Seminggu telah berlalu, dan markas Quantix yang dulunya dingin dan kasar kini perlahan bertransformasi. Lantai beton kini dibungkus karpet abu-abu tua yang menyerap gema, pencahayaan industrial digantikan oleh lampu LED yang lebih lembut, dan setiap sudut ruangan mulai menunjukkan karakter.
Whiteboard penuh coretan, deretan server mini, dan aroma kopi yang tak pernah berhenti dari pojok dapur kecil. Hanya beberapa detail akhir yang belum rampung. Tapi markas itu sudah bernapas, siap menampung ambisi yang lebih besar dari ukurannya.
Surat balasan Clara telah dikirim tiga hari sebelumnya. Isinya tajam, dingin, tepat sasaran, dan penuh ancaman balasan hukum. Tidak ada bahasa basa-basi. Hanya hukum, data, dan retorika korporat yang dibungkus dengan keanggunan logika. Untuk sesaat, atmosfer di markas Quantix dipenuhi rasa puas. Seperti seorang pejuang yang ber
Keheningan yang menggantung di markas Quantix terasa seperti dinding tak kasatmata yang perlahan menyesakkan dada. Semua orang memandang ke arah Raven, menunggu. Beberapa dengan tatapan bingung, yang lain dengan sorot curiga.Raven berdiri tegak, tangannya menyilang di dada. Di balik sorot matanya yang tajam, pikirannya berkelindan liar. Ia tahu ini gila. Ia tahu, dari sudut pandang siapa pun, rencananya akan terdengar sembrono, jika tidak nekat.Dia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara datar yang sulit ditebak emosinya."Ini bukan sesuatu yang lain," ucapnya pelan. "Ini adalah efisiensi. Kenapa kita harus memenangkan sepuluh pertempuran kecil kalau kita bisa mengakhiri perang dengan satu pertempuran besar?"Clara mendongak dari kursi sebelah
Sorak-sorai di markas Quantix mulai mereda, meninggalkan ruang terbuka yang dipenuhi napas lega dan tawa kecil yang tersisa. Para anggota tim masih berdiri berkelompok, mengangkat gelas kopi dingin mereka dengan semangat, merayakan keberhasilan yang baru saja dicapai. Di dinding besar, grafik pertumbuhan dan indeks pujian dari media menghiasi layar—bukti kemenangan yang layak dibanggakan.Tapi Raven berdiri sedikit menjauh, di sisi ruang kerja yang tak terlalu terang. Ponselnya ada di genggaman, dan sorot matanya tidak memantul kemeriahan yang sama. Layar ponsel memancarkan cahaya tipis yang menyorot wajahnya yang berubah tegang. Di sana, hanya ada satu pesan, terenkripsi, tanpa nama pengirim, hanya susunan karakter acak sebagai alamat."Prolog yang bagus. Aku menantikan pertunjukan selanjutnya."Kalimat pendek itu terasa tajam. Tidak jelas apakah itu pujian atau peringatan. Tapi bagi Raven, tidak ada yang samar. Ezio sedang menonton. Entah dari mana, entah sejak kapan, dan entah seja
Suasana di kantor pusat CyberShield mendidih dalam diam. Pendingin ruangan tidak cukup menurunkan suhu di ruangan Radja yang mulai kehilangan kendali. Ia berdiri, membungkuk di atas meja marmer hitam yang bersih sempurna, lalu menghantamnya dengan telapak tangan.“Apa maksudmu mereka tidak memperpanjang kontrak dan pindah ke startup antah berantah?!” teriaknya ke kepala penjualan yang berdiri canggung, berkeringat di bawah cahaya lampu gantung yang terlalu terang.Valeria duduk di kursi kulitnya, membaca laporan fluktuasi saham harian di tablet dengan ekspresi datar. Tidak ada keterkejutan.“Sudah kubilang. Kita meremehkannya. Dia tidak akan tinggal diam, Radja,” ucapnya pelan, jenuh atas peringatan yang sudah ia ulang untuk kesekian kalinya.
“Dengar ini,” kata Clara, jarinya menekan sepotong teks pada layar tablet yang terpantul jelas ke layar besar. Semua anggota tim mencondongkan tubuh. “Dalam sesi pemeriksaan saksi kemarin, salah satu investor menyebut, dan ini kutipan langsung: ‘Radja bilang, satu-satunya cara menghentikan Raven adalah dengan mengikatnya di pengadilan, bukan dengan bersaing di pasar’.” Clara lalu memembuka sebuah file audio yang memutar persis kata-kata dari investor tersebut. Ruangan terdiam. Freya meletakkan laptopnya. Tirta yang sedang mengatur kabel berhenti. Bahkan Leo, yang biasanya sinis, mendekat dengan ekspresi baru.“Dia baru saja mengaku bahwa semua ini bukan karena kompetisi bisnis,” lanjut Clara, matan
Raven menunduk, membiarkan pikirannya berjalan lebih cepat dari detak jam dinding. Ada keraguan di matanya, karena ia tahu ini bukan medan yang ia kuasai. Ia menatap Freya, yang sekarang duduk dengan tangan disilangkan dan mata sayu. Leo, di sisi lain, masih berdiri, masih panas, masih menunggu aba-aba untuk menyerang balik."Bukannya ini justru bagus?" gumam Tirta, memecah keheningan. "Bisa bikin kita ngegas lebih cepat. Gak ada waktu buat melambat." Suaranya tenang, tapi jelas ada ketegangan yang coba ia bungkus dengan logika.Raven mengangkat wajahnya. Ia telah membuat keputusan. "Benar. Kita harus lawan," katanya, datar namun tegas. Ia menoleh ke arah Clara. "Tapi kita lawan dengan cara kita. Kau urus pertempuran di ruang sidang. Siapkan mereka. Latih mereka menjawab. Apapun yang perlu dilakukan, lakukan."Clara
Seminggu telah berlalu, dan markas Quantix yang dulunya dingin dan kasar kini perlahan bertransformasi. Lantai beton kini dibungkus karpet abu-abu tua yang menyerap gema, pencahayaan industrial digantikan oleh lampu LED yang lebih lembut, dan setiap sudut ruangan mulai menunjukkan karakter.Whiteboard penuh coretan, deretan server mini, dan aroma kopi yang tak pernah berhenti dari pojok dapur kecil. Hanya beberapa detail akhir yang belum rampung. Tapi markas itu sudah bernapas, siap menampung ambisi yang lebih besar dari ukurannya.Surat balasan Clara telah dikirim tiga hari sebelumnya. Isinya tajam, dingin, tepat sasaran, dan penuh ancaman balasan hukum. Tidak ada bahasa basa-basi. Hanya hukum, data, dan retorika korporat yang dibungkus dengan keanggunan logika. Untuk sesaat, atmosfer di markas Quantix dipenuhi rasa puas. Seperti seorang pejuang yang ber