.
.
.
“Lepas.” Mawar memberontak tidak menyukai sikap Jayden yang tiba-tiba berubah padanya. Selama dua hari, pria itu telah membuangnya dan ia hampir mati karenanya. Sekarang, dengan mudahnya pria itu datang dan memeluknya begitu saja. Brengsek! Mawar tidak mau terjatuh dalam pelukan semacam itu lagi. Batinnya dalam hati sembari terus mengibaskan lengan yang berusaha meraih pinggangnya.
“Diamlah.”
“Tidak!”
“Kubilang diam.”
Jayden tidak ingin berdebat kusir dengan wanita yang sepertinya sedang marah dengan sikapnya kali ini. Sehingga dengan lebih kuat ia menguncinya sehingga pergerakan wanita dihadapannya itu tertahan. Jayden tidak tahu ada apa dengannya, yang ia tahu hanyalah ia rupanya tidak bisa terlepas dari wanita yang ingin disiksanya itu begitu saja.
“Hiks… Hiks…” Mawar dalam dekapannya terdengar menangis yang membuat hati Jayden sedikit teriris. Dengan lembut ia kemudian mengikuti kata hatinya untuk membalikkan
. . . “Mawar, dimana kau?” Sebuah suara terdengar ditelinganya yang membuat wanita itu tersentak dari tidurnya dan menjerit dengan kencang. “Rasyid!” Sahutnya dengan lantang setelah terbangun dari tidurnya. Meskipun ia tidak ada disana, tetapi Mawar masih mengetahui jika hari ini seharusnya dirinya menikah dengan Rasyid. Tetapi sayangnya, dirinya saat ini malah berada disebuah penjara bambu bersama seorang lelaki kejam yang tengah menatap tajam dirinya. Sepertinya, pria di dekatnya itu sedikit marah. Tetapi Mawar tidak mau begitu memperdulikannya karena pria itu telah terlebih dahulu membuangnya ke dalam hutan! Mawar, saat ini masih mempercayai bahwa semua kegilaan yang dialaminya di dalam hutan itu selama tiga hari adalah ulah Jayden yang menginginkan dirinya menderita. Sehingga, keberadaan pria itu bersamanya, sama sekali tidak membuat Mawar merasa tenang karena pria itu bisa saja menjerumuskannya lagi dalam keadaan hidup dan mati. M
. . . “Hiks… “ Mawar kemudian meneteskan air matanya yang menarik perhatian Jayden. “Brengsek kau Jay. Apakah kita bisa bercerai?” Tanyanya yang membuat Jayden tersenyum miring. “Sayangnya tidak Mawar.” Sahutnya kemudian sebelumnya akhirnya kembali menambahkan. “Tidak ada perceraian dalam keluarga Linua.” Mendapat suara tangisan sebagai balasan, Jayden kemudian meneliti tubuh wanita itu dari belakang hanya untuk mendapati adanya memar di punggung istrinya yang telah memakai kemben suku orang dalam. Dalam hatinya, rasa lega kembali dirasakannya karena Mawar tidak mendapati luka serius setelah terjatuh dari jurang yang cukup dalam itu. Dengan perasaan hangat, Jayden kemudian menghela nafasnya sebagai rasa syukurnya lalu kemudian kembali mengambil obat oles untuk dibalurkannya pada bagian yang memar itu. “Jangan sentuh aku Jay!” Mulut arogan itu kembali berteriak yang membuat Jayden menekan memarnya sedikit keras hingga wanita itu
. . . “Mawar. Bangun.” Matahari telah menyingsing yang menyinari rumah pohon dimana dirinya dan Mawar sedang di kurung oleh masyarakat suku dalam. Sayangnya, meskipun matahari telah naik begitu tinggi, tetapi wanita itu tidak mau bangun juga dan malah masih meneteskan air liur dilengan milik Jayden yang sudah tampak basah kuyup. Geram, Jayden tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan dengan wanita yang semalaman memeluknya seperti seekor koala. Benar. Wanita itu dengan arogan mengatakan supaya dirinya tidak menyentuhnya, tetapi yang dilakukannya sangat berbeda dari yang dikatakannya! Katakanlah, selama beberapa mereka berciuman, Mawar selalu terkesan memberontak tetapi Jayden bisa merasakan bahwa wanita itu juga menikmatinya. CIh! Mawar memang wanita plin-plan, batinnya dalam hati mengejek wanita malas yang tidak bangun juga meskipun dirinya sudah menggoyang-goyang tubuh wanita itu. Menatap langit-langit rumah pohon itu, Jayden
. . . Situasi hening seketika menyelubungi tempat dimana Jayden dan Mawar digiring. Disana, orang-orang dalam terlihat mulai menampakkan diri mereka satu persatu dengan berbagai macam tindik di tubuh mereka. Pada singgasanan yang terbuat dari gundukan kayu yang sangat besar disana, seorang pria berambut putih terlihat memegang tombaknya dengan wajah yang tidak bersahabat. Sepertinya, dari raut wajahnya dan arah matanya memandang, ia menginginkan sesuatu yang bisa ditebak oleh Jayden yang sedari tadi mengamatinya. “Sei kala koya!!” Demikianlah orang yang dianggap ketua kelompok itu berteriak yang langsung disambut dengan suara-suara riuh dari para pengikutnya. “Sei!” “Sei!” “Sei!” Sembari menghentak-hentakkan tombaknya, mereka semua menatap Jayden yang berdiri ditengah-tengah perkumpulan itu dengan Mawar yang bersembunyi di belakang tubuhnya. “Jay. Apa yang mereka katakan?” Tanya wanita itu kepada Jayden
. . . “HIks… Hiks… Hiks…” Di depan aliran air sungai yang mengalir deras, Mawar yang telah mendarat di sebuah lembah terlihat menangis dengan pilunya. Sambil mengusap kedua matanya, ia mencoba untuk menenangkan diri tetapi dirinya sepertinya tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi dengan Jayden. Meskipun awalnya, ia sangat membenci pria yang menculiknya itu, tetapi entah mengapa, saat ini dirinya sangat mengkhawatirkannya. “Jayden. Apa kau selamat? Hiks...” Gumamnya dengan lirih disela-sela tangisannya sebelum akhirnya dia melihat sebuah kantong yang tertempel pada kain parasut tidak jauh dari tempatnya saat ini duduk. Benar. Kantong itu adalah bagian dalam tas milik Jayden yang digunakannya untuk menyimpan peralatannya. Sehingga, ketika parasut itu terbuka, maka bagian dalam tas itu akan menggantung seperti sebuah kantong. Dan saat ini, tanpa peralatan pada kantong itu, bagaimana Jayden dapat bertahan?! S
. . . “Awuwu…wu…wu…” Bersenjatakan tombak dan lembing, orang-orang yang sebelumnya ditolong oleh Mawar bergegas menyerbu tempat dimana Jayden sedang berkelahi seorang diri dengan orang-orang kerdil yang ada disana. Melemparkan tombak dan lembingnya, mereka semua menyerang orang-orang kerdil itu seakan mereka ingin meluapkan amarah yang telah terpendam di dalam diri mereka semua sejak lama. “Suku Hanoi!” Seru Jayden kemudian yang sudah memprediksi keberadaan suku Hanoi disana. Awalnya, tadi ketika dirinya masih di atas pohon bersama Mawar, ia sempat menggunakan alat pemindai panas ketika dirinya mencium adanya sesuatu yang tidak beres dengan orang-orang dalamnya. Tetapi siapa yang menyangka jika alatnya mendeteksi keberadaaan segerombolan orang yang sepertinya sedang berdesak-desakan dan bersembunyi dengan posisi mereka semua yang berjongkok. Bahkan di alat itu, Jayden juga dapat mendeteksi proyeksi-proyeksi siluet orang dewasa yang sepertinya
. . . “Bos Li.” Seorang pelayan setia bernama Kasim itu terlihat turun dari kapal kayunya dan segera berlari untuk mendapatkan bosnya yang sedang menyeruput es kelapa muda yang baru saja dibuatnya sendiri. Melihat Kasim datang sambil terjungkal-jungkal ke arahnya, pria tua itu kemudian menghentikan kenikmatannya dan meletakkan kelapa itu di atas meja disampingnya dan menutupnya dengan sebuah tisyue kering supaya tidak ada lalat yang hinggap disana. Ya, meskipun sudah tua bangka, tetapi dirinya begitu memperhatikan kebersihan terhadap makanan dan minumannya. “Bos. Berita penting bos!” Tunggang langgang, Kasim akhirnya sampai juga kedepan bosnya yang sudah siap untuk mendengarkan ceritanya. “Begini Bos…” Secepat kilat, Kasim kemudian menceritakan semua hal yang didengarnya dengan memperagakan seolah-olah dirinya adalah seorang kunfu master yang terlibat dalam pertempuran itu sendiri. Padahal semua informasi itu, tentu saja ia dapatkan da
. . . Setelah seharian merawat pasien yang ada di tenda-tenda darurat yang ada disana, para tenaga medis akhirnya merasa lega. Berdasarkan diagnosis yang mereka lakukan, anak-anak dan bayi-bayi itu rupanya tidak mengalami masalah kesehatan yang serius karena mereka mendapatkan perawatan kesehatan tepat ada waktunya. Andai mereka telat berobat, mungkin saja, penyakit itu akan bertambah buruk dalam beberapa hari ke depan. Beruntungnya, dengan penanganan yang tepat, mereka tidak memerlukan perawatan intensif dan hanya membutuhkan resep untuk beberapa hari ke depan. Hanya saja, untuk sementara waktu, sepertinya suku Hanoi harus tinggal di tanah lapang milik Jayden dengan tenda-tenda sebagai tempat peristirahatan, paling tidak, sampai anak-anak mereka yang sakit sudah sembuh total. Setelah mengemasi barang-barang bawaan mereka, para petugas medis itu kemudian mulai berpamitan dengan semua orang karena hari sudah mulai gelap dan helic