Share

Kau yang Diantaranya
Kau yang Diantaranya
Author: Su Ian Utra

Aiza dan Burung Gagak

Mitos: Jika kau mendengar burung gagak bersuara atau berpapasan, katanya nasib mu akan sial.

* * *

Pukul delapan pagi perkuliahan ku akan dimulai, jarak dari kosan menuju kampus tak terlalu jauh. Jika kau memotong ke salah satu gang, hanya butuh 15 menit sampai di pertigaan menuju jalan utama kampus.

Sayangnya, sedikit sekali orang yang ingin melewati gang setapak itu. Pasalnya di sana banyak sekali burung gagak, yang bertengger dan bersuara nyaring. Mendengar dari kejauhan saja, orang banyak akan mengusir mereka dengan jampi-jampi. Tapi aku memutuskan untuk melewatinya, hanya berbekal sebungkus roti murah.

Gang itu hanya memiliki lebar satu meter, dengan panjang... entahlah aku tidak tau. Batas kiri kanan adalah tembok panjang berbahan batako, samping kiri adalah pekuburan dan samping kanan adalah batas belakang dari rumah penduduk.

Begitu sampai di gang tersebut, sekawanan gagak dengan bulu hitam mengkilap cantik bertengger di salah satu pohon tua besar. Daunnya tengah gugur karena bulan ini telah masuk musim panas. 

Mata kami bertemu, mereka mengamatiku lekat. Beberapa detik jantungku berdetak cepat, tetapi lekas menarik nafas agar tak lekas panik. Satu diantaranya mengeluarkan suara keak! Yang keras lalu diikuti oleh kawanannya yang lain, kurasa ia adalah pemimpin dari mereka.

"Maaf, setiap hari aku akan melewati jalan ini. Jadi, kalian akan sering melihat ku. Sebagai imbalannya, hanya punya ini." Kukeluarkan sebungkus roti dari dalam tas, membukanya lalu menyimpannya di atas tembok pembatas.

Mata hitam itu mengamati dengan lekat, tanpa di duga ia terbang mendekat. Berjalan mondar-mandir, loncat ke sisi kiri dan kanan dari roti tadi lalu mengambilnya dan terbang kembali. Kawanan si gagak menyambutnya antusias, mereka turun dari atas pohon ke sisi lain di pekuburan. Setelah itu yang kulakukan adalah jalan dengan tenang.

Perkuliahan pagi kadang membuat mahasiswa merasa keteteran, selain tugas yang harus selesai dalam semalam. Jam pagi membuat mahasiswa merasa bagai kuda pacuan. Kami di tuntut untuk datang tepat waktu, tugas selesai tepat waktu, dan dilarang protes jika nilai kami kecil. Seperti pagi ini, ketika dua temanku terpaksa tidak di ijinkan mengikuti perkuliahan karena datang terlambat. Sampai jam perkuliahan selesai dan kami hanya memiliki jeda satu jam, mereka mengomel dan protes ke arahku.

"Gila Za! Tadi bahas materi apa?" Tanya si kacamata, Taklif. Pemuda yang mudah panik dan merasa masa kuliah bagaikan penjara Azkaban.

"Cuma bahas...--"

"Si Pa Ratno! Dia dah ngeluarin gua dua kali dari kelas! Sialan, gua bisa dapat nilai C kalau begini! Gimana gua bisa ikut ujian!" Pemuda dengan bahasa sarkasme yang terkadang tak bisa dikontrol ini, Wira. Tapi jangan sekali-kali kalian menambahkan kata -usaha di belakang namanya, jika kalian bukan teman dekatnya.

"Diem dulu Air, si Iza belum ngomong tadi materinya apa!" Timpal Taklif kesal karena jawabanku, dipotong oleh kalimat keluhan Wira.

"Percuma juga lu tau, meningan kita minta langsung aja si Iza buat jelasin balik ke kita. Dia kan gak pernah telat ke kampus, padahal kosan dia bisa ngabisin waktu 30 menit pake jalan kaki doang. Untuk yang satu ini aku tidak akan mengatakan pada mereka. Karena...

* * *

"Aiza! Gilaaa saya denger burung, suara burung gagak di belakang gedung lab kimia! Saya pasti kena sial ini, pasti!"

Prang!

Tabung pereaksi sebanyak 5 buah pecah berhamburan di atas lantai, lengkap dengan cairan kimia panas.

"Tuh kan Wir! Saya tadi udah cerita, ada burung gagak! Saya jadi sial ini!" Sementara Taklif berwajah pucat mengeluh ke arah Wira, yang malah juga menyalahkan kelakuan sobatnya itu. Dosen laboratorium kami Bu Ririn telah siap mengomel, di balik meja pengawas di depan sana.

Aku tidak tau apakah benar, jika burung gagak membawa sial untuk seseorang yang mendengarnya. Tapi mata hitam itu seperti mencoba mengenaliku, burung gagak itu ada di depan sekarang tanpa kawanannya. Sendirian bertengger di ranting pohon, yang paling dekat dengan jalan pulang menuju kosan.

Kami saling bertatapan, ku keluarkan sebungkus roti kembali. Membukanya dan menyimpan di atas benteng seperti sebelumnya. Tapi kali ini si burung gagak tak lekas terbang ke arahku, ia masih bertengger di tempatnya.

"Baiklah, aku pergi." Ucapku sedikit bingung mencoba berlalu, tapi rasa penasaran membuat kepala melirik kebelakang untuk melihatnya setelah tiga menit berjalan. Rupanya ia telah pergi dengan roti yang mungkin juga dibawanya.

"Hei... Hati-hati dengan dua kamar di sebelahmu." Sayup kudengar seseorang berbicara, aku berbalik tapi tak ada seorangpun di belakang. Kali ini adrenalinku terpacu, langkah kaki menjadi lebih cepat hingga sedikit berlari. Sampai di ujung gang, suara kepak sayap mengudara dan bulu burung hitam terjatuh dari langit yang kulihat.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status