MasukKabar kepulangan Agnesia cukup membuat rumah utama keluarga Agraf menjadi cukup sibuk. Tujuh Tahun tak kembali, begitu banyak orang yang hampir melupakan keberadaan Agnesia. Para pelayanan tampak begitu tergesa menyiapkan semua hal meski mereka semua merasa kedatangan Agnesia tak perlu dirayakan.
"Apakah nona memakan sesuatu yang salah? Kupikir dia tak akan kembali. Dia mengikuti tunangannya seperti lem yang tak akan lepas tapi tak kunjung menikah. Dia menjadi lelucon bagi semua orang. Jika itu nona Acacia, dia tak akan mempermalukan keluarga Agraf." "Apakah kita harus benar-benar menata ulang dan membersihkan kamarnya? Seharusnya dia membersihkan sendiri. Nona Acacia bahkan tak mengizinkan kita membersihkan kamarnya saat dia selalu berkunjung untuk menginap." "Harusnya nona Acacia saja yang menjadi cucu keluarga ini. Nona Agnesia benar-benar tidak pantas." Tiga pelayan yang membersihkan kamar Agnesia menggerutu satu persatu. Di tengah kesibukan mereka membersihkan kamar, salah satu dari mereka melemparkan bantal guling yang tengah ditata. "Aku tak akan membersihkan kamarnya. Dia harus belajar dari nona Acacia untuk membersihkan kamarnya sendiri." Melihat hal itu dua pelayan lain mengangguk. "Kau benar. Kenapa kita harus memberi anak haram ini pelajaran." "Mari kita buat dia kembali hidup di luar agar nona Acacia tetap sering berkunjung. Jika dia kembali, nona Acacia akan sedih." Keputusan untuk tidak membersihkan kamar Agnesia pun terbentuk. Mereka bertiga berniat meninggalkan kamar Agnesia yang berantakan karena proses pembersihan yang terhenti. Sore itu Agnesia benar-benar kembali ke rumah utama keluarga Agraf. Dia membuka pintu tanpa mengetuk dan tertegun saat melihat kakeknya yang tua tengah duduk dengan mata terpejam lalu kedua tangan memegang tongkat tepat di depan tubuhnya. Untuk beberapa saat hatinya teremas karena mengingat kakeknya tak lagi kuat seperti tujuh tahun lalu. "Kakek," panggil Sia lirih. Sungguh, di rumah yang lebih pantas disebut mansion ini, kakeknya adalah satu-satunya orang yang begitu tulus menyanyanginya. Dan entah bagaimana dia tak pernah kembali selama tujuh tahun hanya karena mengikuti Aaric dan tinggal bersama. Setelah menyadari semua, Sia benar-benar merasa menyesal akan kebodohannya. Melihat kakeknya yang tertidur pulas, dia tak berniat untuk membangunkan kakeknya, Agnesia berjalan sangat pelan untuk naik ke kamarnya sebelum suara tua itu menghentikan langkahnya. "Kau! Cucu tak berbakti! Beraninya kau muncul di sini!" Agnesia berbalik saat pukulan tongkat itu mengenai punggungnya. Tangannya sontak melindungi tubuhnya dari pukulan tongkat yang berkali-kali datang memukulinya. Seharusnya dia tahu bahwa kakeknya tak mungkin tidur dalam posisi itu. Dia tertipu. "Ahk, kakek. Kakek, aku bersalah. Aku bersalah. Kakek, hentikan, ini sakit. Kakek," "Kau memanggilku kakek tapi tak pernah pulang untuk mengunjungiku? Aku tak punya cucu yang tak berbakti sepertimu." "Maaf kakek, aku lupa. Kakek, ini sakit. Kakek, aku minta maaf." Pria tua itu berhenti saat melihat wajah cantik itu memohon ampun. Dia menurunkan tongkatnya dengan mata meneliti wajah Agnesia dengan seksama. "Kakek, aku bersalah. Aku tak akan mengulangi lagi. Aku bersumpah." Agnesia duduk memohon dengan dua tangan yang di tangkupkan di depan. Melihat kakeknya yang masih terlihat marah. Sepertinya dia salah menganggap kakeknya tak lagi kuat. Setelah melihat betapa energiknya kakeknya dalam memukulinya, ternyata kakeknya masih sama seperti dulu. "Aku tak akan mempercayai kata-kata manismu. Kenapa kau kembali? Tujuh tahun, kau sama sekali tak pernah menjengukku yang tua ini. Apakah tunanganmu mengirimmu kesini karena kalian mengalami kesulitan keuangan? Atau dia merasa seluruh asetmu kurang? Katakan, kenapa kau kembali?" Mendengar itu semua tubuh Agnesia tertegun. Sesuatu pasti telah terjadi dengan asetnya yang di kelola Aaric. Jika tidak, kenapa kakeknya mengatakan itu semua? Sebenarnya apa yang telah terjadi? "Tunggu, kakek, apa maksud dari kata-kata mu?" "Sekarang kau pura pura bodoh? Kenapa kau tak kembali tinggal bersamanya?" Agnesia terduduk di lantai dengan pasrah. "Kakek benar. Itu karena aku sangat bodoh. Kakek, aku benar-benar bodoh." Melihat cucunya yang mengaku bodoh, sang kakek pun terheran. "Sia, apakah-" "Kakek, kali ini aku berjanji akan tinggal di sini," potong Agnesia cepat. "Tak peduli meski Aaric memintaku pindah, aku tak akan angkat kaki dari sini. Aku berjanji, kakek kau harus percaya padaku." Mendengar hal itu, pria tua itu luluh. Dia mengulurkan tangannya agar Agnesia bangun. "Cucuku akhirnya kembali. Dia benar-benar kembali," Agnesia bangun lalu memeluk kakeknya lelah. "Kakek, aku pulang. Aku akan kembali tinggal disini. Apakah aku masih cucumu? Bisakah aku kembali ke kamarku?" Sang kakek bernapas lega. Membalas pelukan Sia dengan hangat. "Kau bisa melakukan apapun disini. Nak, ingatlah satu hal. Keluarga Agraf akan selalu menerimamu kembali kapanpun kau pulang." Agnesia mengangguk terharu. Entah bagaimana dia pun akhirnya menangis seperti anak kecil. "Istirahatlah. Undangan pesta keluarga Valora-" "Kakek, aku akan berangkat bersamamu. Aku akan segera bersiap." Agnesia naik ke kamarnya dan tak menyangka akan berpapasan dengan tiga pelayan yang baru saja keluar dari pintu kamarnya. Suatu kebetulan yang luar biasa, melihat tiga pelayan itu terkejut karena kehadirannya, Sia merasa familiar dengan hal ini. "Apa yang sudah kalian lakukan?" "No-nona kami hanya menerima perintah untuk membersihkan kamar." "Be-benar. Kami-" "Buka," potong Sia dingin. "Kembali dan buka kamarku!" "No-nona," "Aku akan memeriksanya sendiri." "Nona!" Agnesia membuka pintu kamarnya lebar lalu tersenyum tipis saat melihat kamarnya yang berantakan. "Membersihkan kamarku?" ulang Sia menatap tiga pelayan yang menunduk dalam. "No-nona ka-kami belum selesai membersihkan kamar nona," ucap salah seorang maju dengan takut. "Benar. Ja-jadi kami hanya ingin keluar sebentar untuk membersihkan kamar nona Acacia," jelas salah satu pelayan lagi mencari alasan. "Acacia?" ulang Sia dingin. "Jadi apakah dia sering menginap?" Ketiga pelayan itu mengangguk takut. Dan anggukan itu membuat emosi Sia meluap. Sudah lebih dari sepuluh tahun Agnesia kembali ke keluarga Agraf namun beberapa orang masih saja berani menyebut nama Acacia bahkan menjaga kamar Acacia yang harusnya sudah tidak ada. Di saat umurnya sepuluh tahun, dia kembali dan Acacia pun dikembalikam pada keluarga yang semestinya. Di umurnya yang ke Enam Belas tahun dia menjalani pertunangan resmi dengan Aaric. Dan di umurnya yang ke Dua puluh Tiga, dia baru menyadari bahwa terlalu banyak hal yang harus dia kembalikan pada tempatnya. Salah satunya Acacia! "Kenapa hidupku selalu berputar putar di antara mereka? Sangat menjengkelkan!" "Nona, biarkan kami membersihkan kamar nona terlebih dahulu," Ucap mereka hampir bersamaan. Agnesia mengabaikan para pelayan dan langsung memasuki kamarnya. Dia melihat ranjangnya yang berantakan diikuti barang-barangnya yang berserakan. Tak mau menunggu, dia pun berjalan menuju ruang penyimpanan pakaian, tas, dan seluruh keperluannya. Melihat banyaknya barang hilang dan kosong, seluruh pikirannya hanya tertuju pada satu nama. Acacia! Agnesia tiba-tiba tertawa kecil dan langsung keluar menuju kamar Acacia. "Nona!" "Nona, kenapa nona-" "Berikan kunci kamar Acacia," pinta Sia dingin di depan pintu sebuah kamar yang tertutup. "Nona, kenapa nona bersikap seperti ini. Ini adalah kamar nona Acacia!" Salah satu pelayan maju dan langsung mengkritik hal yang akan Sia lakukan. Sia tak peduli, dia tetap mengulurkan tangannya. "Berikan kuncinya atau aku mimintanya pada kakekku." "Nona, ini bukan kamar nona. Ini adalah kamar nona Acacia!" Plakkk! Dan sebuah tamparan mendarat keras di pipi pelayan yang baru saja bicara. Membuat dua pelayan lain diam. "Berani kau berteriak padaku! Bahkan anjing tak akan menggonggong pada tuannya!" Pelayan yang menerima tamparan itu terdiam cukup lama lalu pulih kembali. "Nona Acacia bahkan tak pernah memperlakukan kami seperti ini. Nona Acacia lebih pantas menjadi cucu keluarga ini. Nona Acacia-" Dan tamparan kedua pun terjadi lagi, membuat pelayan itu tersungkur. Dua pelayan lain ikut terduduk takut. "Sepertinya kalian lupa. Sebaik apapun dia, cucu keluarga Agraf tetaplah aku! Pantas atau tidaknya, itu bukan urusan kalian yang hanyalah segelintir orang luar. Jika kalian begitu menyukai Acacia, kenapa kalian tak bekerja untuknya! Keluarga Agraf tidak membutuhkan orang yang tidak loyal pada tuan mereka." Hening, semua pelayan terduduk takut dengan tubuh gemetar. "Berikan kunci kamarnya." Salah seorang pelayan memberikan kunci dengan tangan gemetar. Sia mengambil dengan cepat lalu membuka kamar itu lebar-lebar. Matanya mengedar cepat dan senyum dinginnya kembali terlukis tipis. "Acacia, kau benar-benar luar biasa!""Jadi kau benar-benar bertemu dengannya?"Dalam sebuah ruangan VIP di salah satu clup malam terbesar di kota JinLan, beberapa wanita cantik telah berkumpul. Salah satu dari mereka menikmati segelas Wine dengan tatapan tak percaya pada teman cantik di depannya. "Kau benar-benar telah bertemu dengannya?" Pertanyaan yang sama terulang kembali karena tak juga mendapatkan jawaban pasti. "Cassie, berhenti main main dan katakan semua. Jangan mencoba bermain rahasia." Valerie membuang tatapannya tak sabar. Lexsi sedikit tertawa, terlihat acuh tak acuh tapi dia jelas memasang telinga lebih peka. Cassie mengangguk. "Aku benar-benar bertemu dengan simpanan Aaric, tunangan Agnesia.""Mantan tunangan, Cassie." Melody menikmati makanan ringan dan membenarkan. "Berita pembatalan pertunangan telah resmi diluncurkan oleh keluarga Agraf."Cassie mengangguk. "Ya, Melody benar. Mantan tunangan. Mereka berdua datang ke salah satu toko ku.""Bagaimana penampilannya? Apakah Sia kita benar-benar seoran
Semua mata menoleh, melihat sosok ramping berambut pendek. Terlihat sangat sombong, namun memiliki aura tenang yang tak bisa di miliki semua orang. Bahkan hanya dengan berdiri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mereka semua merasa terlalu enggan. "Apakah dia orangnya? Apakah dia pemilik GrafiSia yang asli?" "Dia tak pernah menunjukkan wajahnya selama rapat pemegang saham, tapi semua orang tahu bahwa perusahaan ini miliknya.""Dia terlihat sangat cerdas, aku tak yakin bahwa dia benar-benar hanya diam selama ini. Siapa yang tahu bahwa dia bergerak diam diam?""Tapi tak ada yang bisa menggantikan Tuan Aaric. Dia sudah memimpin sangat lama. Dan membuat GrafiSia sebesar ini. Kita harus menolaknya."Semua orang tak ada yang berani bicara keras, tapi karena kata kata Acacia semua orang sedikit meragukan kemampuan Agnesia. Mereka semua mulai berbisik pelan, dengan mata menilai setiap gerak gerik Agnesia. Bahkan Aaric menatap Agnesia tanpa bicara. Melihat sosok Sia yang sangat tenang, tan
GrafiSia Group sangat ramai pagi ini. Hampir seluruh pekerjaan melayangkan petisi keberatan kedatangan Agnesia. Di balik keramaian itu, Acacia melangkah dengan pakaian kerjanya dengan rambut di ikat tinggi. Dia menatap Aaric yang menatap para pekerja dari lantai atas dengan senyum dingin. "Bukankah sudah kubilang? Mengalahkan Agnesia, aku bisa mengaturnya. Aku sudah bekerja di sini selama tujuh tahun lebih. Aaric hanya aku yang bisa menggantikan dia."Aaric tak menoleh. Dia harus melakukan semua upaya untuk mempertahankan keluarganya. Tapi diantara banyak pilihan yang tak dia sukai, Acacia salah satunya. "Aaric, jangan lupa janjimu." Pelukan hangat di punggung Aaric tak membuat Aaric bergerak. Aroma jejak Acacia pada hubungan mereka semalam membuat hatinya mati rasa. Saat ini seluruh pikirannya hampir gila memikirkan Agnesia. Aaric tak menjawab, dia bahkan rela menjual dirinya sekali lagi pada seorang wanita demi keluarga. Dia rela menuruti kemauan Acacia agar bisa mengumpulkan s
"Nona, kau harus bangun sekarang. Cepat!""Paman, ini masih pagi.""Nona, kau harus mengunjungi tempat perbelanjaan yang kau punya hari ini karena ada beberapa masalah.""Paman, biarkan Aaric menanganinya.""Aaric? Nona, bangunlah dari mimpimu atau seluruh asetmu dicuri!""Tidak!" Teriak Sia langsung terbangun dari tidurnya. Tapi dia kembali tidur saat melihat Wenart di kamarnya. "Paman, ini masih pagi.""Tidak, kau harus bangun sekarang. Bangun,""Paman, sebentar lagi. Matahari bahkan belum tinggi.""Bangun. Kau harus lari pagi sebelum pergi bekerja."Wenart menarik tangan Sia paksa. "Pelayan, mandikan dia."Beberapa pelayan masuk dengan patuh. Meski mereka sedikit takut tapi tak ada yang berani menolak. "Nona muda, kami akan membantumu."Sia diseret masuk ke dalam kamar mandi. Selanjutnya teriakan terdengar dari balik kamar mandi. Wenart tak mempedulikan hal itu. Dia menyuruh pelayan membuka koleksi pakaian Sia, dan dia hanya bisa mendesah saat Sia sama sekali tak memiliki pakaian
"Nona muda," "Paman," Wenart tersenyum memberikan tas Sia yang dia amankan. Meski sedikit terkejut, Sia tetap menerimanya. "Pelayan mengamankan tas tanganmu. Kebetulan aku sedang menyelesaikan misi dari ketua.""Paman, terimakasih. Karena telah membantuku menyelesaikan semuanya.""Ini belum selesai. Seluruh asetmu akan kembali segera. Sekarang, sangat berbahaya untuk keluar sendiri. Nona, aku akan mengantarmu pulang.""Tapi aku membawa mobil sendiri. Paman, aku tak akan merepotkan paman.""Tidak, kau tak bisa pulang sendiri atau pun keluar sendiri dalam minggu ini. Keluarga Blade bisa saja merencanakan hal buruk. Nona, aku akan mengantarmu pulang."Nasehat yang disampaikan sangat lembut, menyentuh hati Sia yang dingin. Dia mengangguk patuh menuruti Wenart. "Pak Lee aku akan kembali. Terimakasih telah membantuku selama ini," ucap Sia mengucapkan selamat tinggal. Pak Lee tak berkedip saat melihat Wenart tiba tiba muncul di samping Sia. Dia tidak bisa menahan sesuatu yang akan meled
"Lihatlah suami yang begitu mencintai istrinya.""Presiden membawa istrinya pulang.""Mereka sangat harmonis. Tak peduli semarah apapun istrinya, jika suaminya selalu seperti itu, pernikahan mereka akan bertahan lama."Darren mendengar bisikan bisikan tersebut setelah Adrian dan Sia membuat seluruh resto hampir ribut. Dia membawa tas Sia setelah melakukan pembayaran namun uangnya sama sekali tak diterima. "Hotel ini milik nona muda kami, Agnesia Agraf. Tuan tak perlu membayarnya."Darren tertegun, dia akan melangkah namun kemudian berbalik berniat menyerahkan tas Sia di tangannya pada pelayanan tersebut. "Tuan, tas di tanganmu, bisakah kau menyerahkan padaku?" Darren berbalik lagi, pandangannya langsung menajam saat dia tahu bahwa yang mengajaknya bicara kali ini adalah pria paruh baya yang sedari tadi mengawasi Sia sejak mereka makan malam. "Kenapa aku harus menyerahkannya?" Tanya Darren hati hati. "Aku akan mengembalikannya sendiri pada pemiliknya."Pria paruh baya itu mendesah.







