“Baiklah, Bagaskara,” gumamnya pelan, seolah hakim itu duduk di hadapannya. “Mari kita lihat… sebersih apa kau sebenarnya.”
Raven tenggelam dalam lautan data, melacak jejak digital seorang pria yang di atas kertas tampak tak bercela: Hakim Bagaskara Wiratmaja.
Berjam-jam ia bekerja, menelusuri arsip publik, jaringan data hukum, bahkan celah kecil di server institusi yang jarang disentuh. Namun hasilnya nihil. Setiap rekam jejak Bagaskara terlihat rapi. Tidak ada celah, tidak ada isu miring. Raven mulai merasakan frustrasi merayap ke dadanya. Hakim ini benar-benar tampak …terlalu bersih.
“Serius? Kau benar-benar sebersih itu?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Atau aku yang terlalu b“Oke, menolaknya berarti kita menyatakan perang, bukan?” Clara bersuara pertama. Nada tenangnya menutupi keresahan yang tergambar jelas di wajahnya. Otaknya yang strategis langsung bekerja, menghitung ancaman dan langkah balasan. “Dia tidak akan tinggal diam. Setelah gagal merekrutmu, dia pasti akan kembali mencoba menghancurkan kita dengan segala cara, sebelum kita menjadi terlalu besar. Seperti sebelumnya.”“Aku tahu,” jawab Raven, nada suaranya mantap. “Tapi Valeria bukanlah ahli IT. Dengan Logic Bomb yang sudah aktif di sistem CyberShield, cepat atau lambat dia akan kembali pada kita.”“Hah? Untuk apa?” Tirta mengernyit, tampak kebingungan.“Tentu saja untuk menyelesaikan masalah Logic Bomb itu,” jelas Raven, menatap ke layar seolah bayangan Valeria sedang berdiri di sana. “Dia tidak bodoh. Dia pasti mengira bahwa itu ulah kita. Dan dia akan menuntut kita untuk menyelamatkan muka mereka. Tapi apa pun alasannya, kita akan siap. Valeria bukan lagi prioritas utama kita.”Ia beranjak
Raven melangkah keluar dari gedung mewah itu, udara malam kota menyambutnya dengan dingin yang jujur. Lampu-lampu jalan dan riuh kendaraan di kejauhan terasa jauh lebih nyata dibanding percakapan penuh racun yang baru saja ia tinggalkan. Ia menarik napas panjang, membiarkan paru-parunya dipenuhi oleh dunia luar, mencoba meluruhkan ketegangan yang masih menempel di tubuhnya.Di seberang jalan, sebuah van hitam yang nyaris tak mencolok menunggu dengan mesin menyala. Raven melangkah cepat, membuka pintu gesernya, lalu masuk. Aroma kopi instan dan peralatan elektronik memenuhi ruang sempit itu. Leo sedang duduk, earphone menempel di telinga, matanya terpaku pada layar-layar monitor kecil yang menampilkan feed kamera tersembunyi.Begitu Raven menutup pintu, Leo buru-buru melepas earphone-nya dan menoleh. Wajahnya memancarkan kelegaan bercampur sisa ketegangan. “Gila, bro,” katanya sambil menghembuskan napas panjang. “Itu tadi tegang banget gue. Jujur aja, sempet ngira lo bakal luluh sama p
Valeria mengulurkan tangannya, menutupi jemari Raven dengan kedua tangannya yang hangat dan gemetar. Ia menatap dalam, seakan ingin menembus lapisan pertahanan yang selama ini dijaga Raven mati-matian. “Kita bisa menjadi tak terkalahkan, Rave,” bisiknya, suaranya penuh getaran emosi yang dibuat begitu meyakinkan. “Seperti yang seharusnya. Seperti yang seharusnya kebahagiaan kita terjadi. Tolong, lupakan masa lalu. Pikirkan masa depan.”Raven menatap tangan itu, merasakan kilatan memori menyeruak, memori tentang masa ketika mereka berdua bermimpi di ruang kantor kecil, menulis visi yang sama di papan tulis butut, tentang dunia digital yang aman bagi semua orang. Tapi kemudian tatapannya bergeser ke mata Valeria. Ada sesuatu di sana, obsesi yang dibungkus dengan air mata. Entah untuknya atau hanya untuk sesuatu yang bisa ia berikan.“Rave, jangan…” suara Clara pecah di telinga Raven, sedikit lebih keras dari biasanya. Ia panik, hingga nadanya sedikit bocor keluar dari earpiece Raven.
“Langsung saja ke intinya, Val. Apa maumu?” suara Raven terdengar tenang, tapi di baliknya ada tebing curam yang tak terlihat. Ia tak ingin membuang waktu dengan basa-basi.Valeria tersenyum simpul, sedikit miring, lalu tertawa kecil. “Raven, oh Raven. Kau tak berubah ya, Sejak dulu kau selalu tidak sabaran, selalu ingin tahu isi permainan sebelum gilirannya dimulai.” Tawa itu ringan, hampir menggoda.Namun Raven tidak membalas. Tatapannya dingin, tidak bergeming. Keheningan itu cukup untuk membuat senyum Valeria perlahan pudar. Ia menarik napas, lalu merubah ekspresinya. Kini wajahnya tampak lebih tenang, bahkan serius.“Oke,” katanya akhirnya, suaranya menurun beberapa oktaf. “Pertama-tama, aku ingin meminta maaf. Untuk segalanya.” Jemarinya menggenggam gelas anggur yang belum disentuh, seakan mencari pegangan. “Aku nggak tahu kenapa waktu itu aku mengkhianatimu. Aku… aku buta. Ambisi, ketakutan, semuanya bercampur. Tapi sekarang aku sadar. Itu salah.”Matanya mulai berkaca-kaca. Ca
Di tengah penemuan yang mengguncang itu, kemenangan mereka atas Radja terasa hambar. Biasanya, berita tumbangnya seorang lawan besar akan menyalakan sorak atau tawa lepas, tapi kini tak seorang pun di ruang bunker itu mengeluarkan suara. Mereka sadar, yang mereka kalahkan hanyalah pion dalam papan catur yang jauh lebih luas. Kemenangan ini ternyata sekadar jeda kecil dalam perang yang lebih gelap, lebih tua, dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.Ponsel Raven bergetar di atas meja. Bunyi itu memecah hening seperti retakan kecil di dinding. Sebuah pesan singkat diterima dari Valeria. "Sudah selesai. Kapan kita bertemu?"Raven menatap layar ponsel itu cukup lama, seakan mencoba menembus huruf-huruf digital di hadapannya. Di layar lain, laporan dari Dominion masih terbuka, dengan nama Ezio yang kini terasa menatap balik padanya. Dua ular berbeda, satu berwajah Valeria dengan senyum manis penuh racun, satu lagi Dominion dengan mata tak terlihat yang sudah lama mengawasi. D
Halaman pertama file itu terbuka dengan gambar yang sederhana, tapi justru paling menghantam Raven. Foto dirinya saat wisuda S1, bertahun-tahun lalu. Wajah muda dengan senyum tipis, toga hitam yang tampak kebesaran, dan tatapan penuh harapan tentang masa depan. Saat itu, ia sama sekali belum tahu bahwa ada lensa asing yang mengabadikannya, bukan sebagai kenangan, tapi sebagai data.Freya menahan napas, jarinya terus menggulir halaman demi halaman. Muncul deretan teks yang tersusun rapi. Transkrip percakapan telepon. Ada yang dengan sahabat lamanya, ada pula yang dengan seorang dosen pembimbing. Beberapa di antaranya begitu pribadi, dengan Radja, dengan Valeria, termasuk pembicaraan tentang mimpinya mendirikan perusahaan sendiri, dan rencana awal membangun CyberShield dari nol.Clara mencondongkan tubuh, suaranya bergetar. “Mereka tahu… sampai sedetail ini? Nggak ada yang terlewat.”Laporan lain menyusul. Catatan pergerakan Raven selama tahun-tahun awal berdirinya CyberShield. Detail j