Satu sore yang tenang, saat Alyn baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, terdengar ketukan lembut di pintu kontrakannya. Alyn membuka pintu dan mendapati Bryan berdiri di sana, membawa beberapa kantong belanjaan.
“Bryan?” Alyn terlihat terkejut. “Apa yang membawamu ke sini?” Bryan memberikan senyuman lembut dan melangkah masuk dengan izin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong belanjaan di meja kecil di ruang tamu. “Aku membawa beberapa persediaan makanan dan barang-barang yang mungkin kau butuhkan.” Alyn merasa tersentuh oleh perhatian Bryan. “Terima kasih banyak, Bryan. Kau tidak perlu repot-repot begini.” Bryan mengangguk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong. “Aku tahu ini tidak banyak, tapi aku berharap ini bisa membantu. Ada beberapa bahan makanan segar dan beberapa makanan siap saji.” Alyn memperhatikan dengan rasa syukur saat Bryan menata barang-barang di meja. “Aku benar-benar menghargai ini. Selama beberapa minggu terakhir, aku agak kesulitan mengatur semua hal sendiri.” Bryan menatap Alyn dengan penuh perhatian. “Aku bisa membayangkan betapa sulitnya situasi ini. Jika ada yang bisa kulakukan, jangan ragu untuk memberitahuku.” “Aku tahu,” kata Alyn dengan penuh rasa terima kasih. “Aku merasa sangat beruntung memiliki teman seperti kamu.” Bryan tersenyum, dan mereka duduk di sofa, mengobrol sambil menikmati beberapa camilan ringan yang dibawa Bryan. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, dan Alyn merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Bryan. “Ada berita baik,” Bryan berkata setelah beberapa saat. “Aku mendengar bahwa kamu mendapatkan pekerjaan baru. Selamat!” Alyn tersenyum lebar. “Terima kasih! Aku benar-benar senang akhirnya bisa memulai pekerjaan baru.” Bryan tampak lega mendengar berita tersebut. “Aku senang mendengarnya. Kau benar-benar pantas mendapatkan yang terbaik.” Obrolan mereka berlanjut hingga malam tiba, dan Alyn merasa sangat berterima kasih atas kunjungan Bryan di tengah kelelahannya dalam rutinitas mencari pekerjaan. Beberapa hari yang lalu, saat Alyn sedang memeriksa emailnya di ruang tamu, sebuah pesan baru muncul di kotak masuknya. Dengan jantung berdebar, dia membuka pesan tersebut. Pesan itu berisi undangan wawancara dari sebuah perusahaan yang sebelumnya telah ia lamar. "Jadi, kapan kamu akan mulai bekerja?" tanya Bryan, penuh perhatian. "Besok! Besok aku sudah bekerja. Aku sangat tidak sabar menjadi wanita kantoran lagi," kata Alyn dengan penuh semangat. Bryan tersenyum kecil, "padahal kau bisa saja dengan mudah menjadi pemimpin perusahaan Tuan Anggara." Alyn tertawa ringan mendengar komentar Bryan. “Oh, tentu saja, aku bisa, tapi aku lebih memilih untuk memulai dari bawah dan membuktikan kemampuanku dengan cara yang lebih sederhana. Lagipula, aku ingin merasakan prosesnya dari awal.” Bryan mengangguk dengan pengertian. “Aku paham. Kadang-kadang, perjalanan yang panjang dan penuh usaha lebih memuaskan daripada hasil akhir yang instan. Kau memang tetap keras kepala.” Alyn merasa senang mendengar pujian itu. “Terima kasih, Bryan. Kamu selalu ada di sisiku.” Saat malam semakin larut, Bryan menawarkan untuk membantu Alyn mempersiapkan segala sesuatu untuk hari esok. “Aku bisa membantumu memeriksa dokumen atau hanya sekedar membuatkan kopi jika kamu butuh,” ujarnya dengan nada yang menawarkan dukungan lebih lanjut. “Terima kasih,” kata Alyn dengan penuh rasa syukur. “Tapi sepertinya aku sudah siap. Mungkin aku hanya butuh sedikit istirahat sebelum besok.” Bryan berdiri dan mengumpulkan barang-barang yang tersisa. “Baiklah. Aku akan pergi sekarang, tapi ingatlah untuk selalu menghubungiku jika terjadi sesuatu. Aku asistenmu sekarang.” Alyn tertawa sebelum mengantar Bryan ke pintu, merasa lebih ringan dan penuh energi setelah malam yang menyenangkan. “Aku sangat menghargai ini, Bryan. Sampai jumpa besok di tempat kerja, ya? Kau akan menjemputku, kan?” Bryan tersenyum dan melangkah keluar. “Tentu, Nona Alyn. Semoga malammu menyenangkan dan semoga pekerjaanmu besok berjalan lancar.” Setelah Bryan pergi, Alyn kembali ke ruang tamunya dengan perasaan yang lebih tenang dan siap menghadapi tantangan baru di hari esok. Kunjungan Bryan memberikan dorongan positif yang sangat dibutuhkan dan membuatnya merasa lebih siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Keesokan harinya, Alyn terbangun dengan semangat baru. Setelah berbulan-bulan tidak bekerja karena hamil, akhirnya dia bisa kembali menjalani pekerjaan yang dia sukai. Dengan senyum di wajahnya, Alyn merapikan rambutnya dan mematut diri di depan cermin. Ini adalah hari pertamanya, namun perjalanannya ke kantor tidak semulus yang diharapkannya. Jakarta yang selalu ramai dengan lalu lintas macet membuat perjalanan menjadi lambat. "Tentu saja," gumam Alyn, "hari pertama bekerja dan aku terjebak macet." Alyn melirik jam tangannya, rasa cemas mulai merayap di hatinya. Akhirnya, setelah perjuangan yang cukup lama, ia sampai di gedung Wijaya Group. Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju lift, berharap bisa mengejar waktu yang tersisa. Setibanya di lantai kantornya, Alyn disambut oleh rekan kerjanya yang sudah menunggunya di depan pintu. "Kamu terlambat, Alyn. CEO ingin bertemu denganmu sekarang. Cepat masuk ke ruangannya," kata seorang wanita bernama Vya, dengan nada serius. Jantung Alyn berdebar keras. Dia harus berhadapan langsung dengan atasannya hari ini. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, lalu berjalan menuju pintu ruangan CEO. Alyn mengetuk pintu dengan ragu-ragu. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam ruangan. Dengan hati-hati, Alyn membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu luas, dengan jendela besar yang memandang ke arah kota. Di balik meja besar, duduklah seorang pria dengan penampilan yang rapi dan karisma yang kuat. Namun pria itu duduk membelakanginya. "Maaf, Pak, saya terlambat," ucap Alyn dengan suara bergetar. "Saya sangat tidak senang dengan orang yang tidak disiplin. Dari mana saja kamu?" Suara pria itu terdengar tegas, masih membelakangi Alyn. "Maaf, Pak, tadi saya mengalami kemacetan," jawab Alyn, berusaha menjelaskan. "Saya juga paling tidak suka orang yang banyak alasan," balas pria itu dengan nada semakin tajam. Suaranya lama-lama terdengar tidak asing di telinga Alyn, membuatnya semakin penasaran dengan siapa yang ada di hadapannya sekarang. "Maaf, Pak, tapi saya berkata yang sejujurnya. Maaf sekali lagi," ucap Alyn masih menunduk. "Tunggu!" Pria itu berbalik, memutar kursinya menghadap Alyn. Alyn terkejut saat mengangkat kepalanya. Dia menatap wajah pria di hadapannya lekat-lekat, menepuk-nepuk pipinya sendiri untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi. "Kamu..." suara Alyn hampir tidak terdengar. Lututnya bergetar hampir terjatuh. Pria itu? Beraninya menunjukkan kembali wajahnya di hadapan Alyn.Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu