Vincen mendengus. "Aku tidak mengenalmu! Sekarang katakan kamu siapa?"
Walau dibalas dengan begitu ketus, wanita itu masih tersenyum manis padanya. Dengan gerakan lembut, wanita itu melepaskan cekalan tangan Vincen. Dia beranjak berdiri, menepuk-nepuk pakaian bagian belakangnya. Kemudian, Dari dalam tasnya, menjulurkan sebuah dompet dan kunci mobil pada Vincen. "Berhenti bersedih untuk sesuatu yang tak layak dan Pergilah ke alamat yang ku tuliskan di kertas dalam dompet," katanya. "Di sana kamu akan menemukan kehidupanmu yang layak." Kemudian, wanita itu langsung berbalik, berniat untuk pergi. "Tunggu! Apa maksudmu?!" Langkah wanita itu terhenti sesaat, lalu dia menoleh untuk menatap Vincen dengan tatapan penuh arti. "Kita akan bertemu lagi, Vincenzo Clark Adama." Usai mengatakan itu, wanita tersebut masuk ke dalam sebuah mobil mewah dan meninggalkan rumah kontrakan Vincen. "Hei!" teriak Vincen sambil berlari, berusaha mengejar si wanita, namun mobil itu semakin menjauh. Tak berhasil mengejar, Vincen pun berhenti. Dia terengah-engah, lalu menatap dompet yang dibawanya. Di dalam dompet itu terdapat sebuah Black Card dan kartu kunci pintu otomatis. "Siapa sebenarnya dia?" gumam Vincen, rasa bingung menyelimuti pikirannya. Namun, ucapan sang wanita terngiang di benaknya. ""Berhenti bersedih untuk sesuatu yang tak layak dan Pergilah ke alamat yang ku tuliskan di kertas dalam dompet. Di sana kamu akan menemukan kehidupan yang layak." Memikirkan hal tersebut, Vincen pun mengepalkan tangannya. Wanita itu benar, bersedih untuk sesuatu yang tak layak tidak ada gunanya. Dibandingkan bersedih, lebih baik dia memikirkan kembali cara untuk bangkit dari keterpurukan ini. Tanpa pikir panjang Vincen langsung masuk ke kontrakannya, mengambil barang-barang yang kiranya berharga dan bergegas meninggalkan tempat tersebut. Dia bersumpah, suatu hari nanti, dia akan buktikan bahwa dirinya lebih baik dari semua orang yang merendahkannya! *** Sementara itu di dalam mobil si wanita yang memberikan dompet dan kunci mobil ke Vincen, tampak dia sedang memandangi sebuah foto di layar ponselnya. "Nona, kenapa Anda tidak langsung memberitahu tuan muda saja?" tanya sopir sekaligus pengawal si wanita sopan. Wanita itu mengulas sebuah senyum. "Tidak perlu, lagi pula dia juga akan datang ke apartemen Diamond, aku ingin dia mengingatku sendiri," jawabnya tanpa menoleh. Sopir menggelengkan kepalanya pelan. "Saya benar-benar tidak tahu cara berpikir Anda," ujarnya. "Jangan banyak bicara, fokus saja menyetir, bawa aku ke rumah Tuan besar Clark!" perintah si wanita masih sambil menatap foto di layar ponselnya. "Baik Nona," jawab sopir menambah kecepatan pergi ke kediaman keluarga Clark yang merupakan orang terkaya di Aldasia. Setelah satu jam perjalanan mobil si wanita sampai di kediaman keluarga Clark. Tampak penjaga gerbang menghadang mobil tersebut, tetapi saat melihat si wanita, penjaga gerbang langsung membungkuk dan segera membuka gerbang. Mobil wanita itu melaju perlahan, kemudian berhenti di halaman keluarga Clark. Pak tua Clark, yang baru saja pulang, mendengar suara mesin mobil itu. Ia langsung menghentikan langkahnya, berbalik, dan memperhatikan mobil itu dengan tatapan curiga. Saat wanita tersebut turun dari mobil, ekspresi terkejut langsung menghiasi wajah Pak Tua Clark. "Veronica!" serunya. Veronica tersenyum dan langsung mendekati Pak Tua Clark. "Kakek! Lama tak bertemu," ujarnya, lantas memeluknya erat tanpa ragu-ragu. Pak Tua Clark menepuk punggung Veronica, balas memeluknya singkat. "Kapan kamu pulang? Kenapa tak beritahu Kakek?" tanyanya, sambil melepaskan pelukan. Veronica tersenyum simpul. "Aku tiba siang tadi, sebenarnya ingin langsung kesini, tapi sempat mampir dulu ke tempat lain," sahutnya lembut. "Ayo masuk, kita ngobrol di dalam saja," Pak Tua Clark mengajak dengan suara yang lembut namun penuh kebahagiaan. Veronica mengangguk setuju. Mereka pun berjalan bersama memasuki rumah besar dan mewah itu, siap mengejar kisah masa lalu yang telah lama terpisah. Pak Tua Clark mengangkat tangan ke arah pelayan yang melintas. "Tolong bawakan minuman ke ruang tamu." Katanya lalu menoleh pada Veronica. "Ayo, mari kita ngobrol di sana." Dia menunjuk kursi di ruang tamu. Veronica melirik sekeliling dan menggeleng. "Rumah ini masih seperti dulu," ucapnya lembut sembari melangkah perlahan dan menempati kursi di hadapan Pak Tua Clark. Pak Tua Clark menghela napas panjang, raut wajahnya kian tampak lesu. "Begitulah, dan aku pun masih hidup sendirian seperti dulu." Senyuman Veronica mengintip di bibirnya. "Bagaimana kondisi Kakek?" tanyanya dengan perhatian. "Ya beginilah, pria tua yang hidup sebatang kara memang menyedihkan. Mungkin hidupku tinggal menghitung hari," jawab Pak Tua Clark sambil menunduk, seolah berusaha menyembunyikan kesedihan. Veronica beranjak berdiri, cepat menggenggam tangannya. "Jangan bicara seperti itu, aku janji akan membawa Vincenzo pulang ke rumah dan merawat Kakek," ujarnya penuh harap. Ekspresi Pak Tua Clark berubah, keningnya mengerut. "Kamu mengenal … Vincen?” Pria tua itu terkejut, baru tahu kalau putri dari kerabat lamanya ini mengenal sang cucu. Senyuman penuh arti muncul di wajah Veronica. "Bisa dibilang, kami sempat mengenal.” Kemudian, wajah Veronica berubah sendu. “Akan tetapi, aku tidak tahu apa dia masih mengingatku ….” "Jadi alasanmu kembali ke Aldasia setelah sekian lama … apakah itu untuk … Vincen?" tanya Pak Tua Clark sambil mengamati wajah Veronica. “Dia pernah berjanji padaku, jadi aku kembali untuk menagih janji itu," jawabnya pelan. Pak Tua Clark tampak bingung. “Janji?” ulangnya. “Janji apa?” Veronica tersenyum penuh arti. “Kakek bisa tanyakan padanya saat dia mengingatnya.” Wanita itu kemudian memandang ke arah kejauhan, membayangkan sosok Vincen yang saat ini pasti sedang berusaha menggali ingatannya. “Yang perlu Kakek ketahui adalah …” Veronica menatap Pak Tua Clark,“... aku akan pastikan Vincen kembali ke posisi yang seharusnya.” .Vincen berdiri di depan jendela besar rumahnya, pandangannya kosong melintasi langit malam yang penuh bintang. Tangan kanannya yang menggenggam telepon genggam sedikit gemetar. Wajahnya yang tadinya tegang dan pucat perlahan mulai menunjukkan raut lega saat mendengar berita tersebut dari ujung telepon. "Apa benar-benar semua telah dikalahkan, Master?" suaranya terdengar serak, mencari kepastian."Iya, Tuan Clark. Semua sudah beres. Tidak perlu khawatir lagi," jawab suara di seberang sana, tegas dan menenangkan.Seketika, otot-otot yang tegang di leher Vincen melunak. Dia menutup matanya, menghela napas panjang dan mengusap muka dengan kedua tangannya. Pria itu kemudian berjalan pelan menuju sofa, duduk dengan letih. Rasa cemas yang selama ini menderanya perlahan menguap, digantikan oleh rasa syukur yang dalam.Vincen menatap ke atas, mengucap syukur dalam hati. Kepalanya yang tadinya dipenuhi oleh ketakutan dan kecemasan tentang apa yang mungkin terjadi pada orang-orang di sekitarnya
Dentuman keras menggema, membuat tanah di bawah mereka bergetar dan debu mengepul tinggi ke udara. Saat kekuatan mereka berdua saling beradu satu sama lainTubuh Harley bergetar karena kekuatan yang baru saja dia lepaskan. Matanya menyala tajam, energi spiritualnya mengalir seperti sungai yang deras. Di depannya, Lizzy dengan cekatan menahan serangannya dengan pedang yang ia oegang, menciptakan gelombang energi yang bertabrakan dengan pukulan Harley.Asap perlahan mulai menghilang, Lizzy berdiri tegak, pedangnya masih terjulur ke depan, tapi nafasnya terengah-engah menandakan usaha yang ia keluarkan.Harley, di sisi lain, masih terpaku di posisinya, matanya terpaku pada sosok Lizzy yang ternyata mampu menahan serangannya. Ada rasa kagum yang bercampur dengan kegigihan dalam dirinya, mengetahui bahwa pertarungan ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan.Dengan gerakan yang begitu cepat, Harley dan Lizzy saling menyerang dengan serangan dahsyat yang bertenaga. Benturan energi spirit
Harley melihat ke sekitar arena pertarungan. Setelah mengalahkan lawannya, matanya mencari sosok Solomon yang terlihat berada dalam kesulitan. Dengan langkah cepat dan pasti, Harley melompat melewati pohon dan bebatuan yang ada dibawahnya, bergegas menuju Solomon yang tampak kewalahan.Solomon, dengan tubuhnya yang sudah renta, berusaha menangkis serangan dengan teknik pernapasan Alam. Wajahnya terlihat pucat dan keringat membanjiri dahi, menunjukkan betapa dia berjuang untuk bertahan. Harley, dengan mata yang tajam dan gerakan cepat, langsung menghampiri, mengayunkan pukulan kuat ke arah sosok lawan Solomon. membuatnya sosok tersebut terhempas jauh ke belakang."Anda tidak apa-apa?!" teriak Harley bertanya sambil berdiri didepan pria tua itu. Solomon, dengan napas yang tersengal, hanya bisa mengangguk pelan dan mencoba untuk tetap berdiri.Sosok yang terhempas barusan, terlihat terbang kembali ke arah Harley, melakukan serangan cepat.Namun, Harley dengan gerakan lincah, melindungi
Lotar segera waspada saat menatap sosok yang membangkitkan energi spiritual Iblis. Dia tahu betul bahwa pengguna energi spiritual kegelapan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.Menarik napas dalam-dalam, Lotar memutuskan untuk tidak menahan kekuatan lagi. Dia melepaskan seluruh energi spiritualnya yang mendalam dan kuat."Hahaha... bagus, gunakan semua kekuatanmu, pak tua!" seru pengguna energi spiritual kegelapan dengan nada mengejek, sambil melayang di udara bak sosok yang menguasai langit.Swuz!Tak ada yang menduga, Lotar tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Hanya terdengar ledakan dahsyat saat dia melompat ke atas dengan kecepatan luar biasa.Sosok pengguna energi spiritual kegelapan tersenyum mengejek, seolah sudah tahu akan serangan Lotar. Dia dengan mudah menahan serangan pukulan dahsyat dari Lotar, tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.Duak!Gelombang angin menerjang sekitar mereka akibat benturan pukulan Lotar yang ditahan oleh sosok pengguna energi kegelapan dengan s
Harley berdiri dengan tegap, tatapan matanya terkunci pada sosok yang dengan tenang menahan serangannya.Tanah di bawah kaki mereka terbelah, membentuk jurang kecil, dan debu berterbangan mengelilingi area pertarungan mereka. Sosok tersebut, dengan ekspresi yang tidak terbaca, membetulkan posisi kakinya, menyiapkan diri untuk serangan berikutnya.Harley, dengan kecepatan kilat, melancarkan pukulan lain, namun Sosok itu hanya mengangkat tangan kanannya dan dengan mudahnya mengalihkan serangan tersebut. Gerakan Sosok itu begitu tenang dan terkendali, seolah-olah dia sedang berada dalam latihan rutin bukan dalam pertarungan sengit.Harley merasakan emosi yang mulai membuncah di dalam dadanya, dia tidak pernah bertemu lawan yang seakan meremehkannya seperti itu. Setiap serangan yang dia lancarkannya hanya seperti angin lalu bagi Sosoj tersebut.Kemarahan dan kekaguman bercampur dalam pandangannya, namun dia tidak akan menyerah. Dengan rahang yang mengeras, Harley mengumpulkan seluruh kek
Langit malam yang gelap berpadu dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin kencang, menciptakan suasana yang mencekam di tengah pepohonan yang rimbun. Di kejauhan, cahaya obor dari para pemuja Iblis menerangi area sekeliling mereka, membentuk lingkaran yang terang benderang. Sementara itu, dari balik kegelapan, Lotar, Harley, Face, Solomon dan bawahannya bersembunyi di balik pepohonan besar, mata mereka fokus memantau setiap gerakan pemuja Iblis. Wajah mereka tegang, penuh konsentrasi, tangan mereka memegang senjata yang siap digunakan.Lotar, memberi isyarat untuk mendekat. Dia berbisik, "Sekarang atau tidak sama sekali." Mereka mengangguk, mengerti akan tugas yang harus dilakukan. Perlahan, mereka bergerak keluar dari persembunyian, mengatur langkah agar tidak mengundang perhatian.Solomon, dengan pisau panjang di tangannya, memimpin langkah. Harley dan Face mengikuti di belakang, sementara Lotar bergerak melingkar, mencari sudut yang lebih baik untuk menyerang. Mereka mendekat,