Raven duduk dengan punggung tegak di dalam sebuah jazz club, telapak tangan bertaut di atas meja, menunggu seseorang. Kali ini bukan pertemuan untuk membangun kembali persahabatan. Ini adalah diplomasi, dengan musuh yang masih membawa bendera lawan.
Clara datang dengan anggun. Penampilannya memang selalu sempurna. Gaun hitamnya sederhana namun mengiris pandangan, rambutnya terikat rapi. Tidak ada tanda bahwa ia baru saja keluar dari kubangan krisis. Tidak satu kerut pun di wajahnya. Dia kemudian duduk tanpa basa-basi, meletakkan clutch-nya di samping dan memanggil pelayan. “Teh hijau, tidak terlalu panas.”
Matanya langsung menusuk Raven. “Kau mengambil risiko besar dengan menghubungiku Raven. Kau pikir aku tak akan membocorkan semuanya ke Radja?”
“Benar. Tapi kau tak akan melakukannya. Lagipula risiko terbesar adalah hanya berdiam diri dan tidak bertindak,” jawab Raven, matanya tidak berkedip.
“Aku tahu apa yang terjadi di dalam CyberShield. Aku tahu dia sedang dalam masalah. Dan aku tahu, kau-lah yang sekarang disuruh membersihkan semua kekacauan. Pertanyaannya, sampai kapan kau mau jadi tong sampah buat raja yang bodoh itu?”
Clara tertawa kecil. Dingin. Penuh ironi. “Raja yang bodoh itu masih menandatangani slip gajiku. Dan gajiku tidak sedikit, Raven. Aku cukup yakin bahkan jika Leo dan Freya menggabungkannya masih kalah.”
“Aku nggak datang untuk adu gaji,” balas Raven datar. “Aku datang untuk berinvestasi pada ambisimu. Kau bukan tipe orang yang puas hanya jadi tukang sapu bukan? Kau tahu CyberShield akan tenggelam. Dan aku tahu kau sedang cari sekoci yang layak. Kau hanya menunggu kapal mana yang layak kau tumpangi.”
“Ya… dari data yang kau bocorkan ke Tirta,” ucap Clara sembari menyandarkan punggung ke kursi empuk, “dan berdasarkan kemampuanmu … aku percaya mainan barumu itu bisa meruntuhkan CyberShield dari dalam. Konstruksinya memang brilian. Elegan.”
Nada suaranya santai, namun matanya tetap waspada, tak sedikit pun lengah. Tangannya bergerak membuka dompet kulit tipis, mengeluarkan tiga kartu nama yang diletakkan di atas meja, berjajar seperti domino yang belum disentuh.
“Tapi walaupun mereka lenyap, apa kau pikir rakitanmu itu adalah sekoci terbaik di tengah pusaran kompetisi? NexaCorp baru saja mengirim draf kontrak. G****e sudah berulang kali menjadwalkan panggilan wawancara. Mereka menawarkan kapal pesiar, Raven. Bukan rakit. Dan aku tahu cara menegosiasikan tempat terbaik di dek mereka.”
Raven menatap kartu-kartu itu sebentar, lalu menggeser cangkir kopinya menjauh, memberi ruang untuk sesuatu yang lebih penting. Dia tahu, jika terus bicara tentang visi, Clara akan bosan. Ia harus membalik papan.
“Bagaimana kalau kukatakan kapal rakitanku ini bukan sekadar rakit?” katanya, suaranya tenang tapi berat. “Ini mesin. Dengan bahan bakar nuklir. Saat yang lain masih bakar batu bara.”
Clara tidak tersenyum. “Aku tidak percaya metafora, Raven. Aku percaya pada data. Tunjukkan data yang valid.”
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun setelah itu. Hanya mengangkat alisnya tipis, memberi isyarat agar Raven mulai membuka kartu.
Raven memutar laptopnya, membuka berkas utama. Tampilan antarmukanya sederhana, namun di baliknya terdapat diagram kompleks, arsitektur sistem ‘Quantum Matrix’ dalam bentuk utuh. Multi-layered firewall dengan AI berbasis heuristik, enkripsi kuantum adaptif, serta sistem otorisasi dengan blockchain dinamis.
Clara tidak langsung bereaksi, hanya matanya yang menyipit sedikit. Itu cukup. Raven tahu mengerti apa yang ia lihat.
“Konsep yang indah,” gumam Clara akhirnya.
“Tapi aku sudah melihat ratusan konsep ambisius seperti ini, Raven, Kau tahu itu. Semua kelihatan menjanjikan di atas kertas, semua tampil mengilap di pitch deck. Tapi Sembilan puluh sembilan persen gagal... karena tidak ada backup. Tidak ada investor. Tidak ada market yang cukup besar untuk menopang ambisi sebesar ini.”
“Baik,” ucap Raven, tenang dan mantap. Ia menutup laptopnya perlahan, lalu menggenggam ponselnya. “Kalau begitu, bagaimana dengan data ini?”
Satu jempolnya menekan layar. Sebuah file terenkripsi terkirim ke ponsel Clara. Tak ada penjelasan tambahan. Hanya satu kalimat singkat menyertainya. “Lihat saja sendiri.”
Clara mengangkat alis, lalu membuka file tersebut. Sekilas matanya memindai daftar panjang yang terstruktur rapi: nama-nama perusahaan, sektor industri, rating kerentanan keamanan siber, hingga kontak personal direktur IT masing-masing. Ia membalik halaman virtual itu dengan jari-jari yang kini jauh lebih berhati-hati.
“Ini... bukan cuma data,” gumamnya perlahan. “Ini amunisi. Ini jalur pintas ke dominasi pasar.” Tatapannya terangkat, tajam menusuk. “Dari mana kau dapat ini?”
“Walaupun kapalku dicuri, bukan berarti aku kehilangan koneksiku,” jawab Raven santai. “Katakanlah…Aku masih punya insider….”
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Dengan produk dan daftar target ini, kita tidak perlu menunggu CyberShield tenggelam dengan sendirinya. Kita bisa menenggelamkannya saat kapal mereka bocor. Dan saat itu terjadi, kita sudah siap menyambut mereka dengan rakit bertenaga nuklir yang kita miliki. Bayangkan valuasi perusahaan seperti itu Clara.”
Clara terdiam cukup lama. Matanya tidak lagi memandang layar ponsel, tapi mengevaluasi segalanya, memetakan skenario, memperhitungkan risiko, mengukur potensi keuntungan. Pikirannya sudah berlayar jauh ke depan.
“Masih ada satu masalah besar. Mainanmu ini super mahal, Raven,” katanya akhirnya, nadanya datar, nyaris sarkastik. “Dan sampai sekarang kau masih belum menjawab pertanyaan utama itu. Sistem supercomputer atau cloud computing yang sanggup menampung dan menjalankan algoritma ini, sewanya bisa mencapai ratusan ribu dolar.”
Ia mengangkat satu alisnya. “Per jam. Bukan per hari. Bukan per bulan. Per jam.” Jemarinya mengetuk meja. “Kau punya apa? Cek dua puluh juta dari kompensasi pemecatanmu? Itu bahkan tak cukup membayar Leo dan Freya seminggu. Apa mereka kerja bakti?”
Raven menghela napas kecil,
“Kau benar, cek itu bahkan sekarang sudah melayang, lenyap tak berbekas.” Ia lalu menarik ponselnya sendiri. Ia membuka satu aplikasi keuangan dari Bank Offshore di Swiss, dan meletakkannya perlahan di atas meja, menghadap Clara.“Tapi berkat itu, sekarang aku punya ini.”Layar itu terang. Saldo yang terpampang mengandung lebih banyak nol dari yang pernah Clara lihat. Tak masuk akal dimiliki mantan CEO yang baru saja ditendang.
Mata Clara membelalak. Ekspresi dinginnya runtuh beberapa inci. “Darimana...” bisiknya. “Darimana kau mendapatkan dana sebesar ini?”
“Kalau mereka takut... terus kenapa?” suara Leo akhirnya pecah. “Mereka bisa menyeret kita ke pengadilan sampai kita kehabisan napas. Uang dari investormu itu ada batasnya, Rave. Dan jelas bukan buat bayar pengacara tiap hari. Lo tahu kan, Noire Advocates itu... bukan kelas abal-abal.”Raven hendak menjawab, tapi langkah Clara lebih cepat. Dia maju ke tengah ruangan, mematikan tablet di tangannya, lalu membaca ulang surat somasi di ponsel. Tatapannya berubah. Ini bukan ekspresi waspada. Bukan pula marah. Wajahnya tajam, kalkulatif.Dia membacanya dengan saksama, bolak-balik halaman. Hening. Bahkan Freya yang biasanya tak sabar pun memilih diam.Setelah beberapa menit, Clara akhirnya menatap mereka. Pandangannya berhenti di Raven, lalu ke Leo. Ada senyum tipis yang lebih mirip tantangan daripa
“Okay guys, jelas kita belum bisa bekerja sekarang,” kata Raven, berdiri di tengah ruangan dengan telapak tangan terbuka.“Jadi, apa yang kalian butuhkan?” Suaranya netral, tapi tatapannya menyapu seluruh tim. Ia tidak sekadar bertanya. Ia sedang membangun kepercayaan, bahwa suara mereka akan didengar.Leo melangkah pelan, menyusuri tepi ruangan, gerakannya seperti predator yang memeriksa sarangnya. Setiap retak di dinding, setiap sudut gelap, bahkan ventilasi di langit-langit, diperhatikannya satu per satu.“Seperti yang dikatakan mama Clara tadi,” gumamnya, suaranya rendah. “Tempat ini adalah mimpi buruk dari sisi keamanan. Dua pintu masuk, tanpa sistem penguncian otomatis, jendela yang terlalu besar, jaringan listrik terbuka, dan … terlalu panas&r
Langit di luar masih berwarna baja kusam ketika pintu loteng terbuka. Udara pagi yang dingin menyusup masuk lewat celah jendela tinggi yang belum tertutup tirai. Loteng ini adalah milik seorang teman lama Raven yang kini bekerja di Eropa, dan dengan satu panggilan singkat, kunci dan akses diberikan tanpa banyak tanya. Ia menyukai ruang ini. Cukup besar, sempurna untuk membangun sesuatu dari awal.Di tengah ruangan, Raven berdiri dengan satu tangan di saku, secangkir kopi hitam mengepul di tangan satunya. Kalimat terakhir Ezio malam itu terus bergema dalam benaknya."Organisasi gelap bernama dominion juga menginginkan NexusCore.”Beberapa menit kemudian, suara-suara ramai terdengar dari tangga. Tirta muncul lebih dulu, membawa seikat blueprint gu
“Raven Adyatama,” ucap Ezio, menyebut namanya dengan pelan, seolah menimbang tiap suku kata. “Aku sudah menunggumu. Lumayan butuh waktu lama ya… sejak kau menemukan USB itu?”Napas Raven terpotong sejenak. Tenggorokannya kering. “Kau… kenal aku?”Ezio tidak menjawab langsung. Ia hanya menundukkan kepala sedikit.“Duduklah, Raven,” katanya kemudian. Tidak ada jabat tangan, tidak ada sapaan hangat. Hanya satu gerakan dagu, cukup untuk menunjukkan posisi kekuasaan yang tidak perlu dibuktikan lagi.Raven duduk, perlahan, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Matanya mencari-cari celah pada wajah Ezio, ekspresi yang mungkin memberi petunjuk tentang apa sebenarnya yang sedang ia hadapi. Tapi yang ia lihat hanya ketenangan mutlak.
Empat Puluh Delapan Jam Sebelumnya.Kamar hotel itu masih sama pengap dan sempitnya. Raven duduk di kursi plastik yang keras, tubuhnya membungkuk ke arah laptop yang sudah panas di meja. Kipas pendingin berputar terengah, ikut gelisah. Di layar, diagram arsitektur sistem NexusCore memenuhi sebagian besar jendela kerja. Ratusan garis koneksi digital menyilang, menghubungkan protokol, subnet, dan lapisan-lapisan keamanan yang saling menindih.Raven mengetik beberapa baris kode, lalu berhenti. Sebuah firewall di tengah arsitektur itu menolak semua perintahnya. Proteksinya tidak hanya menahan, tapi bereaksi. Ia sudah mencoba tiga metode penetrasi dalam dua jam terakhir, tapi semua gagal. Yang menghalanginya bukan sistem biasa. Ini buatan tangan yang sangat lihai. Terlalu tangguh untuk dibebankan pada laptopnya.Pandangan Raven jatuh ke meja
Raven duduk dengan punggung tegak di dalam sebuah jazz club, telapak tangan bertaut di atas meja, menunggu seseorang. Kali ini bukan pertemuan untuk membangun kembali persahabatan. Ini adalah diplomasi, dengan musuh yang masih membawa bendera lawan.Clara datang dengan anggun. Penampilannya memang selalu sempurna. Gaun hitamnya sederhana namun mengiris pandangan, rambutnya terikat rapi. Tidak ada tanda bahwa ia baru saja keluar dari kubangan krisis. Tidak satu kerut pun di wajahnya. Dia kemudian duduk tanpa basa-basi, meletakkan clutch-nya di samping dan memanggil pelayan. “Teh hijau, tidak terlalu panas.”Matanya langsung menusuk Raven. “Kau mengambil risiko besar dengan menghubungiku Raven. Kau pikir aku tak akan membocorkan semuanya ke Radja?”“Benar. Tapi kau tak akan melakukannya. Lagipula risiko terbesar adalah hanya berdiam diri dan tidak bertindak,” jawab Raven, matanya tidak berkedip. “Aku tahu apa yang terjadi di dalam CyberShield. Aku tahu dia sedang dalam masalah. Dan aku