Sasana itu panas dan lembap. Lampu neon menggantung rendah, berkelip seolah nyaris padam. Setiap pukulan yang menghantam samsak terdengar seperti dentuman kecil dalam ruang gema. Suasana ini bertolak belakang dengan keheningan akademik di perpustakaan IIT siang tadi.
Raven berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan yang penuh dengan aura testosteron. Leo ada di tengah, kaosnya basah, tangannya dililit perban putih yang sudah berubah warna. Pukulan-pukulannya presisi, cepat, dan brutal. Sansak terguncang, rantainya mengerang.
Leo berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Ia tak menoleh, hanya melihat bayangan Raven dari cermin dinding yang retak di ujung. “Mau ikut latihan?” tanyanya, datar, sambil melanjutkan pukulan.
“Gue nggak suka kekerasan,” sahut Raven pelan, melangkah lebih dalam.
“Heh. Itulah masalah lo,” kata Leo sambil mengayunkan hook kanan yang menghentak. “Mungkin karena itu Valeria ninggalin lo. Lo terlalu lemah.”
Raven menggertakkan gigi. Urat di pelipisnya menegang. Tapi dia tidak datang untuk adu mulut. Apalagi adu jotos. Ia tak akan menang. Raven menarik napas, mencoba tenang. “Huh... kayak si Radja itu macho aja,” balasnya sinis, sambil duduk di bangku kayu dekat rak glove.
Leo menyeringai, lalu melepaskan pukulan straight yang membuat samsak terayun keras. Sebuah sobekan terbuka di bekas pukulannya, menghamburkan butiran pasir ke lantai. Ia berhenti, membuka lilitan perban di pergelangan, lalu mengambil botol air.
“Paling nggak dia lebih keker dari lo,” ucapnya sebelum meneguk. “Dan lebih licik.” Tatapannya tajam, penuh api. “Gue seharusnya menghajarnya sejak dulu, Rave. Dan lo harusnya dengerin gue. Gue udah bilang ada yang ga beres sama mereka.”
Untuk pertama kalinya hari itu, Raven menundukkan kepalanya. Tangannya mengepal di atas lutut, seolah sedang menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan. Mungkin penyesalan. Mungkin kesadaran.
“Lo benar, Leo. Gue salah. Gue terlalu bucin sama Valeria, gue jadi buta. Dan gue minta maaf karena nggak dengerin lo.”
Pengakuan itu menggantung di udara, berat dan jujur. Leo diam. Napasnya mulai normal. Dia menyandarkan punggung ke dinding, membiarkan tubuhnya bersandar pada sesuatu selain ego.
“Permintaan maaf nggak akan ngembaliin perusahaan kita. Jadi, lo ke sini buat apa? Mau ngajak gue merampok bank?”
Raven tersenyum kecil. “Sesuatu yang lebih baik.”
Leo menyipitkan mata.
“Gue mau bangun ulang,” lanjut Raven. “Bukan CyberShield. Sesuatu yang lebih besar. Lebih bersih. Dan gue butuh lo di sisi gue.”
Leo tertawa. Tapi tawanya sumbang, tak ada canda di dalamnya. “Ngebangun apa? Pakai apa? Cek dua puluh juta dari Valeria? Jangan ngehalu lah, Rave. Kita udah tamat. Mereka menang.”
“Belum,” potong Raven. Tatapannya mengeras, tak sedikit pun bergeser dari mata Leo. “Gue udah naro bom di inti Cybershield. Dalam waktu dekat, mereka bakal runtuh dari dalam. Dan ketika waktu itu tiba... pertanyaannya tinggal satu.”
Raven berdiri perlahan, menatap Leo.
“Siapa yang bakal manfaatin kekosongan pasar.”
Leo tak langsung menjawab. Tangannya memegang perban di pergelangan, mengetuk-ngetuk pelan. Ia menatap Raven seperti sedang menimbang ulang semua tahun, semua konflik, semua kepercayaan. Lalu ia berkata:
“Menarik...”
Raven tidak membuka laptopnya. Tidak perlu. Tidak ada layar kode, tidak ada grafik rumit. Bukan itu yang akan membuat Leo bergerak. Ia tahu, Leo tidak pernah butuh pembuktian lewat teori. Yang Leo butuh adalah keyakinan bahwa ini bukan sekadar obsesi buta. Bahwa yang akan mereka lawan bukan cuma dua orang bajingan yang menyamar sebagai eksekutif.
“Gue nggak datang cuma buat minta lo ngoding ulang algoritma,” ucap Raven tenang. “Gue butuh lo buat sesuatu yang lo kuasai lebih dari siapa pun. Ngeliat apa yang gak bisa gue lihat. Lo itu selalu jadi mata ketiga. Penjaga perimeter. Dan kali ini, kita butuh lebih dari sekadar benteng. Kita butuh menara penjaga.”
Leo menghela napas. Punggungnya masih menempel pada dinding bata yang dingin. “Heh, sok serius lo. Emang musuh kita siapa sekarang? Radja sama Valeria udah dapet semua yang mereka mau, kan?”
“Bukan cuma mereka,” jawab Raven perlahan. Nada suaranya turun setingkat. “Waktu gue lagi research. Gue nemuin sesuatu yang menarik...” Ia lalu menceritakan dengan singkat tentang pria yang jatuh dari hotel, dan tentang satu nama yang muncul di dalam metadata, Dominion.
Suara Leo langsung berubah. “Dominion?” Ia tegak berdiri. Sorot matanya menyipit. “Gue pernah denger. Cuma rumor, waktu kita audit sistem BUMN. Nama mereka disebut-sebut ... tapi selalu nggak ada jejak. Kayak organisasi bayangan. Sistematis, licin, dan kejam. Kayak Mafia, tapi berbeda.”
Raven mengangguk. “Kayaknya mereka juga lagi merambah ke ranah teknologi. Mereka tahu potensi kontrol yang dikandungnya dalam penguasaan teknologi tinggi. Dan prediksi gue, cepat atau lambat kita pasti bersinggungan dengan mereka ...”
“Gila,” gumam Leo. “Ini udah bukan soal perusahaan.”
“Justru karena itu,” kata Raven pelan, “Gue butuh lo. Kita butuh lo.”
“Kita?”“Iya, gue ga mungkin ngebangun ini sendirian. Gue udah ngajakin Tirta sama Freya. Dream team ini ga bakal lengkap tanpa lo.” Raven meyakinkan.Beberapa detik berlalu. Leo menatap Raven tajam. Ia kemudian menurunkan pandangan ke perban di tangannya dan mulai melepasnya perlahan. Gerakannya terukur, tenang, nyaris seremonial. Seolah ia sedang mengubur amarah lamanya, menggantinya dengan fokus baru.
“Oke,” katanya akhirnya. “Gue ikut.”
Raven mengangguk, lega. Tapi Leo belum selesai.
“Tapi dengan satu syarat,” lanjutnya, menatap lurus ke mata Raven.
“Apa? Kalu lo minta gaji 6 digit dolar kayak sebelumnya, sekarang gue ga sanggup.” Raven mengangkat tangannya, menunjukkan gestur menyerah.
“Sialan lo, bukan itu. Kemaren gue belom puas ngehajar muka itu bocah. Pokoknya waktu nanti kita ketemu Radja lagi... pukulan pertama milik gue.”
Raven nyengir. “Deal.”
Raven melangkah keluar dari gedung mewah itu, udara malam kota menyambutnya dengan dingin yang jujur. Lampu-lampu jalan dan riuh kendaraan di kejauhan terasa jauh lebih nyata dibanding percakapan penuh racun yang baru saja ia tinggalkan. Ia menarik napas panjang, membiarkan paru-parunya dipenuhi oleh dunia luar, mencoba meluruhkan ketegangan yang masih menempel di tubuhnya.Di seberang jalan, sebuah van hitam yang nyaris tak mencolok menunggu dengan mesin menyala. Raven melangkah cepat, membuka pintu gesernya, lalu masuk. Aroma kopi instan dan peralatan elektronik memenuhi ruang sempit itu. Leo sedang duduk, earphone menempel di telinga, matanya terpaku pada layar-layar monitor kecil yang menampilkan feed kamera tersembunyi.Begitu Raven menutup pintu, Leo buru-buru melepas earphone-nya dan menoleh. Wajahnya memancarkan kelegaan bercampur sisa ketegangan. “Gila, bro,” katanya sambil menghembuskan napas panjang. “Itu tadi tegang banget gue. Jujur aja, sempet ngira lo bakal luluh sama p
Valeria mengulurkan tangannya, menutupi jemari Raven dengan kedua tangannya yang hangat dan gemetar. Ia menatap dalam, seakan ingin menembus lapisan pertahanan yang selama ini dijaga Raven mati-matian. “Kita bisa menjadi tak terkalahkan, Rave,” bisiknya, suaranya penuh getaran emosi yang dibuat begitu meyakinkan. “Seperti yang seharusnya. Seperti yang seharusnya kebahagiaan kita terjadi. Tolong, lupakan masa lalu. Pikirkan masa depan.”Raven menatap tangan itu, merasakan kilatan memori menyeruak, memori tentang masa ketika mereka berdua bermimpi di ruang kantor kecil, menulis visi yang sama di papan tulis butut, tentang dunia digital yang aman bagi semua orang. Tapi kemudian tatapannya bergeser ke mata Valeria. Ada sesuatu di sana, obsesi yang dibungkus dengan air mata. Entah untuknya atau hanya untuk sesuatu yang bisa ia berikan.“Rave, jangan…” suara Clara pecah di telinga Raven, sedikit lebih keras dari biasanya. Ia panik, hingga nadanya sedikit bocor keluar dari earpiece Raven.
“Langsung saja ke intinya, Val. Apa maumu?” suara Raven terdengar tenang, tapi di baliknya ada tebing curam yang tak terlihat. Ia tak ingin membuang waktu dengan basa-basi.Valeria tersenyum simpul, sedikit miring, lalu tertawa kecil. “Raven, oh Raven. Kau tak berubah ya, Sejak dulu kau selalu tidak sabaran, selalu ingin tahu isi permainan sebelum gilirannya dimulai.” Tawa itu ringan, hampir menggoda.Namun Raven tidak membalas. Tatapannya dingin, tidak bergeming. Keheningan itu cukup untuk membuat senyum Valeria perlahan pudar. Ia menarik napas, lalu merubah ekspresinya. Kini wajahnya tampak lebih tenang, bahkan serius.“Oke,” katanya akhirnya, suaranya menurun beberapa oktaf. “Pertama-tama, aku ingin meminta maaf. Untuk segalanya.” Jemarinya menggenggam gelas anggur yang belum disentuh, seakan mencari pegangan. “Aku nggak tahu kenapa waktu itu aku mengkhianatimu. Aku… aku buta. Ambisi, ketakutan, semuanya bercampur. Tapi sekarang aku sadar. Itu salah.”Matanya mulai berkaca-kaca. Ca
Di tengah penemuan yang mengguncang itu, kemenangan mereka atas Radja terasa hambar. Biasanya, berita tumbangnya seorang lawan besar akan menyalakan sorak atau tawa lepas, tapi kini tak seorang pun di ruang bunker itu mengeluarkan suara. Mereka sadar, yang mereka kalahkan hanyalah pion dalam papan catur yang jauh lebih luas. Kemenangan ini ternyata sekadar jeda kecil dalam perang yang lebih gelap, lebih tua, dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.Ponsel Raven bergetar di atas meja. Bunyi itu memecah hening seperti retakan kecil di dinding. Sebuah pesan singkat diterima dari Valeria. "Sudah selesai. Kapan kita bertemu?"Raven menatap layar ponsel itu cukup lama, seakan mencoba menembus huruf-huruf digital di hadapannya. Di layar lain, laporan dari Dominion masih terbuka, dengan nama Ezio yang kini terasa menatap balik padanya. Dua ular berbeda, satu berwajah Valeria dengan senyum manis penuh racun, satu lagi Dominion dengan mata tak terlihat yang sudah lama mengawasi. D
Halaman pertama file itu terbuka dengan gambar yang sederhana, tapi justru paling menghantam Raven. Foto dirinya saat wisuda S1, bertahun-tahun lalu. Wajah muda dengan senyum tipis, toga hitam yang tampak kebesaran, dan tatapan penuh harapan tentang masa depan. Saat itu, ia sama sekali belum tahu bahwa ada lensa asing yang mengabadikannya, bukan sebagai kenangan, tapi sebagai data.Freya menahan napas, jarinya terus menggulir halaman demi halaman. Muncul deretan teks yang tersusun rapi. Transkrip percakapan telepon. Ada yang dengan sahabat lamanya, ada pula yang dengan seorang dosen pembimbing. Beberapa di antaranya begitu pribadi, dengan Radja, dengan Valeria, termasuk pembicaraan tentang mimpinya mendirikan perusahaan sendiri, dan rencana awal membangun CyberShield dari nol.Clara mencondongkan tubuh, suaranya bergetar. “Mereka tahu… sampai sedetail ini? Nggak ada yang terlewat.”Laporan lain menyusul. Catatan pergerakan Raven selama tahun-tahun awal berdirinya CyberShield. Detail j
Kantor Radja yang biasanya penuh wibawa malam itu terasa sesak. Telepon di mejanya berdering keras, memecah keheningan. Begitu ia mengangkat, suara marah langsung membanjiri ruangannya.“Apa-apaan ini, Radja?!” seru suara pria tua yang marah, salah satu anggota dewan, menggema di seberang. “Kau menjual aset di belakang kami?! Divisi R&D? Tanpa persetujuan rapat dewan? Apa kau sudah gila?!”Radja menegang, keringat dingin membasahi pelipisnya. “Tunggu dulu, kalian salah paham,” katanya terbata. “Aku tidak benar-benar menjual. Itu hanya… langkah antisipasi. Rencana cadangan kalau…”“Jangan berani-beraninya berbohong pada kami!” suara lain, seorang perempuan dari dewan, memotong kasar. “Kami mendengar rekaman suaramu dengan jelas. Kau mengakui niat menjual aset vital tanpa restu dewan. Apa kau tahu apa arti ini? Kau sudah melanggar konstitusi perusahaan.”Radja berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir dengan tangan gemetar. “Itu… itu tidak sepenuhnya benar! Rekaman itu bisa saja dim