Home / Urban / Kebangkitan Sang Raja Teknologi / Bab 4. Pada Malam Yang Berencana

Share

Bab 4. Pada Malam Yang Berencana

Author: KiraYume
last update Last Updated: 2025-07-26 10:44:57

Kafe itu sempit, cahaya lampunya lembut dan redup. Seorang barista berambut cepak melirik Raven sebentar, lalu kembali meracik. Tak ada musik, hanya denting sendok dan bisik-bisik yang tak ingin didengar. Raven duduk memunggungi jendela, hoodie-nya ditarik setengah menutup kepala. Di depannya, kopi hitam setengah dingin, tidak disentuh sejak dipesan. 

Tirta datang tak lama kemudian. Jaketnya terbuka, napasnya sedikit tersengal. Ia duduk tanpa salam, langsung merunduk sedikit, menatap Raven dengan mata merah.

“Gila. Semuanya gila, Rave,” bisiknya, “Gue ga pernah lihat kantor sekosong itu. Mereka semua... ngilang dalam sekejap.”

Raven mengangguk pelan, mengeluarkan ponselnya, menunjukkan satu headline dari portal berita teknologi lokal.

Restrukturisasi Berani: CyberShield Tunjuk CEO Baru dan Ganti Tim R&D Inti.

“Gue tahu, lihat beritanya. Hebat banget judulnya. Berani,” ujar Raven, nada suaranya datar, hampir geli. “Berani berkhianat.”

Tirta tertawa pendek, hambar. “Tapi puas banget sih pas lihat Leo hajar muka Radja. Lo tau, itu detik-detik terbaik selama gue kerja di sana. Dan Freya langsung keluar, ninggalin ID-nya di depan Valeria. Sekarang? Setengah lab kosong, dan dia nyuruh gue cari ‘anak-anak lapar’. Hah! Emang gue pikirin.” 

“Gue udah duga,” jawab Raven pelan. 

Tirta menyandarkan punggung ke kursi. “Tapi kenapa lo keliatan tenang banget? Lo kayak biasa-biasa aja, padahal harusnya lo yang paling menderita sekarang.”

Raven menatap matanya. Tak tersenyum, tak berkedip.

“Karena saat mereka masih hura-hura merayakan kemenangan, gue udah pasang bom waktu di jantung CyberShield, Ta. Mereka amatir, mereka lupa kalau semua programmer pasti punya backdoor. Dan kalau mereka gak sadar dalam dua minggu ke depan… semua bakal…boom!” Raven melakukan gestur ledakan dengan jari-jarinya.

Tirta diam. Lama. Matanya menyipit, mencoba membaca apakah ini gurauan. Tapi dia mengenal Raven terlalu lama untuk tahu, kalimat barusan bukan bualan. Itu fakta.

“Lo serius?” suaranya rendah, hampir tertelan bunyi mesin espresso di belakang.

Raven mengangguk sekali. “Bomnya gak langsung meledak. Terlalu mudah buat mereka. Efeknya baru akan kelihatan nanti, pelan-pelan. Enkripsi rusak, data kacau. Mereka bakal mikir sistemnya glitch. Dan saat mereka sadar…”

“…terlambat,” sambung Tirta, nyaris tanpa sadar.

Raven mencondongkan tubuhnya. “Tugas lo sekarang adalah satu, jangan keluar. Tetap di dalam. Biarin mereka pikir lo jinak. Tapi mata lo harus terbuka terus. Gue butuh lo kasih kabar kalo sistem mulai reaktif.”

Tirta mengangguk perlahan, lalu menghembuskan napas panjang. “Rasanya... gila banget ya. Kita dulu cuma pengen bikin sistem yang bisa nyelamatin orang dari kebocoran data. Sekarang... kita malah siap ngancurin semua dari dalem.”

“Tapi itu belum semuanya, CyberShield akan tumbang dalam waktu kurang dari tiga bulan,” ujar Raven pelan. 

“Klien-klien besar mereka akan panik. Mereka akan butuh sistem pengganti yang bisa dipercaya. Dan kita... akan menyambut mereka.”

“Nyambut?” Tirta mengerutkan dahi. “Maksud lo... kita bakal gantiin CyberShield? Dengan apa, Rave? Tunggu… Jangan-jangan lo ….”

Raven beralih ke jendela program lainnya. Tangannya menekan beberapa shortcut dan layar pun menampilkan diagram sebuah arsitektur sistem yang sangat berbeda dengan CyberShield, tapi rapi. Terlihat seperti blueprint campuran antara sesuatu yang futuristik dan mustahil.

“Ini yang lagi gue bangun. Proyek ‘Quantum Matrix’. Ini bukan upgrade dari CyberShield. Bukan CyberShield 2.0, atau CyberShield Perjuangan, atau apalah. Ini revolusi, Gue mau bikin sesuatu yang bener-bener beda dari bawah.” katanya sambil menunjuk alur enkripsi kompleks yang saling bertaut.

Tirta mencondongkan tubuh. Matanya menyusuri satu per satu node dalam diagram itu, matanya membesar. “Ini … AI Engine?! Lo beneran mau bikin AI dengan … Enkripsi Kuantum? Verifikasi multi-lapis pake blockchain? Tunggu, ini gila! Teorinya aja masih... di level konsep, Rave. Bahkan paper-papernya aja masih saling bantah.”

“Gue gak perlu nunggu paper mereka,” potong Raven. “Gue bakal bikin jalannya sendiri.”

“Rave, lo ngerti ini butuh sumber daya gila, kan? Server, cloud, tenaga ahli, funding. Kita bukan Elon Musk, bro,” desak Tirta, tapi matanya justru berbinar. Otaknya sedang bekerja, sangat cepat. Ada bagian dari dirinya yang takut, tapi sisanya... terangsang oleh tantangan.

Raven tersenyum kecil, menunjuk ke bagian lain dari kode. “Prototype-nya udah bisa jalan. Masih mentah, tapi stabil. Makanya gue berani, dan gue butuh kalian buat bantu ngembanginnya.”

“Tapi tetep aja … kita gak punya server, gak punya kantor, bahkan gak punya nama buat narik investor,” kata Tirta, setengah tertawa. “Tapi... lo yakin kita bisa mulai?”

“Kita punya sesuatu yang lebih berharga dari semua itu,” jawab Raven tanpa ragu. “Kita punya otaknya. Kita punya dendam. Kita punya bahan bakarnya, dendam orang-orang yang pernah bikin CyberShield berdiri dari nol. Dan sekarang, mereka bebas. Baru saja ditendang keluar tanpa rasa hormat.”

Hening menyelimuti meja. Hanya suara alat barista dan hujan samar di luar jendela yang jadi latar. Tirta bersandar ke sandaran kursi, matanya menatap ke langit-langit sejenak. Lalu ia menyenderkan siku di meja, jemarinya menyentuh dagu.

“Dulu, gue pikir kita gak bakal pernah bisa nyaingin CyberShield. Sekarang...” katanya terputus.

Ia menatap lurus ke mata Raven. Tak ada lagi sisa keraguan di sana. Hanya keyakinan yang menyala. “Jadi... kapan kita mulai, Bos?”

Senyum pertama yang benar-benar tulus terbit di wajah Raven. Bukan senyum sinis, bukan cemoohan. Tapi senyum yang datang dari dalam.

“Kita kumpulkan timnya dulu,” jawabnya. “Gue butuh lo. Butuh Leo. Butuh Freya.”

Ia berhenti sejenak, pikirannya memindai satu sosok yang sempat ia lupakan karena terlalu larut dalam strategi teknis.

Dan sebelum ia bisa menyebutkan nama itu, Tirta sudah bersuara, hampir bersamaan dengannya.

“Clara.”

“Clara,” ulang Raven. Keduanya saling pandang, mengangguk pelan. Sosok itu bukan hanya penting—dia adalah potongan terakhir yang akan membuat mesin ini bergerak.

Mata Tirta masih menatap struktur itu, nyaris tak berkedip.

“Lo dapet semua ide ini dari mana?” bisiknya, lebih ke dirinya sendiri.

Raven menutup laptopnya perlahan, menghembuskan napas panjang. “Anggap aja ... Gue dapat inspirasi dari…” ia menghela nafas panjang, “Langit.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (11)
goodnovel comment avatar
Hana Ryuuga
seru, makin penasaran sama kelanjutannya
goodnovel comment avatar
Mita Yoo
Raven keren
goodnovel comment avatar
Syafitri Wulandari
apakah Clara kunci utamanya? Penasaran bnget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 112. Kembali Berperang

    Mayjen Arman menarik napas panjang, punggungnya merapat ke sandaran kursi, pandangannya tak lepas dari layar yang sebentar tadi dipenuhi badai merah. Dua puluh menit yang brutal itu menunjukkan node demi node runtuh. Di wajahnya terbaca kepenatan seorang komandan yang baru saja menyaksikan kekuatan yang tak dia sangka ada. Ia mengangkat tangan, lambang menyerah yang tegas.“Cukup,” katanya, suaranya datar namun mengandung hormat. “Saya belum pernah melihat pertahanan seadaptif ini. Selamat, Tuan Adyatma. Kami sekarang memahami kemampuan Genesis. Sangat impresif.”Ruangan meledak dalam bisik, sebuah pengakuan yang berat. Para jenderal menukar pandang, beberapa menunduk, sebagian lain menatap Raven dengan kombinasi takjub dan kewaspadaan. Mayjen menatap layar, lalu memerintahkan ke terminalnya dengan gerakan singkat.

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 111. Yang Menyerang Dan Yang Bertahan

    Suasana di ruang rapat kini seperti medan perang. Tidak ada yang berbicara. Hanya wajah-wajah tegang dan serius yang dingin. Ini bukan lagi presentasi bisnis, ini menjadi duel kehormatan antara startup yang baru lahir dan kekuatan militer negeri itu.Raven berdiri tegak di tengah ruangan, tenang. “Kami siap, Jenderal,” katanya datar. “Silakan serang kami kapan saja, dengan cara apa pun.”Ia menatap Freya yang duduk di konsol presentasi. Satu anggukan kecil darinya adalah sebuah sinyal untuk menyalakan protokol pertahanan langsung.Jauh dari tempat itu, di bunker Quantix, Leo dan Tirta memantau layar mereka dengan napas tertahan. Barisan log berkedip cepat, angka melonjak seperti denyut jantung yang semakin cepat. “Kontak terdeteksi,” gumam Leo. “Mereka mulai dengan exploit zero-day... kayaknya mereka baru pemanasan. Tapi Ini benar-benar dilakukan oleh militer, kita tak boleh meremehkannya Tirta.” “Ya,” balas Tirta, matanya terpaku pada grafik. “Pemanasan mereka tak akan lama.”Kembal

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 110. Mereka Menguji

    Di layar, AI Genesis mulai bergerak. Tapi tidak seperti sistem pertahanan konvensional yang biasanya hanya memblokir serangan, Genesis melakukan sesuatu yang sepenuhnya berbeda, dan tak terduga.Visualisasi data di monitor berubah cepat. Alih-alih hanya memblokir serangan, jaringan biru Genesis membentuk pola-pola dinamis yang tampak hidup. Serangan yang berupa visual titik merah masih datang bertubi-tubi, namun Genesis tidak hanya menahan, ia belajat. Setiap detik yang berlalu membuat sistem itu semakin cepat, semakin cerdas, semakin adaptif.“Genesis tidak seperti sistem pertahanan lain yang hanya bertugas menjadi defender,” kata Raven dengan tenang, suaranya menembus kesunyian ruang rapat yang kini penuh dengan wajah-wajah serius. “Dia bisa, dan akan, menyerang balik.”Freya menambahkan perintah kecil dari tabletnya. Seketika, di layar besar, tampak bagaimana Genesis menelusuri arus serangan, memetakan asal setiap gelombang data berbahaya, menyatukan titik-titik itu ke satu simpul

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 109. Lain Daripada Yang Lain

    Ruangan presentasi itu bagaikan arena pengadilan, hanya saja para hakimnya mengenakan seragam militer dan setelan birokrasi. Kayu gelap yang melapisi dinding, bendera negara yang menjulang di belakang podium, dan tatapan dingin para jenderal serta pejabat intelijen menciptakan atmosfer yang kaku, tak memberi ruang untuk kesalahan.Di tengah meja berbentuk U, Valeria berdiri penuh percaya diri. Suaranya mengalun tenang namun penuh penekanan, setiap kata seperti diukir untuk menenangkan rasa cemas para pengambil keputusan. Ia berbicara tentang rekam jejak CyberShield. Di sudut meja, Kinar duduk sedikit terpisah. Tidak ikut mengangguk, tidak ikut mengernyit. Wajahnya netral, mata tajamnya mencatat setiap detail. Hanya keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat Valeria menimbang kata-katanya dengan lebih hati-hati.Sementara itu, di ruang tunggu, Raven duduk tegak dengan ekspresi yang tak terbaca. Clara sibuk merapikan catatan, memastikan tidak ada satu pun detail yang terlewat. Freya

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 108. Jiwa-Jiwa Siap Tempur

    Di bunker, malam itu udara dipenuhi ketegangan. Layar-layar monitor menampilkan berbagai versi antarmuka Genesis, dari mockup kasar hingga simulasi real-time.Freya menekan keyboard keras-keras. “Kalau kita sederhanakan terlalu jauh, kita kehilangan konteks! Data detail itu penting. Bagaimana kalau sistem salah interpretasi? Pengguna harus bisa melihat lapisan dalamnya kalau perlu.”Raven melangkah cepat ke meja, menunjuk layar dengan telunjuk tajam. “Freya, kamu masih berpikir seperti engineer. Klien kita nanti bukan engineer. Seorang jenderal tidak peduli pada kompleksitas algoritma! Dia hanya perlu tahu di mana ancamannya, dan tombol mana yang harus ditekan untuk menghancurkannya!”“Dan kalau tombol itu salah ditekan karena tidak ada data pendukung?” balas Freya dengan nada meninggi. “Kamu pikir itu tidak lebih berbahaya? Aku tidak mau Genesis jadi senjata buta hanya karena kita sibuk bikin tampilan cantik!”Suasana membara, Tirta bahkan menahan napas, khawatir kedua rekannya aka

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 107. Perhatian Kecil

    Tiga bulan terasa seperti tiga minggu. Bunker Quantix kehilangan wajah lamanya. Dinding-dindingnya yang tadinya kosong kini penuh dengan catatan, diagram, dan coretan-coretan strategi. Lantai dipenuhi kabel, tumpukan kardus makanan cepat saji, dan cangkir kopi bekas yang berjejer seperti trofi perang. Lampu neon yang terus menyala siang dan malam membuat semua orang kehilangan ritme tidur. Waktu melebur; hanya ada pekerjaan, target, dan detak jam yang terdengar lebih keras setiap harinya.Clara berada di tengah-tengah medan perang birokrasi. Dia sudah tak lagi terlihat seperti eksekutif startup, melainkan seorang diplomat yang harus menyeimbangkan logika dan pesona. Hari-harinya penuh dengan rapat virtual, panggilan telepon yang tak ada habisnya, dan pertemuan dengan pejabat pemerintah yang terlalu terbiasa dengan perusahaan besar. Berkali-kali ia harus menjelaskan ulang, siapa Quantix, dari mana mereka berasal, dan kenapa mereka layak dipercaya.Suatu sore yang panjang, Clara duduk b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status