaan itu seakan akulah orang ketiga di hubungan mereka.Syam langsung menghampiriku. "Sayang, Kamu udah pulang?”Aku menatap Syam dengan raut datar. “Jelas aku pulang. Ini rumahku.”Pandanganku beralih pada Nadin yang kini tampak gugup, dan Kairo yang menyembunyikan senyumnya."Anna, ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku dan Syam hanya sedang menyenangkan anak kami."Nadin, si ular berbisa bersuara. Mungkin orang lain mendengar dia berbaik hati menjelaskan agar aku tak salah paham, tapi aku bukan wanita bod0h yang tak paham maksud tersirat dari kata-katanya. 'Anak kami' bukankah itu kata lain kalau aku bukan siapa-siapa?"Siapa yang ngasih kamu hak untuk bicara?!" Tatapanku menajam menu-suk ke Nadin. Ingin rasanya mencab1k wajah sok polosnya."Sayang, aku bisa jelasin, kami-"Aku mengangkat tangan agar Syam berhenti bicara. Aku ingin memak1 lelaki itu, bisa-bisanya membiarkan Na
Pagi-pagi sekali aku bangun. Dengkuran halus di sebelahku membuatku menoleh. Wajah Syam saat sedang terlelap sangat tampan. Ingin rasanya menyentuh pipinya, tapi gerakan tanganku tertahan saat ingat perlakuannya padaku. Bukan benci, namun kecewa karena dia lebih percaya pada orang lain. Sepagi ini mood-ku kembali memburuk. Kadang aku berpikir apakah bahagia tak pernah tertulis di garis nasibku? Tuhan menganugerahi kecantikan, kesehatan, harta, dan karir. Aku rela kehilangan semua itu asal bahagia seumur hidup.Getaran di ponsel membuatku meraih benda itu. Pesan dari manajer restoranku di Bogor yang melaporkan ada masalah dengan cabang kami di sana. Tidak ada jalan lain aku harus berkunjung untuk menyelesaikan masalah tersebut. Aku menghela napas, mungkin dengan mengambil jarak sebentar dari Syam suasana hatiku bisa lebih baik. Aku meletakkan kembali ponsel di tempat semula lalu bergegas ke kamar mandi. Setidaknya aku harus membuat sarapan untuk Syam untuk meredakan ketegangan kami."M
"Anna jangan berulah lagi atau aku akan memulangkanmu!"Syam berlari menghampiri Nadin yang meringis kesakitan memegang wajahnya, saking terburu-buru dia menabrakku hingga terantuk sudut kulkas. Aku memegang kepalaku yang terasa nyeri, melirik ke arah Syam yang membantu Nadin berdiri."Kamu baik-baik saja?" Syam menatap Nadin dengan cemas sembari memegang bahunya.Nyeri di kepalaku tidak seberapa sakitnya dibanding perhatian Syam untuk wanita lain. Apa aku setidak berharga itu untuknya sekarang?"Mukaku panas sekali, bagaimana kalau wajahku rusak." Nadin menangis. Mungkin orang lain akan tertipu dengan sandiwaranya, tapi aku tidak. Wanita ini berbahaya, dia mampu menyakiti diri sendiri untuk menarik simpati orang lain. Mulai sekarang aku harus lebih waspada. Aku melirik ke plapon dan menghela napas lega. Terus saja playing victim sampai kubongkar kedokmu.Syam menatapku dengan geram. "Anna, tadi kamu mendorong Kai, sekarang menyiram wajah Nadin dengan air panas, maumu apa sih?"Suara