“Kalo tidak salah Tuan Muda pernah menyebutnya Safa. Iya Nona Safa.”
Safa semakin lemas dan ingin meruntuhkan tubuhnya begitu saja. Nama itu merupakan dirinya sendiri, tetapi mengapa Faqih tidak hadir di hari pernikahan.
“Lalu, apa Bapak tahu di mana keberadaan Faqih sekarang?” Safa terisak nyeri dalam dadanya. Ia semakin penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh.
“Maaf, Non, saya tidak tahu karena saya pun baru bekerja di sini,” kata pria paruh baya tersebut. “Kalo boleh tahu Nona ini siapa?”
Safa tidak tahan lagi hingga ia pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Entah apa yang terjadi pada kekasihnya sekarang. Ia berlari sekuat tenaga dengan tangis yang terus mengalir di pipi.
“Argh, Mas Faqih. Di mana kamu, Mas?” lirih Safa berhenti di tepi jalan. Ia tidak peduli dengan para kendaraan yang memerhatikannya.
Pikiran Safa berjalan melalang buana. Rasanya tidak mungkin jika Faqih berbohong. Jika dia menikah bersama wanita lain, mengapa tidak ada satu pun yang tahu di mana keberadaannya.
Safa semakin penasaran hingga kembali menghubungi Faqih. Berulang kali dilakukan tetap tidak ada jawaban. Ia geram dan memilih pergi dari tempatnya.
Faqih belum lama bersamanya sehingga Safa belum banyak tahu. Satu tahun mengenal, pria itu langsung mengajak Safa serius dan kini ia bingung sendiri ke mana lagi harus mencari.
Sama halnya dengan Azril yang kehilangan Safa. Wanita itu tidak ada di kamar bahkan di seluruh ruangan rumah yang tersedia. Azril menyerah dan menghampiri pembantu rumahnya yang baru saja hadir.
“Bi, Safa tidak ada di kamar. Apa Bibi tahu Safa pergi ke mana?” tanya Azril dengan wajah panik.
Bi Inah pun menggaruk kepalanya, bingung harus menjawab apa. “Anu, Mas .... Neng Safa tadi bilang pergi ke rumah temannya.”
Azril mengernyit, memikirkan rumah teman mana yang dimaksud. Pasalnya, ia dan Safa pernah menimba pendidikan yang sama sehingga hapal betul siapa teman-teman Safa. Namun, entah jika teman yang lain.
“Dari kapan, Bi?” Azril kembali bertanya, lalu menuangkan minum ke dalam gelasnya.
“Sejak pagi, Mas. Setelah Mas dan Tuan pergi.”
Pria itu menghela napas, sepertinya ia tahu ke mana Safa pergi. Dia memang sangat nekat bahkan ucapan untuk memberi kabar pun tidak didengar olehnya. Saat itu pula, Azril merogoh ponsel dan menghubungi Safa, ingin mengetahui keberadaannya yang entah di mana.
“Safa, ayo dong angkat,” kata Azril cemas karena tidak mendapat jawaban. Ia pun tak bisa diam yang akhirnya meninggalkan ruangan untuk mencari Safa.
Namun, baru saja hendak membuka pintu, wanita yang Azril tunggu pun sudah muncul di hadapan. Ia sedikit terkejut dengan kedatangannya, terlebih keadaan wajahnya begitu lesu dan tampak sedih.
“Safa, kamu dari mana?”
Bukannya menjawab, Safa malah melengos dan tidak memedulikan Azril. Hati dan pikirannya sangat lelah sehingga ia tidak ingin berbicara. Saat itu pula, Safa melewati Azril dan berjalan menuju kamarnya dengan cepat.
“Safa!” Azril pun mengikuti langkahnya di belakang. “Fa, jawab aku! Kamu dari mana?” Ia berhasil mencekal lengan Safa dan memberhentikan langkahnya.
Safa meringis yang menyentakkan lengannya dengan kasar. “Kenapa sih kamu kepo banget?”
“Wajar, Fa, aku suamimu.” Raut wajah Azril tidak bisa dibohongi, ia sangat khawatir dengan kondisi Safa.
Seketika suasana menjadi hening. Azril masih menatap lekat wajah Safa, matanya sedikit sayu dan terlihat kesedihan yang amat dalam. Entah apa yang terjadi pada wanitanya.
“Safa, apa kamu habis mencari Faqih?” Azril menebak walau hatinya amat sakit. Tidak ada yang rela melihat wanitanya masih memikirkan pria lain.
“Tolong lepas, Ril, lebih baik kamu keluar. Aku lelah, pengin istirahat,” ujar Safa lemah. Rasanya tidak perlu menjawab jika tebakan pria itu saja sudah benar. Seharusnya dia sadar diri, tidak perlu banyak bertanya.
Azril masih menahan lengan Safa. “Aku tidak akan lepas sebelum kamu jawab pertanyaan aku, Fa!”
Menghadapi Safa yang egois bukan hal yang mudah. Ia memang harus telaten dan penuh sabar untuk bisa meluluhkan hatinya. Jika dibalas dengan kasar, justru Safa akan semakin berontak.
“Iya aku habis mencari Mas Faqih. Puas kamu!” bentak Safa yang menggema di telinga Azril.
Saat itu pula secara perlahan cekalan Azril mengendur dan terlepas dengan sendirinya. Ia pria lembut seakan dadanya bagai ditusuk belati mendengar fakta yang menyesakkan. Namun, ia tahan dan tetap tersenyum di hadapan Safa.
“Kenapa kamu tidak mengabariku? Padahal, aku bisa antar kamu, Fa,” tutur Azril lemah.
“Tidak perlu, aku bisa sendiri. Tolong tinggalin aku sendiri, Ril!” pinta Safa yang membalikkan tubuhnya. Air mata sudah menetes satu persatu dan tidak ingin semakin berdosa harus menangis di hadapan pria yang sudah menjadi suaminya.
Sakit, tentu, tetapi Azril tidak bisa membantah. Ia tahu perasaan Safa yang akhirnya memilih mengalah dan pergi dari hadapannya. Mungkin semua yang terjadi merupakan akibat dari kesalahan masa lalunya pada Safa. Ia memang pantas mendapat perlakuan kasar dari Safa.
Kemudian, ia turun dan terlihat Bi Inah sedang menata makanan di meja. Azril pun memastikan lagi wajahnya agar tidak ada air mata yang tersisa.
“Loh Mas Azril tidak jadi makan?” Bi Inah melihat tuan mudanya yang sepertinya hendak pergi.
“Tolong dibungkus saja, Bi, soalnya saya harus kembali ke kantor sekarang,” ujar Azril sembari melirik jam tangan yang memang sudah melewati jam izinnya.
“Baik, Mas, Bibi siapkan sebentar, ya.”
Azril mengangguk dan menunggu Bi Inah menyiapkan bekalnya. Padahal, kepulangan Azril ke rumah ingin makan siang bersama Safa, tetapi semua di luar dugaan. Safa tidak ada dan saat kembali, dia datang dalam keadaan marah.
“Ini, Mas, makanannya.” Bi Inah memberikan pesanan yang Azril pinta.
“Terima kasih, Bi. Oh iya, Bi, nanti tolong ajak Safa untuk makan, ya. Mungkin sekarang dia belum mau. Pokonya jangan sampai dia tidak makan, ya, Bi.” Azril tidak bisa membiarkan Safa terus bersedih dalam kamarnya.
Bi Inah pun mengangguk seraya tersenyum. “Siap, Mas. Mas tenang saja.”
Saat itu pula Azril pergi dan Bi Inah masih memandangi punggung tuan mudanya. Begitu sabar pria muda itu menghadapi Safa hingga tercetus doa dalam hati. Berharap nona mudanya bisa sadar dan melihat jika Azril merupakan pria yang amat penyayang.
Safa sendiri masih betah di kamar. Ia tidak ingin apa pun selain mendapat kabar tentang sang kekasih. Ponselnya tak lepas dari genggaman barangkali ada kerabatnya yang memberitahu.
Langit pun sudah berubah gelap, Safa masih terbaring di atas ranjang seolah hati dan pikirannya sangat lelah memikirkan Faqih. Seketika, ia terusik dan mengerjap karena rasa tidak nyaman dalam tubuhnya.
“Uhuk, uhuk.” Rasa tenggorokan amat kering dan gatal.
Safa berusaha bangkit, lalu melirik ke arah jam yang ternyata sudah tengah malam. Ia tidak sadar rasa sedihnya membuat terlelap seharian. Tangan mungilnya mulai meraba nakas dan ternyata tidak ada air minum. Safa hendak turun, tiba-tiba denyutan di kepalanya begitu kuat. Belum lagi rasa melilit di perut yang amat hebat.
“Argh, Bi, Bi Inah,” teriak Safa menahan sakit. Tidak ada yang menyahut, Safa pun terpaksa berjalan ke arah pintu.
Namun, saat membuka pintu tubuhnya tidak seimbang membuat Safa meringis yang memegangi kepalanya.
“To-long ... A-ayah.” Suara Safa lemah dan tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Bahkan, Azril saja tidak terlihat di kamarnya sekarang. Safa pun terus berjalan hingga akhirnya terjatuh.
“Astagfirullah, Safa!”
Pria muda itu tengah memandang wajah Safa dengan cemas. Beruntungnya ia tidak terlambat sehingga dapat menangkap tubuh Safa yang tumbang. Kini, wanita itu sudah terbaring lemah di atas ranjang.“Jangan menyiksa diri, Fa! Sedih boleh, tetapi tidak perlu dzolim sama diri sendiri. Tubuh juga perlu perhatian,” kata Azril terus mengoceh.“Kenapa kamu belum makan?” Azril mendesak Safa yang tak menjawab. Tatapannya tak lepas dari Safa. “Sekarang, makanlah! Biar aku suapin.”Safa menahan. Ia berusaha bangkit dan menolak tawaran Azril. “Biar aku sendiri, aw!”Ringisan itu terdengar membuat Azril menghela napas. “Lebih baik kamu nurut, biar aku suapi.”Mau tidak mau, Safa pun mengalah. Tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama. Suapan demi suapan, pria itu begitu telaten menyuapi hingga matanya bertemu membuat Safa mengalihkan pandangan.Ia sedikit tertegun dengan perhatian yang kembali terulang beberapa tahun silam bahkan dia terlihat lebih dari yang Safa kira. Namun, segera ia tepis untuk tidak
Safa pun langsung terbelalak. Air liurnya tertahan dan menepis tangan kekar itu untuk segera menyingkir di atas dahinya.“Aku sudah lebih baik,” kata Safa menahan rasa degupan jantungnya yang naik turun.“Syukurlah, tetapi kamu tumben sekali meminta izin,” Azril memandang bingung, aneh sekali dengan sikapnya. “Hmm, apa kamu sedang mengigau?”“Aku mengatakan dalam keadaan sadar,” ujar Safa asal, lalu beranjak menjauh. Tidak ingin terus berhadapan dengannya. “Lagipula kamu sendiri yang mengatakan untuk memberitahu jika aku ingin pergi.”Azril menghela napas. Memang benar apa yang dikatakan Safa, tetapi rasanya aneh sekali. Apa mungkin itu efek dari sakit kemarin? Entahlah, ia tak ingin banyak bertanya.Pria itu merogoh saku, lalu mengambil sesuatu dan diberikan kepada Safa. “Ini untukmu!”Safa mengernyit bingung saat Azril meletakkan lembaran merah yang berada di atas telapak tangannya.“Apa maksudnya? Kamu tidak bisa menyogokku dengan sejumlah uang, Ril!” Safa tidak terima dengan balas
Safa tak berhenti menangis dan terus mundar-mandir menunggu kabar sang ayah. Hatinya tak tenang, penuh khawatir terjadi sesuatu.“Andai kamu tidak hadir lagi dalam hidupku, hal ini tidak akan terjadi,” cecar Safa menatap tajam Azril. Ingin sekali menampar dan mengusir pria itu dari sini.“Berhentilah untuk menyalahkan keadaan, Fa. Daripada kamu emosi, lebih baik banyak berdoa untuk kesehatan Ayah.” Azril mengingatkan. Ia sama sekali tidak merasa tersakiti oleh ucapan Safa.Wanita itu menggeram kesal, lalu pintu ruangan terbuka membuat Safa mengalihkan dan bergegas mendekati sang dokter yang keluar.“Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?” tanya Safa khawatir.“Ayah Anda terkena serangan jantung, tetapi syukurnya segera dibawa kemari. Saya sarankan untuk menjaga kestabilan emosinya, ya. Jangan sampai membuatnya tertekan, sebab hal itu bisa membahayakan jantungnya.” Sang dokter menjelaskan dengan gamblang.Perasaan Safa berkecamuk mendengar ayah yang memiliki penyakit mematikan. Entah sejak
“Kamu mengapa menamparku, Fa?” Azril tertegun saat mendapat tamparan dari wanita yang ditolonginya.“Tidak usah mengambil kesempatan.” Safa murka saat tatapan Azril begitu menghunus amat dekat. Ia pun segera bangkit dan menjauh.“Kesempatan apa yang kamu maksud, Fa? Apa seperti ini?” Pria itu ikut bangkit dan sengaja mendekati Safa bahkan tanpa segan merapatkan tubuhnya dengan rangkulan bahu yang semakin rapat.Mata Safa melebar menahan amarah yang bergemuruh. “Ish, tidak usah peluk-peluk sana menjauh.”Safa berusaha melepaskan rangkulannya. Ia risih dan ingin segera pergi, terlebih beberapa pasang mata memerhatikan ke arahnya. Sungguh, bikin malu.“Padahal saat tertidur tadi kamu sendiri yang peluk aku.”Safa meneguk saliva dan semakin murka pada pria itu. Ternyata dia menyadari hal itu, tetapi dia sengaja membiarkan. Ah, malu sekali. Kini hatinya sudah dipenuhi oleh bara api yang rasanya ingin segera diluapkan.Namun, sekuat tenaga ia tahan. Pria itu benar-benar menguji kesabarannya
Azril mengangguk mengerti apa yang telah diceritakan oleh ayah mertuanya, tetapi ia juga tidak ingin memaksa hati Safa untuk mencintainya.“Ayah, Azril khawatir dengan Safa.” Tidak bisa dipungkiri jika hatinya tidak tenang. Pikiran Azril melalang buana jika Safa akan melakukan hal nekat.“Jangan lepas Safa dari doamu, Nak. Ayah yakin Safa baik-baik saja. Anak itu hanya butuh waktu dan menenangkan pikirannya untuk lebih terbuka.”Walau dirinya merasa khawatir, tetapi Marlan rasa Safa masih memiliki iman yang kuat. Hanya saja ego yang tinggi membuat Safa sedikit keras.Sementara Safa menghentikan langkahnya di taman. Membiarkan suara gemuruh dalam dada dikeluarkan dengan tangis. Duduk di kursi kosong, bingung pada dirinya sendiri, tidak tahu mengarah ke mana.Penuturan ayah membuatnya tertampar, tetapi Safa sulit percaya begitu saja sama Azril. Entah sogokan
“Az-ril!" Safa tersentak kaget, bagaimana bisa pria itu datang kemari. Seketika wajahnya merunduk. Pria itu memandang sendu, tahu betul perasaan Safa, terlebih kehilangan wanita yang telah melahirkan dan mengenalkan diri pada dunia. Rindu dengan alam berbeda memang menyakitkan. Azril melangkah mendekat, lalu ikut berjongkok dan menatap wajah Safa yang begitu sembab. “Maafkan aku, Fa.” Hanya permintaan maaf yang mampu Azril ucapkan. Keadaan yang dialami mungkin hal terberat bagi Safa, tetapi Azril tidak akan membiarkan Safa melewatinya sendirian. Lagipula, ia tidak akan memaksa Safa untuk membalas cintanya. Azril akan menunggu sampai Allah menggerakkan hati Safa. Biarkan semua berjalan sesuai alurnya. “Ayo kita pulang.” Azril merangkul bahu Safa lembut dan tersenyum seraya menenangkan wanitanya. Safa terpaku, tubuhnya begitu lemah dan menurut sampai akhirnya pria itu membantu Safa berdiri. Sebelumnya, Safa melirik ke arah sang pusara ibu untuk pamit pergi. “Bu, Safa pulang, ya. M
Setelah kejadian itu, Safa menjadi lebih diam. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar bahkan tidak ikut serta menjemput ayahnya hari ini yang dikabarkan pulang dari rumah sakit.Safa ingin kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda seraya mengobati hatinya yang dilema. Menjalani kesibukan seperti biasa.Saking fokusnya, Safa tidak sadar dengan kehadiran seseorang hingga terdengar suara dehaman. Seketika kepalanya menoleh, memerhatikan pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu.“A-ayah!” Segera memeluknya penuh kasih sayang.“Kenapa kamu tidak ikut Azril? Kamu masih marah dengan Ayah?” Marlan memandang wajah putri kecilnya yang ia rindukan.Marlan merasa kesepian setelah kejadian kemarin. Saat itu, Safa tidak hadir lagi di rumah sakit dan hanya Azril yang setia menemani dirinya.Safa menggeleng, sama sekali tidak marah. Hanya saja belum siap menampakkan wajahnya di hadapan sang ayah.“Maafin Safa, Yah. Safa tidak mau membuat Ayah semakin marah karena melihat Safa,” ujarnya
Azril terbelalak kaget saat punggung tangannya dikecup oleh Safa. Entah angin dari mana, dan membuat matanya tak percaya.“Ayo.”Safa hendak menarik lengannya dan Azril semakin tak percaya membuat matanya menoleh ke arah ayah mertua. Melihat bibirnya tersenyum lebar, Azril tak menyiakan kesempatan dengan tangannya untuk merangkul bahu Safa.“Kami izin ke atas dulu, Yah!” Azril sopan dan menggiring Safa lembut.Jujur, jantungnya seperti ingin copot melihat sikap Safa yang menurutnya manis. Namun, ia tidak marah jika memang itu hanya sandiwara Safa di hadapan ayah. Azril mengerti dan setidaknya Safa menghargai keberadannya. Azril berharap bisa seterusnya bahkan menjadi awal perubahan Safa untuk menjadi istri yang baik.Tidak hanya Azril, Safa pun merasakan hal yang sama pada hatinya. Suara detak jantungnya berderu tak karuan dan membuat tubuhnya semakin beku.Bahkan posisi Safa yang lebih rendah dari Azril dapat mendengar suara detak jantung pria itu. Sungguh, semakin membuatnya gugup.