Alyn adalah asisten setia Felix Putra Wijaya, CEO dari perusahaan tempatnya bekerja. Namun, sebuah kesalahan yang tidak terduga mengubah hidupnya secara drastis. Dalam pernikahan rahasia mereka, Alyn harus menanggung penghinaan dan perlakuan buruk dari keluarga Felix. Meskipun selalu direndahkan, Alyn tidak pernah menunjukkan kelemahannya. Di balik senyum dan kesabarannya, ia menyimpan identitas rahasia yang tidak diketahui oleh siapa pun, termasuk Felix, suaminya. Siapa sebenarnya Alyn? Dan bagaimana ia akan menghadapi keluarga Wijaya yang begitu berkuasa?
View More"Dia cuma nambah beban keluarga aja!" tukas Bu Cintya dengan nada tinggi pada Felix, anak sulungnya.
Mereka duduk di meja makan yang biasanya penuh kehangatan, kini berubah menjadi medan perdebatan. Di kamar sebelah, Alyn sedang melipat baju dengan teliti. Suara obrolan mertua dan suaminya itu samar-samar masuk ke telinganya, setiap kata terasa seperti duri yang menusuk. Felix menghela napas berat. Ini bukan kali pertama ibunya mengeluhkan Alyn. "Masa ibu suruh ke warung sayur beli beberapa bumbu dan sayuran aja gak bisa! Beres-beres rumah aja gak becus! Apa gunanya jadi wanita?" Suara Bu Cintya makin meninggi, seolah ingin seluruh rumah mendengarnya. Felix berusaha meredakan situasi. "Udahlah Bu, sabar aja. Dia kan lagi hamil. Suruh yang ringan-ringan aja, lumayan daripada sewa pembantu," ujarnya lembut, berharap bisa menenangkan ibunya. Dari kamar, Alyn mendengar semuanya. Kata-kata itu menembus jantungnya, mengoyak harga dirinya. Dalam diam, ia menahan amarah yang membara. Air matanya mengalir, namun ia tetap diam, menyimak dengan hati yang terluka. Bu Cintya belum berhenti. "Terus gimana tadi fitting baju pernikahan sama Erika? Dia suka kan sama baju pilihan ibu? Ibu gak sabar punya menantu kayak dia." Setiap kata terasa seperti tamparan keras bagi Alyn. Dadanya sesak, sakit hati menguasai dirinya. Tak tahan lagi, ia membuka pintu kamar dengan keras, suara yang menggema ke seluruh ruangan. Tatapan Alyn begitu menyalang, penuh kemarahan dan kepedihan. Matanya menatap Felix dan Bu Cintya bergantian, mengungkapkan kekecewaan dan luka yang mendalam tanpa satu kata pun terucap. Sesaat, ruang makan itu terasa membeku dalam ketegangan yang tak terelakkan. "Apa Mas? Erika?" suara Alyn bergetar, hampir pecah. Ia memandang Felix dengan mata yang penuh harapan akan sebuah penjelasan yang tak pernah ia duga. Felix awalnya gelagapan, tak siap menghadapi amarah dan kesedihan yang terpancar dari mata istrinya. Namun, akhirnya ia menyahut dengan nada dingin, seakan mencoba melindungi dirinya dari kebenaran yang akan terlontar. "A-Alyn ... ini ..." ujar Felix, berusaha memulai percakapan yang terasa lebih seperti sebuah eksekusi. Tatapan mata Alyn tak berubah, tajam dan menuntut kejujuran. Felix menarik napas dalam, berusaha menata kalimatnya. "Ya, dia lebih baik dari kamu. Dia bisa bantu posisi aku di perusahaan. Tenang aja, kamu masih bisa tetap jadi istri pertama kok," ucapnya, kata-kata itu menggantung di udara, seperti sebuah belati yang ditikamkan ke hati Alyn. Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Alyn terpaku, rasa sakit dan penghinaan menghancurkan setiap harapan dan cinta yang pernah ia tanam. Ia merasakan dunianya runtuh, patah menjadi keping-keping yang tak mungkin bisa diperbaiki. "Bagaimana bisa?" gumam Alyn, hampir tak terdengar. Tangannya gemetar, memegangi perutnya yang mulai membesar, seolah berusaha melindungi dirinya dari kenyataan yang begitu kejam. Bu Cintya memandangnya dengan tatapan meremehkan. "Sudahlah, Alyn. Terima saja. Kamu seharusnya bersyukur masih diberi tempat di rumah ini. Erika jauh lebih pantas untuk Felix. Lihat kamu setiap hari lusuh begini! Bikin malu aja Felix yang seorang CEO! Mana kamu miskin pula, gak menghasilkan apa-apa," katanya tanpa belas kasihan. Alyn berdiri di tempatnya, air mata mengalir deras di pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, menahan amarah dan kesedihan yang tak tertahankan. Setiap kata Bu Cintya seperti racun yang merusak setiap inci kepercayaan dirinya. Lusuh? Pikiran Alyn berputar penuh kemarahan. Baju bagus dan kosmetik yang ia miliki tak pernah tersentuh di meja riasnya. Jangankan harus bersolek, mandi saja ia di buru waktu. Setiap pagi, Bu Cintya selalu mengomel sambil menggedor pintu kamar mandi agar Alyn cepat-cepat selesai dan mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara Bu Cintya, kerjanya hanya menggosip di depan warung sayur, menambah beban mental yang harus ditanggung Alyn setiap hari. "Apa yang kamu inginkan dari aku, Bu? Aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan!" seru Alyn, suaranya penuh dengan rasa putus asa. Ia merasa setiap harinya dihabiskan untuk memenuhi ekspektasi yang tak pernah cukup di mata mertuanya. Alyn tak bisa lagi menahan tangisnya. Namun, di balik air mata yang mengalir, ada kekuatan yang mulai muncul. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah memberikan segalanya, namun tetap dianggap tak berharga. Dengan mata yang masih berurai air mata, Alyn menatap Bu Cintya dan Felix dengan tatapan yang penuh keberanian. "Aku mungkin miskin, lusuh, dan tidak seberapa di mata kalian. Tapi aku manusia. Aku istri, aku ibu dari anak yang aku kandung. Dan aku berhak untuk dihargai," ujarnya dengan suara yang tegas meski bergetar. "Heh, dengan aku tanggung jawab dari kehamilanmu aja itu udah menghargaimu! Kamu harusnya bersyukur!" hardik Felix dengan nada penuh penghinaan. Kata-kata Felix membuat Alyn geram. Amarah yang telah lama ia pendam kini tak tertahan lagi. Ia maju, mengangkat tangannya hendak menampar Felix, ingin melampiaskan rasa sakit hati yang membara di dalam dadanya. Namun, Bu Cintya dengan cepat menangkis tangan Alyn dan mendorongnya jatuh ke lantai. Tubuh Alyn terhempas keras, menambah luka fisik di tengah luka batinnya yang menganga. Alyn merintih kesakitan, terutama karena ia sedang mengandung. Tangannya meraba perutnya yang mulai membesar, berusaha melindungi bayi yang dikandungnya. "Berani-beraninya kamu mau nampar anakku! Dasar menantu udik gak tahu di untung!" hardik Bu Cintya dengan suara yang penuh kemarahan. Alyn menatap dengan penuh dendam pada Felix dan Bu Cintya. Air mata tak lagi mampu menyuarakan rasa sakit hatinya. Namun, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang tak biasa. Darah mulai merembes di sekitar selangkangannya, menambah ketakutan yang tak terbayangkan. "A-apa yang terjadi? Anakku!" Alyn terkejut dan segera memegang perutnya dengan panik. Ia menatap tajam kedua orang yang telah mendzaliminya, rasa sakit dan ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Alyn berseru, "Aku tak sudi dimadu! Ceraikan aku! Aku ingin cerai!" Kata-katanya terdengar jelas dan tegas, meski tubuhnya bergetar dan darah terus merembes. Felix tersenyum mendengar seruan Alyn. "Cerai? Akan aku kabulkan! Sekarang kau bisa pergi dari sini!" katanya dengan dingin, seakan perkataan itu adalah hukuman yang ia tunggu-tunggu. Bu Cintya tersenyum senang melihat Alyn yang berusaha bangkit. Ia tak peduli apa yang terjadi pada Alyn, selama menantunya itu keluar dari rumah mereka. Alyn bangkit dengan meringis, merasakan sakit yang tajam di perutnya. Sesuatu yang buruk terjadi dengan janinnya, tapi ia menahan rasa sakit itu, bertekad untuk meninggalkan tempat yang penuh dengan penghinaan ini. "Kalian akan menyesal," kata Alyn dengan tatapan dingin dan suara yang lemah.Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments