ログインSia melangkah memasuki kamar dan langsung disambut dengan banyaknya foto Aaric dalam berbagai gaya. Para pelayan yang terduduk takut ikut menjulurkan leher mereka ingin tahu. Karena pada kenyataannya tak satu pun dari mereka yang pernah membersihkan kamar Acacia. Acacia selalu melakukannya sendiri secara berkala.
Memeriksa satu persatu dengan teliti, Agnesia semakin tersenyum dingin saat mendapati barang-barangnya yang tiada kini berpindah pada kamar Acacia. Mulai dari deretan gaun yang sama sekali belum terpakai, perhiasan bahkan hadiah-hadiah kecil yang kakeknya berikan kini berpindah ke kamar Acacia. Sepertinya Tujuh tahun ini Acacia benar-benar memperlakukannya seperti orang mati hingga berani mencuri barang-barangnya. Sia menunjuk tiga pelayan yang masih terduduk dengan acuh tak acuh dan mulai memilih barang-barangnya. "Bawa barang-barang ini kembali ke kamarku!" "Ba-baik, Nona." "Ini, dan ini. Lalu juga itu. Bawa kembali dan letakkan pada tempat yang seharusnya." Tiga pelayan itu menjadi sangat patuh dan mulai ikut memilih bersama Sia. Setelah beberapa saat, Sia pun mendapatkan kembali barang-barangnya. "Buang semua barang yang ada di sini dan kosongkan kamarnya." "Tapi nona," ucap seorang pelayan dengan lirih karena takut. "Bagaimana jika nona Acacia kembali?" "Dia kembali? Apakah itu urusanku?" Tiga pelayan itu menggelengkan kepala takut. "Rumah utama keluarga Agraf tidak kekurangan kamar tamu untuk orang asing yang berkunjung dengan tidak tahu malu!" Ketiga pelayan itu kembali mengangguk dan mulai mengemasi barang-barang Acacia. Akibat perintah Agnesia, rumah utama keluarga Agraf kembali hidup dalam keributan. Dalam keributan yang terjadi, Agnesia justru dengan santainya keluar untuk mempersiapkan dirinya untuk pesta keluarga Valora. Hal itu sama sekali tak mengganggu pemilik rumah. Pria tua yang berjalan dengan tongkat itu hanya melihat banyaknya barang dan perabot yang keluar menuju gudang dengan tenang. Sesekali dia tersenyum tipis. Dia bahkan tidak menegur Agnesia yang keluar dengan angkuhnya. "Yah, pemilik rumah yang muda telah kembali dan mendisiplinkan para pekerja." "Tapi, ayah, apakah harus membuat keributan seperti ini? Dia bahkan tidak menyapaku." Sebuah suara asing yang berat terdengar menyela. Pria itu paruh baya itu duduk di seberang sang kakek dengan tangan meletakkan cangkir teh ke atas meja. "Dia baru saja kembali, dan rumah yang selama bertahun-tahun sunyi kembali dalam kekacauan." Sang kakek terkekeh. "Bukankah kau sangat paham dengan sifat Sia? Andai saja orang tuanya masih hidup, dia tak akan sekeras ini." "Ayah," Sang kakek mengangguk. "Dia tumbuh di tempat asing dan kembali lalu mendapati orangtuanya kecelakaan di luar negeri. Dia bahkan belum melihat ayah dan ibunya dan harus yatim piatu tepat setelah dia kembali ke keluarga ini. Dia mengikuti tunangannya ke sana ke mari dan menyayangi keluarga tunangannya dengan tulus. Hatiku berkali-kali sakit ketika melihatnya tersenyum tapi pada nyatanya dia tak bisa menyembunyikan kesepian dan kesedihan yang ada dalam matanya." "Ayah, dia tidak sendiri. Dengan kekayaan yang kau-" "Diam! Apa kau pantas menjadi pamannya? Putrimu bahkan lebih tak berbakti dari dirinya." "Ayah, Sulli sibuk bekerja di luar. Dia tak bisa seperti Agnesia yang mengikuti tunangannya dengan bebas." Sang kakek menajamkan matanya ketika melihat anak lelakinya masih saja mencari kesalahan Sia. "Baiklah, aku akan diam." Sementara rumah utama keluarga Agraf masih dalam kekacauan, Agnesia yang keluar telah selesai memilih beberapa gaun baru. Dia melanjutkan membeli banyak hal sebelum akhirnya memasuki sebuah salon setelah memutuskan untuk momotong rambut panjangnya. "Sia, apa kau benar-benar Agnesia?" Suara asing itu terdengar ketika Sia keluar dari ruang pembayaran. Dia menoleh saat pelukan hangat terasa menubruk tubuhnya secara tiba-tiba. "Sia, ya Tuhan, Sia, aku tak menyangka bisa bertemu denganmu lagi." Rasa syukur yang tiada hentinya di iringi pelukan yang telah berlalu cukup lama. Awalnya Sia hanya diam, tapi mendengar banyak rasa syukur saat namanya berkali-kali disebut, membuatnya mengenali pemilik suara yang masih memeluknya. "Melody," Gadis cantik bernama Melody itu tersenyum. "Ya, itu aku. Kupikir kau tak mengingatku." Sia tersenyum lega. "Mana mungkin aku melupakanmu." "Bagaimana kabarmu? Kita berpisah saat kau dijemput keluargmu. Hanya saja aku tak menyangka kau milik keluarga Agraf. Saat itu aku harus melanjutkan studi ku ke luar negeri. Jadi aku tak sempat mengucapkan selamat padamu." Sia tertawa kecil. "Kita belum dewasa saat itu. Kita hanya anak-anak yang berbagi cerita dengan seksama." Keduanya berjalan beriringan memasuki toko demi toko pakaian terbaik di salah satu pusat perbelanjaan. "Kurasa aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu? Apakah paman dan bibi juga baik-baik saja?" Melody mengangguk antusias. "Ayah dan ibuku baik-baik saja. Hanya saja keluarga ku cukup sibuk akhir-akhir ini." "Apakah terjadi sesuatu?" Melody menatap Sia sekilas. "Ya, kedatangan seorang pemimpin yang harus dirayakan." "Apa itu kakakmu yang akhirnya mewarisi bisnis keluarga?" Melody menggeleng. "Sia, kakakku menjadi pengacara. Dia tak berniat mewarisi bisnis keluarga." "Lalu-" "Ya Tuhan Sia, aku melupakan sesuatu," potong Melody tergesa. "Berikan aku kontakmu, aku akan menghubungimu lain kali. Pesta malam ini, aku tak boleh datang terlambat." Sia hanya menurut dengan membagikan kontaknya lalu hanya bisa menatap kepergian Melody yang tergesa-gesa. Dia tersenyum tipis karena juga menyadari bahwa waktu untuk pergi ke pesta hanya tersisa satu jam. Dia menjadi sadar satu hal bahwa temannya Melody juga menyebutkan pesta. "Apakah itu pesta yang sama? Jika pesta yang sama, bukankah itu hal yang luar biasa? Aku akan kembali bertemu dengannya. Dan aku menantikan tontonan menarik lainnya." *** Sebuah pesta yang mewah digelar langsung di salah satu rumah besar keluarga Valora. Menjadi salah satu raksasa yang menguasai pasar ibukota juga beberapa negara lainnya, keluarga Valora menjadi salah satu keluarga terkaya. Bisnis keluarga Valora berkembang sangat baik namun pengalihan kekuasaan menjadi perbincangan hangat di antara mereka. Pasalnya kepulangan cucu ke Tiga keluarga Valora cukup mengguncangkan kota. Tamu-tamu undangan mulai memenuhi aula pesta dan suara musik menyambut lembut. Hampir seluruh keluarga yang menerima undangan membawa putri mereka. Para wanita cantik itu mulai berkumpul satu-persatu membuat suasana kian hidup. Dalam balutan gaun hitam panjang dengan belahan yang memperlihatkan kaki jenjang, rambut pendek yang diberikan aksesoris ringan, kulit putih bersih menampilkan tubuh ramping, dengan bagian atasan yang sedikit terbuka, menampilkan tulang selangka yang menggoda, Agnesia melangkah dengan percaya diri. Dia mengapit lengan Pamannya dan berdiri di antara kakeknya, matanya menatap lurus, dengan bibir tersenyumum tipis. Banyak mata yang menatapnya takjub karena untuk pertama kalinya dia tampil dalam pesta secara resmi bersama kakek dan pamannya. "Sia, lihatlah. Semua mata menatapmu ingin tahu." Sia tersenyum dan sengaja memukul ringan tangan pamannya. "Paman Houston, para wanita itu menatapmu dan ingin menguliti ku. Kurasa pesona paman masih tak tertandingi." Mendengar itu Houston tertawa puas. "Lihatlah, kau pandai sekali bicara. Bukankah begitu ayah?" Sang kakek yang dari tadi mendengarkan ikut tertawa. "Kau benar. Sebuah keberuntungan berangkat berasama cucuku yang cantik. Andai saja cucuku yang lain juga ikut." Mendengar itu Houston segera melangkah lagi. "Ayah, kau benar-benar." Sia tersenyum terhibur melihat paman dan kakeknya yang selalu mempermasalahkan hal yang sama. "Nak, aku dan pamanmu akan menyapa beberapa teman bisnis. Kau bisa menikmati pesta bersama teman-temanmu." Sia mengangguk patuh. "Kakek bisa tenang." "Jangan berlarian dan jangan membuat masalah. Ini bukan rumah utama keluarga Agraf," peringat Houston pelan sebelum meninggalkan Sia. Sia kembali mengangguk patuh meski merasa sedikit lucu dengan peringatan pamannya. "Pertama aku tak memiliki teman, jadi aku akan menikmati pesta ini sendiri. Kedua, aku tak akan membuat masalah tapi aku hanyalah korban di sini. Setelah malam ini, apakah kakek dan paman akan prihatin pada kisah cintaku?" Sia menggeleng lemah dan memilih menikmati pesta dengan melihat deretan desert dan hidangan penutup lainnya. Matanya terbuka lebar karena takjub melihat banyaknya makanan yang terlihat enak. "Keluarga Valora benar-benar berniat membuat pesta ini. Yah, aku harus mencicipinya." Sia mencicipi beberapa hidangan, dan terhenti saat tiba-tiba sebuah tangan meraih lengannya. "Sia, apa yang kau lakukan! Kenapa kau meninggalkanku?" Suara yang familiar, membuat nafsu makan Agnesia hilang. "Aaric, tidak kah kau lihat bahwa aku tengah menikmati makanan?" "Sia-" "Aaric," Ucapan Aaric terhenti saat sebuah suara lain menyapa. Namun anehnya suara itu membuat agnesia tersenyum tipis. "Sepertinya pertunjukannya akan segera dimulai," ucap Agnesia dalam hati."Jadi kau benar-benar bertemu dengannya?"Dalam sebuah ruangan VIP di salah satu clup malam terbesar di kota JinLan, beberapa wanita cantik telah berkumpul. Salah satu dari mereka menikmati segelas Wine dengan tatapan tak percaya pada teman cantik di depannya. "Kau benar-benar telah bertemu dengannya?" Pertanyaan yang sama terulang kembali karena tak juga mendapatkan jawaban pasti. "Cassie, berhenti main main dan katakan semua. Jangan mencoba bermain rahasia." Valerie membuang tatapannya tak sabar. Lexsi sedikit tertawa, terlihat acuh tak acuh tapi dia jelas memasang telinga lebih peka. Cassie mengangguk. "Aku benar-benar bertemu dengan simpanan Aaric, tunangan Agnesia.""Mantan tunangan, Cassie." Melody menikmati makanan ringan dan membenarkan. "Berita pembatalan pertunangan telah resmi diluncurkan oleh keluarga Agraf."Cassie mengangguk. "Ya, Melody benar. Mantan tunangan. Mereka berdua datang ke salah satu toko ku.""Bagaimana penampilannya? Apakah Sia kita benar-benar seoran
Semua mata menoleh, melihat sosok ramping berambut pendek. Terlihat sangat sombong, namun memiliki aura tenang yang tak bisa di miliki semua orang. Bahkan hanya dengan berdiri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mereka semua merasa terlalu enggan. "Apakah dia orangnya? Apakah dia pemilik GrafiSia yang asli?" "Dia tak pernah menunjukkan wajahnya selama rapat pemegang saham, tapi semua orang tahu bahwa perusahaan ini miliknya.""Dia terlihat sangat cerdas, aku tak yakin bahwa dia benar-benar hanya diam selama ini. Siapa yang tahu bahwa dia bergerak diam diam?""Tapi tak ada yang bisa menggantikan Tuan Aaric. Dia sudah memimpin sangat lama. Dan membuat GrafiSia sebesar ini. Kita harus menolaknya."Semua orang tak ada yang berani bicara keras, tapi karena kata kata Acacia semua orang sedikit meragukan kemampuan Agnesia. Mereka semua mulai berbisik pelan, dengan mata menilai setiap gerak gerik Agnesia. Bahkan Aaric menatap Agnesia tanpa bicara. Melihat sosok Sia yang sangat tenang, tan
GrafiSia Group sangat ramai pagi ini. Hampir seluruh pekerjaan melayangkan petisi keberatan kedatangan Agnesia. Di balik keramaian itu, Acacia melangkah dengan pakaian kerjanya dengan rambut di ikat tinggi. Dia menatap Aaric yang menatap para pekerja dari lantai atas dengan senyum dingin. "Bukankah sudah kubilang? Mengalahkan Agnesia, aku bisa mengaturnya. Aku sudah bekerja di sini selama tujuh tahun lebih. Aaric hanya aku yang bisa menggantikan dia."Aaric tak menoleh. Dia harus melakukan semua upaya untuk mempertahankan keluarganya. Tapi diantara banyak pilihan yang tak dia sukai, Acacia salah satunya. "Aaric, jangan lupa janjimu." Pelukan hangat di punggung Aaric tak membuat Aaric bergerak. Aroma jejak Acacia pada hubungan mereka semalam membuat hatinya mati rasa. Saat ini seluruh pikirannya hampir gila memikirkan Agnesia. Aaric tak menjawab, dia bahkan rela menjual dirinya sekali lagi pada seorang wanita demi keluarga. Dia rela menuruti kemauan Acacia agar bisa mengumpulkan s
"Nona, kau harus bangun sekarang. Cepat!""Paman, ini masih pagi.""Nona, kau harus mengunjungi tempat perbelanjaan yang kau punya hari ini karena ada beberapa masalah.""Paman, biarkan Aaric menanganinya.""Aaric? Nona, bangunlah dari mimpimu atau seluruh asetmu dicuri!""Tidak!" Teriak Sia langsung terbangun dari tidurnya. Tapi dia kembali tidur saat melihat Wenart di kamarnya. "Paman, ini masih pagi.""Tidak, kau harus bangun sekarang. Bangun,""Paman, sebentar lagi. Matahari bahkan belum tinggi.""Bangun. Kau harus lari pagi sebelum pergi bekerja."Wenart menarik tangan Sia paksa. "Pelayan, mandikan dia."Beberapa pelayan masuk dengan patuh. Meski mereka sedikit takut tapi tak ada yang berani menolak. "Nona muda, kami akan membantumu."Sia diseret masuk ke dalam kamar mandi. Selanjutnya teriakan terdengar dari balik kamar mandi. Wenart tak mempedulikan hal itu. Dia menyuruh pelayan membuka koleksi pakaian Sia, dan dia hanya bisa mendesah saat Sia sama sekali tak memiliki pakaian
"Nona muda," "Paman," Wenart tersenyum memberikan tas Sia yang dia amankan. Meski sedikit terkejut, Sia tetap menerimanya. "Pelayan mengamankan tas tanganmu. Kebetulan aku sedang menyelesaikan misi dari ketua.""Paman, terimakasih. Karena telah membantuku menyelesaikan semuanya.""Ini belum selesai. Seluruh asetmu akan kembali segera. Sekarang, sangat berbahaya untuk keluar sendiri. Nona, aku akan mengantarmu pulang.""Tapi aku membawa mobil sendiri. Paman, aku tak akan merepotkan paman.""Tidak, kau tak bisa pulang sendiri atau pun keluar sendiri dalam minggu ini. Keluarga Blade bisa saja merencanakan hal buruk. Nona, aku akan mengantarmu pulang."Nasehat yang disampaikan sangat lembut, menyentuh hati Sia yang dingin. Dia mengangguk patuh menuruti Wenart. "Pak Lee aku akan kembali. Terimakasih telah membantuku selama ini," ucap Sia mengucapkan selamat tinggal. Pak Lee tak berkedip saat melihat Wenart tiba tiba muncul di samping Sia. Dia tidak bisa menahan sesuatu yang akan meled
"Lihatlah suami yang begitu mencintai istrinya.""Presiden membawa istrinya pulang.""Mereka sangat harmonis. Tak peduli semarah apapun istrinya, jika suaminya selalu seperti itu, pernikahan mereka akan bertahan lama."Darren mendengar bisikan bisikan tersebut setelah Adrian dan Sia membuat seluruh resto hampir ribut. Dia membawa tas Sia setelah melakukan pembayaran namun uangnya sama sekali tak diterima. "Hotel ini milik nona muda kami, Agnesia Agraf. Tuan tak perlu membayarnya."Darren tertegun, dia akan melangkah namun kemudian berbalik berniat menyerahkan tas Sia di tangannya pada pelayanan tersebut. "Tuan, tas di tanganmu, bisakah kau menyerahkan padaku?" Darren berbalik lagi, pandangannya langsung menajam saat dia tahu bahwa yang mengajaknya bicara kali ini adalah pria paruh baya yang sedari tadi mengawasi Sia sejak mereka makan malam. "Kenapa aku harus menyerahkannya?" Tanya Darren hati hati. "Aku akan mengembalikannya sendiri pada pemiliknya."Pria paruh baya itu mendesah.







