Kafe itu sempit, cahaya lampunya lembut dan redup. Seorang barista berambut cepak melirik Raven sebentar, lalu kembali meracik. Tak ada musik, hanya denting sendok dan bisik-bisik yang tak ingin didengar. Raven duduk memunggungi jendela, hoodie-nya ditarik setengah menutup kepala. Di depannya, kopi hitam setengah dingin, tidak disentuh sejak dipesan.
Tirta datang tak lama kemudian. Jaketnya terbuka, napasnya sedikit tersengal. Ia duduk tanpa salam, langsung merunduk sedikit, menatap Raven dengan mata merah.
“Gila. Semuanya gila, Rave,” bisiknya, “Gue ga pernah lihat kantor sekosong itu. Mereka semua... ngilang dalam sekejap.”
Raven mengangguk pelan, mengeluarkan ponselnya, menunjukkan satu headline dari portal berita teknologi lokal.
Restrukturisasi Berani: CyberShield Tunjuk CEO Baru dan Ganti Tim R&D Inti.
“Gue tahu, lihat beritanya. Hebat banget judulnya. Berani,” ujar Raven, nada suaranya datar, hampir geli. “Berani berkhianat.”
Tirta tertawa pendek, hambar. “Tapi puas banget sih pas lihat Leo hajar muka Radja. Lo tau, itu detik-detik terbaik selama gue kerja di sana. Dan Freya langsung keluar, ninggalin ID-nya di depan Valeria. Sekarang? Setengah lab kosong, dan dia nyuruh gue cari ‘anak-anak lapar’. Hah! Emang gue pikirin.”
“Gue udah duga,” jawab Raven pelan.
Tirta menyandarkan punggung ke kursi. “Tapi kenapa lo keliatan tenang banget? Lo kayak biasa-biasa aja, padahal harusnya lo yang paling menderita sekarang.”
Raven menatap matanya. Tak tersenyum, tak berkedip.
“Karena saat mereka masih hura-hura merayakan kemenangan, gue udah pasang bom waktu di jantung CyberShield, Ta. Mereka amatir, mereka lupa kalau semua programmer pasti punya backdoor. Dan kalau mereka gak sadar dalam dua minggu ke depan… semua bakal…boom!” Raven melakukan gestur ledakan dengan jari-jarinya.
Tirta diam. Lama. Matanya menyipit, mencoba membaca apakah ini gurauan. Tapi dia mengenal Raven terlalu lama untuk tahu, kalimat barusan bukan bualan. Itu fakta.
“Lo serius?” suaranya rendah, hampir tertelan bunyi mesin espresso di belakang.
Raven mengangguk sekali. “Bomnya gak langsung meledak. Terlalu mudah buat mereka. Efeknya baru akan kelihatan nanti, pelan-pelan. Enkripsi rusak, data kacau. Mereka bakal mikir sistemnya glitch. Dan saat mereka sadar…”
“…terlambat,” sambung Tirta, nyaris tanpa sadar.
Raven mencondongkan tubuhnya. “Tugas lo sekarang adalah satu, jangan keluar. Tetap di dalam. Biarin mereka pikir lo jinak. Tapi mata lo harus terbuka terus. Gue butuh lo kasih kabar kalo sistem mulai reaktif.”
Tirta mengangguk perlahan, lalu menghembuskan napas panjang. “Rasanya... gila banget ya. Kita dulu cuma pengen bikin sistem yang bisa nyelamatin orang dari kebocoran data. Sekarang... kita malah siap ngancurin semua dari dalem.”
“Tapi itu belum semuanya, CyberShield akan tumbang dalam waktu kurang dari tiga bulan,” ujar Raven pelan.
“Klien-klien besar mereka akan panik. Mereka akan butuh sistem pengganti yang bisa dipercaya. Dan kita... akan menyambut mereka.”
“Nyambut?” Tirta mengerutkan dahi. “Maksud lo... kita bakal gantiin CyberShield? Dengan apa, Rave? Tunggu… Jangan-jangan lo ….”
Raven beralih ke jendela program lainnya. Tangannya menekan beberapa shortcut dan layar pun menampilkan diagram sebuah arsitektur sistem yang sangat berbeda dengan CyberShield, tapi rapi. Terlihat seperti blueprint campuran antara sesuatu yang futuristik dan mustahil.
“Ini yang lagi gue bangun. Proyek ‘Quantum Matrix’. Ini bukan upgrade dari CyberShield. Bukan CyberShield 2.0, atau CyberShield Perjuangan, atau apalah. Ini revolusi, Gue mau bikin sesuatu yang bener-bener beda dari bawah.” katanya sambil menunjuk alur enkripsi kompleks yang saling bertaut.
Tirta mencondongkan tubuh. Matanya menyusuri satu per satu node dalam diagram itu, matanya membesar. “Ini … AI Engine?! Lo beneran mau bikin AI dengan … Enkripsi Kuantum? Verifikasi multi-lapis pake blockchain? Tunggu, ini gila! Teorinya aja masih... di level konsep, Rave. Bahkan paper-papernya aja masih saling bantah.”
“Gue gak perlu nunggu paper mereka,” potong Raven. “Gue bakal bikin jalannya sendiri.”
“Rave, lo ngerti ini butuh sumber daya gila, kan? Server, cloud, tenaga ahli, funding. Kita bukan Elon Musk, bro,” desak Tirta, tapi matanya justru berbinar. Otaknya sedang bekerja, sangat cepat. Ada bagian dari dirinya yang takut, tapi sisanya... terangsang oleh tantangan.
Raven tersenyum kecil, menunjuk ke bagian lain dari kode. “Prototype-nya udah bisa jalan. Masih mentah, tapi stabil. Makanya gue berani, dan gue butuh kalian buat bantu ngembanginnya.”
“Tapi tetep aja … kita gak punya server, gak punya kantor, bahkan gak punya nama buat narik investor,” kata Tirta, setengah tertawa. “Tapi... lo yakin kita bisa mulai?”
“Kita punya sesuatu yang lebih berharga dari semua itu,” jawab Raven tanpa ragu. “Kita punya otaknya. Kita punya dendam. Kita punya bahan bakarnya, dendam orang-orang yang pernah bikin CyberShield berdiri dari nol. Dan sekarang, mereka bebas. Baru saja ditendang keluar tanpa rasa hormat.”
Hening menyelimuti meja. Hanya suara alat barista dan hujan samar di luar jendela yang jadi latar. Tirta bersandar ke sandaran kursi, matanya menatap ke langit-langit sejenak. Lalu ia menyenderkan siku di meja, jemarinya menyentuh dagu.
“Dulu, gue pikir kita gak bakal pernah bisa nyaingin CyberShield. Sekarang...” katanya terputus.
Ia menatap lurus ke mata Raven. Tak ada lagi sisa keraguan di sana. Hanya keyakinan yang menyala. “Jadi... kapan kita mulai, Bos?”
Senyum pertama yang benar-benar tulus terbit di wajah Raven. Bukan senyum sinis, bukan cemoohan. Tapi senyum yang datang dari dalam.
“Kita kumpulkan timnya dulu,” jawabnya. “Gue butuh lo. Butuh Leo. Butuh Freya.”
Ia berhenti sejenak, pikirannya memindai satu sosok yang sempat ia lupakan karena terlalu larut dalam strategi teknis.
Dan sebelum ia bisa menyebutkan nama itu, Tirta sudah bersuara, hampir bersamaan dengannya.
“Clara.”
“Clara,” ulang Raven. Keduanya saling pandang, mengangguk pelan. Sosok itu bukan hanya penting—dia adalah potongan terakhir yang akan membuat mesin ini bergerak.
Mata Tirta masih menatap struktur itu, nyaris tak berkedip.
“Lo dapet semua ide ini dari mana?” bisiknya, lebih ke dirinya sendiri.
Raven menutup laptopnya perlahan, menghembuskan napas panjang. “Anggap aja ... Gue dapat inspirasi dari…” ia menghela nafas panjang, “Langit.”
Langit di luar masih berwarna baja kusam ketika pintu loteng terbuka. Udara pagi yang dingin menyusup masuk lewat celah jendela tinggi yang belum tertutup tirai. Loteng ini adalah milik seorang teman lama Raven yang kini bekerja di Eropa, dan dengan satu panggilan singkat, kunci dan akses diberikan tanpa banyak tanya. Ia menyukai ruang ini. Cukup besar, sempurna untuk membangun sesuatu dari awal.Di tengah ruangan, Raven berdiri dengan satu tangan di saku, secangkir kopi hitam mengepul di tangan satunya. Kalimat terakhir Ezio malam itu terus bergema dalam benaknya."Organisasi gelap bernama dominion juga menginginkan NexusCore.”Beberapa menit kemudian, suara-suara ramai terdengar dari tangga. Tirta muncul lebih dulu, membawa seikat blueprint gu
“Raven Adyatama,” ucap Ezio, menyebut namanya dengan pelan, seolah menimbang tiap suku kata. “Aku sudah menunggumu. Lumayan butuh waktu lama ya… sejak kau menemukan USB itu?”Napas Raven terpotong sejenak. Tenggorokannya kering. “Kau… kenal aku?”Ezio tidak menjawab langsung. Ia hanya menundukkan kepala sedikit.“Duduklah, Raven,” katanya kemudian. Tidak ada jabat tangan, tidak ada sapaan hangat. Hanya satu gerakan dagu, cukup untuk menunjukkan posisi kekuasaan yang tidak perlu dibuktikan lagi.Raven duduk, perlahan, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Matanya mencari-cari celah pada wajah Ezio, ekspresi yang mungkin memberi petunjuk tentang apa sebenarnya yang sedang ia hadapi. Tapi yang ia lihat hanya ketenangan mutlak.
Empat Puluh Delapan Jam Sebelumnya.Kamar hotel itu masih sama pengap dan sempitnya. Raven duduk di kursi plastik yang keras, tubuhnya membungkuk ke arah laptop yang sudah panas di meja. Kipas pendingin berputar terengah, ikut gelisah. Di layar, diagram arsitektur sistem NexusCore memenuhi sebagian besar jendela kerja. Ratusan garis koneksi digital menyilang, menghubungkan protokol, subnet, dan lapisan-lapisan keamanan yang saling menindih.Raven mengetik beberapa baris kode, lalu berhenti. Sebuah firewall di tengah arsitektur itu menolak semua perintahnya. Proteksinya tidak hanya menahan, tapi bereaksi. Ia sudah mencoba tiga metode penetrasi dalam dua jam terakhir, tapi semua gagal. Yang menghalanginya bukan sistem biasa. Ini buatan tangan yang sangat lihai. Terlalu tangguh untuk dibebankan pada laptopnya.Pandangan Raven jatuh ke meja
Raven duduk dengan punggung tegak di dalam sebuah jazz club, telapak tangan bertaut di atas meja, menunggu seseorang. Kali ini bukan pertemuan untuk membangun kembali persahabatan. Ini adalah diplomasi, dengan musuh yang masih membawa bendera lawan.Clara datang dengan anggun. Penampilannya memang selalu sempurna. Gaun hitamnya sederhana namun mengiris pandangan, rambutnya terikat rapi. Tidak ada tanda bahwa ia baru saja keluar dari kubangan krisis. Tidak satu kerut pun di wajahnya. Dia kemudian duduk tanpa basa-basi, meletakkan clutch-nya di samping dan memanggil pelayan. “Teh hijau, tidak terlalu panas.”Matanya langsung menusuk Raven. “Kau mengambil risiko besar dengan menghubungiku Raven. Kau pikir aku tak akan membocorkan semuanya ke Radja?”“Benar. Tapi kau tak akan melakukannya. Lagipula risiko terbesar adalah hanya berdiam diri dan tidak bertindak,” jawab Raven, matanya tidak berkedip. “Aku tahu apa yang terjadi di dalam CyberShield. Aku tahu dia sedang dalam masalah. Dan aku
Sasana itu panas dan lembap. Lampu neon menggantung rendah, berkelip seolah nyaris padam. Setiap pukulan yang menghantam samsak terdengar seperti dentuman kecil dalam ruang gema. Suasana ini bertolak belakang dengan keheningan akademik di perpustakaan IIT siang tadi.Raven berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan yang penuh dengan aura testosteron. Leo ada di tengah, kaosnya basah, tangannya dililit perban putih yang sudah berubah warna. Pukulan-pukulannya presisi, cepat, dan brutal. Sansak terguncang, rantainya mengerang.Leo berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Ia tak menoleh, hanya melihat bayangan Raven dari cermin dinding yang retak di ujung. “Mau ikut latihan?” tanyanya, datar, sambil melanjutkan pukulan.“Gue nggak suka kekerasan,” sahut Raven pelan, melangkah lebih dalam.“Heh. Itulah masalah lo,” kata Leo sambil mengayunkan hook kanan yang menghentak. “Mungkin karena itu Valeria ninggalin lo. Lo terlalu lemah.”Raven menggertakkan gigi. Urat di pelipisnya me
International Institute of Technology berdiri seperti biasa, megah dalam kesunyiannya. Kaca-kaca biru pada fasad bangunannya memantulkan langit mendung sore itu. Dulu, lorong ini dipenuhi ambisi dan mimpi. Sekarang, ia kembali bukan sebagai mahasiswa, bukan juga sebagai CEO. Tapi sebagai seseorang yang sedang membangun ulang dirinya dari kehancuran.Perpustakaan utama IIT masih terasa sakral. Rak-rak tinggi menyimpan koleksi jurnal dan buku langka, sementara bilik-bilik individual disusun rapi bagai altar untuk para pemuja ilmu. Aroma khas lembaran tua bercampur dengan jejak elektronik dari sistem server di ruang bawah tanahnya, menciptakan atmosfer yang nyaris tidak tersentuh waktu.Tatapan Raven terhenti di sebuah sudut yang dulunya jarang ia perhatikan: Wall of Legend. Deretan foto para alumni yang pernah mencetak sejarah terpampang di sana. Tapi hanya satu wajah yang mendominasi. Seorang pemuda kurus, rahangnya tajam, dan mata yang menatap ke kamera seolah bisa menembus apa pun. S