Mobil mewah merah melaju kencang dalam misi mengejar MBenz yang disetir oleh Rendy Wang, seseorang yang dianggap sampah tapi ternyata memiliki talenta luar biasa.
Angin kencang menyentuh wajah Hezkil Wu yang bengis, penuh hawa membunuh. "Kurang ajar! Akan kupatahkan kaki dan tangan sampah brengsek itu! Beraninya menghina kemampuanku sebagai pembalap Super Car!" gerutunya. Suaranya bergetar dengan amarah yang mendidih. "Terlalu bagus kalau hanya dipatahkan kaki dan tangannya! Siksa saja dahulu, kemudian buang ke laut setelah mematahkan seluruh kaki dan tangannya, baru puas!" hasut Tristan Liu, duduk kaku dengan wajah pucat di samping Hezkil. Ruang sempit dalam mobil merah ini membuatnya kesulitan bernapas, setiap gerakan terasa seperti beban yang menekan. akhirnya, sesuatu yang ditahan lama terlepas juga ... Duuuut…! Tanpa sadar, Tristan mengeluarkan gas busuk yang langsung mengacaukan konsentrasi Hezkil. "Kamu ini apa-apaan sih? Memalukan keluarga Liu saja!" tegurnya dengan nada marah, hidungnya berkerut menahan bau yang menyengat. Hezkil dan Tristan memang berbeda bagai langit dan bumi. Hezkil, dengan pergaulan luas dalam Super Car Community, sering kali merasa superior. Sedangkan Tristan hanyalah anak kaya pemalas yang mengandalkaan kekayaan orangtuanya karena terlalu dimanja oleh orangtuanya. Jadi, kekalahannya dari Rendy, si bocah miskin yang hanya mengendarai skuter usang, menorehkan luka dalam di hatinya. "Akan kubunuh bocah miskin tak berguna itu!" tekadnya, tatapan matanya penuh dendam. Hezkil menambah kecepatan, mesin mobilnya meraung memecah kesunyian malam, semakin mendekati MBenz di depannya."Hebat juga manusia sampah itu! Belajar di mana dia kemampuan mengemudi sehebat itu?" batin Hezkil, sekejap kekaguman menyelinap di antara amarahnya. Bayangan jika Rendy adalah CEO kaya dan berpengaruh, mungkin bisa jadi sahabat hebat. Tapi sayangnya, Rendy adalah pesaing utama untuk mendapatkan Cindy, selain James.
"Hez... bisa berhenti sebentar? Perutku mulas dan kepalaku pusing!" ucap Tristan, wajahnya kini seperti kertas putih, pucat pasi. Wajah Hezkil berubah kesal melihat Tristan yang lemah. "Aku tidak bisa berhenti! Kamu tidak lihat kalau si brengsek itu telah mempermalukanku! Aku ini pembalap Super Car, tapi dikalahkan oleh manusia sampah yang hanya mengendarai skuter busuk setiap hari! Apa kamu paham, Tristan!" Tristan yang biasanya ditakuti di kalangan jetset, kini terdiam tak berdaya oleh kemarahan Hezkil. Dia menggertakkan giginya, amarahnya tertuju pada Rendy. "Awas kau, Rendy Wang... aku akan membuatmu sengsara seumur hidupmu!" batinnya, wajahnya mengerut penuh kebencian. Gara-gara manusia sampah itu, dia dimarahi habis-habisan oleh Hezkil yang selama ini selalu sabar terhadap dirinya. Di sisi lain, Hezkil menatap lurus ke depan. Matanya menyala dengan tekad membara. Di ujung jalan, suasana sangat sepi, hanya ada mereka dan jalan yang terbentang, pertarungan harga diri yang tak bisa dihindari. Angin panas siang itu seakan menjadi saksi bisu, menyaksikan kebencian yang berkobar dalam dua hati yang dipenuhi dendam dan hasrat balas dendam. "Kejar saja, Hez... aku juga ingin menghancurkan Rendy Wang! Manusia sampah sepertinya tidak pantas hidup di dalam lingkaran pergaulan kita!" teriak Tristan. Suaranya parau, penuh kebencian yang tak terpadamkan. Wajah Hezkil pun berubah sumringah melihat sahabatnya ini telah kembali. "Jangan khawatir! Akan kuhancurkan hidupnya! Apalagi, Naga Perang telah kembali ke Negeri Khatulistiwa ini. Jangan sampai manusia sampah itu merusak reputasiku sebagai CEO Wu Corporation. Aku ingin ayah bangga denganku kalau aku berhasil mendekati Naga Perang untuk kerja sama dengan perusahaan miliknya!" "Naga Perang telah kembali?" Suara Tristan agak gemetaran mendengar nama yang sangat melegenda di kalangan pebisnis dan dunia hitam Negeri Khatulistiwa. "Hahaha... Wajar saja kau gemetar mendengar nama Naga Perang! Dia adalah idolaku... Begitu hebatnya dia, sampai tak tertandingi oleh siapapun juga. Konon, Sembilan Naga yang merupakan organisasi bisnis dan dunia hitam ini, tunduk terhadap Naga Perang,” balas Hezkil, “kamu bayangkan, bisa mencium kaki salah satu dari Sembilan Naga saja sudah hebat, apalagi bisa menarik perhatian Naga Perang!” Semangat bertemu Naga Perang membuat kemampuan Hezkil meningkat. Sebagai fans, ia tidak akan mencemari kesucian Naga Perang! Dan, ia berhasil menyusul MBenz yang tadi sulit dikejar olehnya. "Kamu lihat kekuatan Naga Perang! Hanya membayangkan bertemu dengannya saja membuat kemampuanku meningkat pesat. Bagaimana kalau aku sampai bisa bertemu dengannya?" Seketika, moncong depan mobil mewah merahnya sudah semakin dekat dengan bemper belakang MBenz putih yang disetir Rendy. "Tabrak saja, Hez!" kata Tristan Liu yang mencoba menghasut Hezkil untuk menghancurkan Rendy bersama Cindy di dalam MBenz ini. Hezkil sudah melupakan bahwa Cindy, yang disukainya, juga berada di dalam mobil mewah putih itu. Keinginan menunjukkan kehebatannya di hadapan Naga Perang nanti, membuatnya kalap dan memacu mobil merahnya semakin kencang untuk menabrak mobil putih milik Cindy dan menghancurkannya tanpa peduli nyawa di dalamnya. Brummm! Suara raungan mesin semakin kencang seiring bagian depan mobil mewah merah milik Hezkil Wu siap menabrak bagian belakang mobil putih mewah milik Cindy. “Aaaa!” Lantas, bagaimana nasib Rendy dan Cindy?Helikopter meluncur di atas lautan biru kehijauan yang luas, membelah awan tipis yang menggantung rendah. Di kejauhan, Shadow Island mulai terlihat—pulau kecil yang terisolasi, dikelilingi tebing tinggi dan hutan gelap seperti pelindung alami dari dunia luar.Di dalam kabin, suara baling-baling terasa seperti detak jantung yang memburu. Renata duduk di seberang Rendy, mengenakan sabuk pengaman dan menatap jendela, namun jelas pikirannya tidak ada di sana. Matanya kosong, tak menatap langit, tak menatap laut. Ia sedang mengukur luka di dalam hatinya, luka yang tidak terlihat tapi terasa tajam.Rendy ingin bicara, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya bisa menatap jemari tangannya sendiri—yang dulu digunakan untuk menyelamatkan nyawa, kini justru tak mampu melindungi perasaan orang yang ia cintai.Loksa di kursi depan hanya menoleh sekali, matanya tajam seperti biasa."Kita akan mendarat dalam tiga menit. Cuaca tenang, tapi energi spiritual di pulau ini tidak."Rendy menganggu
Ponsel masih tergenggam di tangan Rendy. Jemarinya membeku, sementara pikirannya berkelana terlalu jauh, terlalu cepat. Pertanyaan Renata menggantung di udara seperti kabut dingin: “Kak Rendy sendirian, kan?”Rendy menatap ke arah tempat tidur. Seruni mulai bergerak, menggeliat pelan seperti kucing yang baru terbangun. Cahaya matahari pagi menyapu sebagian wajahnya, menyilaukan bulu matanya yang perlahan terbuka. Tatapan mereka bertemu.Hening.Seruni mengangkat tubuhnya, duduk di atas ranjang sambil mengusap mata. “Kamu mau pergi?” tanyanya pelan, suaranya masih berat, namun mengandung ketulusan yang membuat dada Rendy sesak.Ia mengangguk pelan. “Aku harus ke Shadow Island. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan … seseorang yang harus kutemui.”Seruni menatapnya dalam-dalam. Mata itu, mata yang pernah menyaksikan dunia runtuh di sekelilingnya, kini terlihat rapuh. Namun, bukan karena takut—melainkan karena ia tahu dirinya tak bisa ikut.“Clarissa, ya?” tanyanya pelan.Rendy tak menjawa
Langit masih berwarna biru kelam ketika Rendy membuka matanya. Udara pagi yang dingin menyusup lewat celah jendela Hotel Aurora Velaris, menggigit kulitnya dan membuatnya menghela napas panjang. Aroma samar linen bersih dan embusan angin laut yang asin terasa menyelimuti ruangannya yang hening.Ia duduk di sisi tempat tidur, matanya menatap sosok Seruni yang masih terlelap di balik selimut putih tebal. Nafas gadis itu teratur, tenang, dan sesekali terdengar gumaman kecil dari bibirnya yang bergerak dalam mimpi. Wajahnya terlihat damai—terlalu damai untuk diganggu dengan berita bahwa ia harus ditinggal pagi-pagi sekali.Rendy menghela napas pelan. Ada pergolakan di dadanya. Ia tahu, ini bukan waktunya untuk membangunkan Seruni. Terlalu banyak yang sedang dipertaruhkan. Terlalu banyak luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Perlahan, ia berdiri, mengambil ponsel dari meja di samping ranjang. Jarinya bergerak cepat, menekan kontak Renata.Nada sambung berdengung di telinga, dan dalam bebe
Di luar, Horizon City masih terus berdenyut. Tapi di dalam suite itu, waktu seolah melambat. Dua manusia duduk di ambang sesuatu yang belum mereka beri nama—lebih dari hubungan, lebih dari misi, lebih dari takdir.Rendy memandangi wajah Seruni dengan mata yang tak sekadar melihat—tapi mencoba menyelami. Setiap gurat halus, setiap bayangan yang jatuh di pipinya akibat cahaya lembut dari lampu meja, terasa seperti sebuah teka-teki yang ingin ia pahami sepenuhnya. Bukan karena ia mirip seseorang dari dunia lain. Bukan karena nostalgia atau takdir. Tapi karena sosok perempuan ini—di sini, malam ini—telah menggetarkan sesuatu yang lebih nyata dalam dirinya.“Seruni ...” suaranya rendah, nyaris bergetar, seolah kata-kata itu menuntut keberanian tersendiri. “Kalau aku menyentuhmu malam ini … itu bukan karena kamu mengingatkanku pada seseorang dari dunia paralel. Tapi karena aku ingin mengenalmu, benar-benar mengenalmu … sebagai perempuan yang berdiri di hadapanku sekarang.”Seruni tak segera
Langit Horizon City malam itu tampak seperti kanvas hidup—penuh warna, gerak, dan gemerlap cahaya yang berpendar seperti ribuan permata ditaburkan di angkasa. Jalan-jalan bersinar bak urat nadi kota yang berdetak tanpa henti, sementara gedung-gedung menjulang bagai penjaga malam yang menyimpan rahasia manusia modern.Dari lantai 49 Hotel Aurora Velaris, panorama itu terbentang megah. Jendela kaca raksasa di suite mewah mereka tak sekadar menampilkan pemandangan, melainkan menciptakan ilusi bahwa batas antara langit dan lantai telah lenyap.Di dalam, lampu-lampu sengaja diredupkan, hanya meninggalkan semburat hangat dari lampu meja dan sinar biru lembut yang memancar dari kolam jacuzzi pribadi di sudut ruangan. Aroma lavender samar dari diffuser bergelut pelan dengan uap teh dan jejak aroma sabun kayu dari kamar mandi.Seruni berdiri di dekat jendela, siluetnya menyatu dengan kerlip kota di belakangnya. Gaun satin putih yang ia kenakan jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, membaur dengan caha
Suara gemuruh mesin pesawat semakin keras, menggulung udara seperti gelegar badai yang tak kunjung reda. Turbulensi kecil membuat kabin sedikit bergetar, menggoyangkan tirai-tirai jendela dan gelas-gelas plastik yang masih setengah berisi di baki penumpang. Lampu kabin meredup seiring malam yang kian merayap, menciptakan suasana samar yang mengaburkan batas antara realita dan bisikan perasaan.Di tengah kekacauan bunyi itu, Seruni hanya tersenyum—sebuah senyum yang tidak menjawab, tapi juga tidak menolak. Rendy sempat bertanya sesuatu, namun kata-katanya tertelan oleh bisingnya dunia. Gadis itu mendekat, tubuhnya sedikit condong ke arah Rendy, seperti sebuah rahasia yang hendak diungkapkan hanya untuknya.Nafas hangatnya menyentuh telinga Rendy, membawa aroma samar yang memabukkan—seperti bunga melati yang mekar diam-diam di malam hari, ketika tak ada mata yang memandang tapi keharumannya tak bisa dihindari.“Apa kamu benar-benar ingin cari tahu, Rendy?” bisiknya. Lembut. Menggoda. Pe