Home / Urban / Kebangkitan Sang Raja Teknologi / Bab 5. Hukum Dua Jenius

Share

Bab 5. Hukum Dua Jenius

Author: KiraYume
last update Last Updated: 2025-07-26 10:46:30

International Institute of Technology berdiri seperti biasa, megah dalam kesunyiannya. Kaca-kaca biru pada fasad bangunannya memantulkan langit mendung sore itu. Dulu, lorong ini dipenuhi ambisi dan mimpi. Sekarang, ia kembali bukan sebagai mahasiswa, bukan juga sebagai CEO. Tapi sebagai seseorang yang sedang membangun ulang dirinya dari kehancuran.

Perpustakaan utama IIT masih terasa sakral. Rak-rak tinggi menyimpan koleksi jurnal dan buku langka, sementara bilik-bilik individual disusun rapi bagai altar untuk para pemuja ilmu. Aroma khas lembaran tua bercampur dengan jejak elektronik dari sistem server di ruang bawah tanahnya, menciptakan atmosfer yang nyaris tidak tersentuh waktu.

Tatapan Raven terhenti di sebuah sudut yang dulunya jarang ia perhatikan: Wall of Legend. Deretan foto para alumni yang pernah mencetak sejarah terpampang di sana. Tapi hanya satu wajah yang mendominasi. Seorang pemuda kurus, rahangnya tajam, dan mata yang menatap ke kamera seolah bisa menembus apa pun. Senyum tipisnya nyaris menyerupai ejekan.

"Ezio …" 

Tulisan di bawah foto itu terbaca jelas:

Ezio. Penerima penghargaan ganda, Singularity Award & Celestial Award. Satu-satunya sepanjang sejarah IIT.

Ia menghilang beberapa minggu setelah malam penganugerahan. Tidak ada jejak digital. Tidak ada alamat. Beberapa dosen menyebutnya jenius paling liar yang pernah lahir dari institusi ini. Orang yang bisa membuat Raven mengidolakannya hanya dari cerita.

Raven belum sempat menenggelamkan diri dalam nostalgia ketika sebuah suara menyentak perhatiannya.

“Terlambat lima menit, Adyatama. Rekor baru untukmu.”

Freya Adeline berdiri di depan rak, menyilangkan tangan, menatapnya seperti seorang jaksa dalam ruang sidang. Rambutnya digulung rapi menonjolkan wajah manisnya, kemeja putihnya terlihat sederhana namun pas. Sorot matanya tajam, terlalu tajam untuk ukuran kampus yang damai.

“Kampusnya luas, Freya. Udah lama aku ga kesini, jadi sedikit…tersesat,” jawab Raven, tanpa menoleh. Ia masih menatap foto Ezio.

Freya mengangkat satu alis. “haha … so funny, Raven,” tawanya sarkastik.

Raven akhirnya berbalik. “Aku harus naik bus, Freya. Seseorang merebut perusahaanku, ingat?”

Mereka mulai berjalan perlahan menuju sudut ruangan, tempat biasa mahasiswa S3 berdiskusi atau merencanakan kudeta akademis atas teori lama. Freya melempar pandangan ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang menguping.

"Kenapa kamu ngajak aku ketemu di sini?" tanyanya.

"Karena aku tahu kamu pasti suka kesini, dan aku butuh … kamu …? " jawab Raven. "Tepatnya, aku butuh logikamu."

Freya duduk dengan elegan di kursi kayu bersandaran tinggi, menarik napas panjang, lalu membuka map tipis dari tasnya. Beberapa lembar kertas ia keluarkan dan letakkan di antara mereka, satu demi satu.

“Langsung saja,” ucapnya, nada suara datar tapi terdengar nyaris sarkastik. “Ini daftar dari beberapa headhunter yang masuk minggu ini. NexaCorp Singapura, gaji enam digit dolar. Oracle Valley, mereka ingin aku jadi kepala riset untuk pengembangan Quantum Resilient Network. Masih banyak lagi, kalau kamu tertarik baca CV-ku.”

Raven melirik sekilas pada lembaran-lembaran itu, lalu mengangkat wajahnya. Tatapannya tenang, tapi tak ada senyum.

“Aku tahu kau nggak akan pernah kekurangan tawaran, Freya,” katanya pelan. “Aku juga tahu aku nggak bisa menyaingi angka-angka itu. Aku nggak datang untuk adu gaji.”

Freya menyandarkan punggung, tangan bersilang di depan dada. “Lalu untuk apa kau buang-buang waktuku? Nostalgia? Aku sudah move on, Raven. Ferrari-ku di parkiran oli-nya mahal, tahu. Aku ga punya waktu buat hal sentimentil.”

Nada bicaranya tajam, kalkulatif. Tapi Raven tahu itu kulit keras yang dibentuk oleh pengkhianatan dan kekecewaan.

Raven tersenyum kecil, “Ferrari itu,” ucapnya pelan, “kau beli dari bonus akhir tahun yang kita rancang sama-sama tiga tahun lalu. Dari proyek RavenLock, ingat? Yang katanya ‘ga akan jalan tanpa algoritma gila si brengsek Raven’.”

Freya menahan senyum, walau hanya sepersekian detik. Itu cukup.

Raven membuka laptop yang sejak tadi diam di depannya. Ia memutarnya pelan ke arah Freya. Bukan dashboard, bukan presentasi besar. Hanya layar terminal gelap dengan sebaris kode yang menari di dalamnya. Serangkaian bit, modul logika, dan pola hash yang saling mengunci dalam struktur non-linier.

“Ini... AI Engine?” gumam Freya, lebih ke dirinya sendiri.

“Bukan. Cuma pecahan kecilnya aja,” jawab Raven. “Aku butuh kau untuk memecahkannya logic-nya. Aku yakin cuma kau yang cukup sabar buat memahami algoritma ini.”

Tatapan Freya berubah. Dinginnya mulai retak. Matanya memindai layar, sekali, dua kali. Tangannya bergerak otomatis ke atas meja, jari-jarinya mengetuk pelan seolah mencoba menyusun irama kompleks dari pola yang ia lihat. Ia tidak menjawab. Tidak perlu. Raven tahu isyarat itu, Tatapan dari seorang jenius pada jenius lainnya yang menemukan tantangan yang layak.

“Ini... ini ga mungkin,” gumam Freya, setengah napas tertahan. Matanya tak beranjak dari layar. “Secara teoretis, ini butuh daya komputasi kuantum untuk dipecahkan. Dan sistem sekarang belum ada yang bisa … Darimana kamu mendapatkan ini?”

Raven menyilangkan tangan, matanya mengamati ekspresi wajah Freya yang pelan-pelan bergeser dari skeptis menjadi takjub. Ia tahu momen ini akan datang.

“Aku nggak mendapatkannya,” ujarnya pelan. “Aku membuatnya. Asal kau tau, prototype sederhananya sudah bisa running. Ini baru permukaannya. Bayangkan sebuah sistem penuh. Seluruh kerangka keamanan dibangun di atas fondasi itu.”

Freya menyandarkan punggung ke kursi. Bahunya rileks, tapi matanya tetap bekerja. Menimbang. Mencerna. Tak ada lagi sikap sinis atau olok-olok seperti tadi. Yang duduk di hadapan Raven sekarang bukan perempuan dengan gaji tinggi dan Ferrari merah, tapi seorang pemikir sejati yang tengah menghadapi kemungkinan luar biasa.

“Kau gila,” katanya pelan. tapi penilaian objektif dari seorang ilmuwan. “Kau ga punya uang. Ga punya tim. Ga punya akses hardware. Tapi mimpi bikin sesuatu sebesar ini?”

Raven menunjuk ke layar yang kini mulai meredup. Cahaya hijau terminal masih berdenyut pelan.

“Aku punya ini,” ucapnya. “Aku punya otakku. Aku punya Tirta. Dan aku punya dendam.”

Dia berhenti sebentar, lalu menatap Freya dalam.

“Aku berharap mendapatkanmu juga di tim ini. Perusahaan-perusahaan itu menawarkan gaji. Aku menawarkan kesempatan yang akan membuat semua yang pernah kita bangun di CyberShield atau kompetitor manapun terlihat seperti mainan anak-anak. Ini bukan CyberShield 2.0. Kau bisa mengubah dunia.”

Satu tarikan napas dalam. Satu langkah mundur. Raven menutup laptopnya perlahan. Klik kecil dari pengunci layar mengisi keheningan.

“Kamu ga perlu jawab sekarang. Aku masih harus bicara dengan Leo.” Dia mengambil tasnya, berdiri. “Pikirkan baik-baik. Tapi jangan terlalu lama.”

Dia baru saja berbalik, niatnya jelas untuk pergi. Tapi suara Freya menahannya. Ringan, datar, tapi tak bisa diabaikan.

“Tunggu.”

Raven menoleh. Pandangan mereka bertemu.

“Tunjukkan sisanya,” katanya pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (10)
goodnovel comment avatar
Hana Ryuuga
freya ft raven, boleh nih digabung
goodnovel comment avatar
Mita Yoo
masuk humornya Freya ...
goodnovel comment avatar
Puspa Usada
Raven nawarinnya bukan gaji, tapi REVOLUSI. Gila, cara ngerekrutnya elegan banget. Langsung nunjukkin tantangan yang gak bisa ditolak Freya. ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 112. Kembali Berperang

    Mayjen Arman menarik napas panjang, punggungnya merapat ke sandaran kursi, pandangannya tak lepas dari layar yang sebentar tadi dipenuhi badai merah. Dua puluh menit yang brutal itu menunjukkan node demi node runtuh. Di wajahnya terbaca kepenatan seorang komandan yang baru saja menyaksikan kekuatan yang tak dia sangka ada. Ia mengangkat tangan, lambang menyerah yang tegas.“Cukup,” katanya, suaranya datar namun mengandung hormat. “Saya belum pernah melihat pertahanan seadaptif ini. Selamat, Tuan Adyatma. Kami sekarang memahami kemampuan Genesis. Sangat impresif.”Ruangan meledak dalam bisik, sebuah pengakuan yang berat. Para jenderal menukar pandang, beberapa menunduk, sebagian lain menatap Raven dengan kombinasi takjub dan kewaspadaan. Mayjen menatap layar, lalu memerintahkan ke terminalnya dengan gerakan singkat.

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 111. Yang Menyerang Dan Yang Bertahan

    Suasana di ruang rapat kini seperti medan perang. Tidak ada yang berbicara. Hanya wajah-wajah tegang dan serius yang dingin. Ini bukan lagi presentasi bisnis, ini menjadi duel kehormatan antara startup yang baru lahir dan kekuatan militer negeri itu.Raven berdiri tegak di tengah ruangan, tenang. “Kami siap, Jenderal,” katanya datar. “Silakan serang kami kapan saja, dengan cara apa pun.”Ia menatap Freya yang duduk di konsol presentasi. Satu anggukan kecil darinya adalah sebuah sinyal untuk menyalakan protokol pertahanan langsung.Jauh dari tempat itu, di bunker Quantix, Leo dan Tirta memantau layar mereka dengan napas tertahan. Barisan log berkedip cepat, angka melonjak seperti denyut jantung yang semakin cepat. “Kontak terdeteksi,” gumam Leo. “Mereka mulai dengan exploit zero-day... kayaknya mereka baru pemanasan. Tapi Ini benar-benar dilakukan oleh militer, kita tak boleh meremehkannya Tirta.” “Ya,” balas Tirta, matanya terpaku pada grafik. “Pemanasan mereka tak akan lama.”Kembal

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 110. Mereka Menguji

    Di layar, AI Genesis mulai bergerak. Tapi tidak seperti sistem pertahanan konvensional yang biasanya hanya memblokir serangan, Genesis melakukan sesuatu yang sepenuhnya berbeda, dan tak terduga.Visualisasi data di monitor berubah cepat. Alih-alih hanya memblokir serangan, jaringan biru Genesis membentuk pola-pola dinamis yang tampak hidup. Serangan yang berupa visual titik merah masih datang bertubi-tubi, namun Genesis tidak hanya menahan, ia belajat. Setiap detik yang berlalu membuat sistem itu semakin cepat, semakin cerdas, semakin adaptif.“Genesis tidak seperti sistem pertahanan lain yang hanya bertugas menjadi defender,” kata Raven dengan tenang, suaranya menembus kesunyian ruang rapat yang kini penuh dengan wajah-wajah serius. “Dia bisa, dan akan, menyerang balik.”Freya menambahkan perintah kecil dari tabletnya. Seketika, di layar besar, tampak bagaimana Genesis menelusuri arus serangan, memetakan asal setiap gelombang data berbahaya, menyatukan titik-titik itu ke satu simpul

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 109. Lain Daripada Yang Lain

    Ruangan presentasi itu bagaikan arena pengadilan, hanya saja para hakimnya mengenakan seragam militer dan setelan birokrasi. Kayu gelap yang melapisi dinding, bendera negara yang menjulang di belakang podium, dan tatapan dingin para jenderal serta pejabat intelijen menciptakan atmosfer yang kaku, tak memberi ruang untuk kesalahan.Di tengah meja berbentuk U, Valeria berdiri penuh percaya diri. Suaranya mengalun tenang namun penuh penekanan, setiap kata seperti diukir untuk menenangkan rasa cemas para pengambil keputusan. Ia berbicara tentang rekam jejak CyberShield. Di sudut meja, Kinar duduk sedikit terpisah. Tidak ikut mengangguk, tidak ikut mengernyit. Wajahnya netral, mata tajamnya mencatat setiap detail. Hanya keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat Valeria menimbang kata-katanya dengan lebih hati-hati.Sementara itu, di ruang tunggu, Raven duduk tegak dengan ekspresi yang tak terbaca. Clara sibuk merapikan catatan, memastikan tidak ada satu pun detail yang terlewat. Freya

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 108. Jiwa-Jiwa Siap Tempur

    Di bunker, malam itu udara dipenuhi ketegangan. Layar-layar monitor menampilkan berbagai versi antarmuka Genesis, dari mockup kasar hingga simulasi real-time.Freya menekan keyboard keras-keras. “Kalau kita sederhanakan terlalu jauh, kita kehilangan konteks! Data detail itu penting. Bagaimana kalau sistem salah interpretasi? Pengguna harus bisa melihat lapisan dalamnya kalau perlu.”Raven melangkah cepat ke meja, menunjuk layar dengan telunjuk tajam. “Freya, kamu masih berpikir seperti engineer. Klien kita nanti bukan engineer. Seorang jenderal tidak peduli pada kompleksitas algoritma! Dia hanya perlu tahu di mana ancamannya, dan tombol mana yang harus ditekan untuk menghancurkannya!”“Dan kalau tombol itu salah ditekan karena tidak ada data pendukung?” balas Freya dengan nada meninggi. “Kamu pikir itu tidak lebih berbahaya? Aku tidak mau Genesis jadi senjata buta hanya karena kita sibuk bikin tampilan cantik!”Suasana membara, Tirta bahkan menahan napas, khawatir kedua rekannya aka

  • Kebangkitan Sang Raja Teknologi   Bab 107. Perhatian Kecil

    Tiga bulan terasa seperti tiga minggu. Bunker Quantix kehilangan wajah lamanya. Dinding-dindingnya yang tadinya kosong kini penuh dengan catatan, diagram, dan coretan-coretan strategi. Lantai dipenuhi kabel, tumpukan kardus makanan cepat saji, dan cangkir kopi bekas yang berjejer seperti trofi perang. Lampu neon yang terus menyala siang dan malam membuat semua orang kehilangan ritme tidur. Waktu melebur; hanya ada pekerjaan, target, dan detak jam yang terdengar lebih keras setiap harinya.Clara berada di tengah-tengah medan perang birokrasi. Dia sudah tak lagi terlihat seperti eksekutif startup, melainkan seorang diplomat yang harus menyeimbangkan logika dan pesona. Hari-harinya penuh dengan rapat virtual, panggilan telepon yang tak ada habisnya, dan pertemuan dengan pejabat pemerintah yang terlalu terbiasa dengan perusahaan besar. Berkali-kali ia harus menjelaskan ulang, siapa Quantix, dari mana mereka berasal, dan kenapa mereka layak dipercaya.Suatu sore yang panjang, Clara duduk b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status