🏵️🏵️🏵️
Waktu telah menunjukkan pukul 00.35 WIB, Mas Damar belum juga pulang. Aku sangat khawatir dan bingung. Ke mana Mas Damar selarut ini? Apakah sesuatu terjadi kepadanya? Tidak! Aku tidak boleh memikirkan hal-hal yang buruk. Aku harus yakin kalau dia baik-baik saja.
Aku beberapa kali telah menghubungi ponselnya, tetapi tetap berada di luar jangkauan. Aku sangat gelisah dan tidak mungkin bagiku untuk memejamkan mata.
Akhirnya, aku mencoba menghubungi Mas Bayu—sahabat terdekat Mas Damar. Terus terang, sebenarnya aku merasa tidak nyaman harus mengganggu Mas Bayu selarut ini, tetapi aku tidak memiliki pilihan lain. Aku berharap semoga dia mengetahui keberadaan Mas Damar.
“Halo, Tari ... ada apa nelepon malam-malam?” Terdengar suara serak Mas Bayu menjawab teleponku, suara itu seperti baru bangun tidur.
“Halo, Mas Bayu, aku minta maaf karena udah lancang mengganggu waktu istirahat kamu.” Aku meminta maaf kepadanya.
“Iya, nggak apa-apa. Ada apa, nih?” Akhirnya dia memberikan balasan yang membuatku bersyukur.
“Hari ini ketemu Mas Damar, nggak, Mas?” Aku langsung mengarah pada tujuan yang sebenarnya.
“Iya. Tadi jam sembilan, kami masih sama-sama nongkrong dan ngopi, setelah itu kami pisah. Aku langsung pulang ke rumah dan dia juga pergi. Aku mikirnya, yah, pulang ke rumah juga.” Aku sontak kaget mendengar penuturan Mas Bayu.
“Tapi sampai detik ini, dia belum pulang, Mas. Dari pagi dia udah keluar rumah.”
“Apa? Pergi ke mana, tuh, anak?” Mas Bayu juga terkejut mendengar penjelasanku.
“Aku juga nggak tahu, Mas. Aku sangat khawatir dan bingung.”
“Dia nggak hubungin kamu?”
“Nggak, Mas. Bahkan sampai sekarang nomornya nggak aktif. Aku nggak bisa tenang kalau dia belum pulang.”
“Ya udah, nanti aku coba hubungi teman-teman yang lain. Kamu jangan panik, tetap berpikiran positif dan yakin kalau dia baik-baik saja.” Mas Bayu sepertinya mencoba menenangkan dan meyakinkanku.
“Baik, Mas. Terima kasih untuk semuanya. Aku benar-benar minta maaf karena udah mengganggu.”
“Udah, santai aja.”
Akhirnya, aku dan Mas Bayu pun mengakhiri pembicaraan di telepon
🏵️🏵️🏵️
Tok! Tok! Tok!
Aku terkejut mendengar suara ketukan pintu. Aku melihat ke arah jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul 03.02 WIB. Ternyata aku tertidur di sofa ruang tamu. Aku segera melangkah menuju pintu dan berharap yang mengetuk pintu adalah Mas Damar.
Sebelum membukanya, aku terlebih dahulu mengintip dari gorden jendela untuk memastikan kedatangan Mas Damar. Ternyata dugaanku benar karena Mas Damar akhirnya pulang.
Aku segera membukakan pintu untuknya dan langsung melontarkan pertanyaan yang ingin kutanyakan sejak kepergiannya meninggalkan rumah.
“Kamu dari mana aja, Mas, selarut ini?”
“Bukan urusanmu!” hardiknya lalu segera masuk kamar.
“Aku khawatir, Mas. Dari tadi aku coba nelepon kamu, tapi nggak aktif,” ucapku lalu mengikutinya ke kamar setelah menutup pintu.
“Kamu nggak perlu tahu urusanku!” Dia dengan suara yang makin meninggi membentakku.
“Aku istrimu, Mas, dan wajib tahu tentang keberadaanmu.” Aku berusaha menjelaskan kekhawatiranku terhadapnya.
Dia tetap tidak menghiraukanku, dia bahkan makin berteriak kepadaku. “Awas! Aku mau tidur! Aku capek!” Dia mendorongku dari dalam kamar hingga aku tersungkur ke lantai.
Dia menutup pintu kamar dengan kuat hingga mengeluarkan suara yang sangat keras. Aku berusaha untuk berdiri lalu berjalan menuju kamar kedua di rumahku.
Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini sikap Mas Damar sangat berbeda dari biasanya. Hampir setiap hari, dia pulang larut malam dan hari ini jam tiga dini hari.
Mas Damar bukan lagi suami yang sangat lembut dan perhatian seperti dulu. Dia sekarang sangat tega bersikap kasar kepadaku. Dia juga tidak segan-segan untuk menamparku apabila aku bertanya tentang perubahan yang terjadi terhadap dirinya.
Aku sangat merindukan sosok Mas Damar yang dulu, yang selalu peduli, perhatian, dan sangat memanjakanku.
Tiga bulan terakhir ini, sikapnya sungguh jauh berubah. Dia tega menyakitiku. Aku sangat bingung melihat perubahannya. Apa sebenarnya yang terjadi terhadap dirinya?
🏵️🏵️🏵️
Pernikahanku dan Mas Damar telah berjalan empat tahun lamanya, tetapi kami belum juga dikarunia seorang anak. Dia kadang menyalahkanku dan berpikir kalau aku yang salah dalam hal itu
“Aku yakin, pasti kamu yang salah. Kenyataanya keluargaku nggak ada yang seperti ini. Kakak-kakakku punya banyak anak.” Aku sedih mendengar tuduhannya kala itu.
“Kenapa kamu nyalahin aku, Mas? Kenapa kita nggak periksa aja ke dokter supaya kita tahu apa penyebab dari semua ini?”
Dia tampak berpikir sejenak dan akhirnya menyanggupi ajakanku. “Okeh, besok kita langsung ke dokter.”
Dia menyalahkanku karena belum mampu memberikannya keturunan saat usia pernikahan kami satu tahun. Tidak tahu penyebabnya kenapa tiba-tiba dia menyalahkanku, padahal sebelumnya dia tidak pernah mempermasalahkan itu.
Walaupun dia berusaha menyalahkanku, tetapi tidak dapat dimungkiri kalau perhatian dan kasih sayangnya tetap tidak berubah saat itu. Dia selalu menunjukkan sikap sebagai seorang suami yang menyayangi istrinya.
Akhirnya, kami melakukan pemeriksaan. Dia tampak sangat terkejut dengan hasil yang dokter berikan.
“Maaf, Pak ... saran saya jangan terlalu sering mengonsumsi minuman keras.” Dokter langsung melontarkan kalimat itu kepadanya.
Mas Damar adalah peminum. Dia pernah berkata bahwa dirinya tidak sanggup jika tidak minum walaupun hanya sehari. Kebiasaan itu telah berlangsung semenjak dia lulus kuliah. Dia bergaul dengan orang-orang yang kecanduan dengan minuman keras.
Aku sudah sangat sering melarang dan menasihatinya, tetapi dia tidak pernah sedikit pun menghiraukan apa yang keluar dari bibirku.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kuharapkan darinya. Di samping dia memiliki kebebasan menenggak minuman keras, sekarang dia sudah berani pulang hingga dini hari. Dirinya juga tega menyakitiku. Apa alasan Mas Damar hingga tega melakukan kekasaran kepadaku?
==========
🏵️🏵️🏵️Mas Damar dan orang tuanya melangkah memasuki rumah sakit, aku segera memarkirkan motor bebek milikku dan mengikuti langkah mereka perlahan. Orang tua dan anak itu memasuki ruangan salah satu dokter spesialis alat reproduksi. Aku sangat heran kenapa Mas Damar harus mengunjungi ruangan itu. Ada apa dengannya?Tidak menunggu lama, akhirnya mereka kembali keluar ruangan dokter dengan wajah tampak sangat serius. Aku memperhatikan mereka dari balik salah satu pilar yang ada di dekat ruangan dokter. Mereka tidak langsung menuju parkiran, tetapi justru duduk di bangku panjang tidak jauh dari tempat pengintaianku.“Kamu harus sabar, ya, Nak. Kamu yang berbuat dan kamu juga harus siap menanggung resikonya.” Mamanya memberikan semangat.“Hidupku sudah tidak berarti, Mah, Pah. Wanita yang dulu kucintai sudah yakin untuk berpisah dan mengajukan gugatan cerai. Sedangkan wanita yang kunikahi secara siri dengan tega berkhianat. Ini karma dari perbuatanku.” Mas Damar menitikkan air mata.“Su
🏵️🏵️🏵️“Iya,” ucapnya singkat dengan senyuman.“Terima kasih, Mas. Kamu selalu ada untuk membantu keluargaku dari dulu.” Aku hampir menitikkan air mata mengingat pengorbanan Mas Surya.“Kamu nggak perlu berterima kasih karena beliau juga ayahku.”Ingin rasanya mengatakan pada dunia kalau aku makin mencintai dan mengagumi Mas Surya. Aku ingin segera lepas dan bebas dari Mas Damar karena keluargaku akan sangat bahagia jika aku dan Mas Surya bersatu. Itulah harapan Ayah dan Ibu sejak dulu.Akan tetapi, aku harus tetap bersabar untuk menunggu hari itu tiba, yang terpenting sekarang Ayah sudah makin sehat. Dalam waktu dekat ini, aku akan mengajukan gugatan cerai terhadap Mas Damar ke pengadilan. Saat ini, aku berusaha bersikap biasa saja di depannya supaya dia tidak tahu rencana yang telah tersusun rapi.🏵️🏵️🏵️“Kamu kenapa nggak ke rumah Tia, Mas?” tanyaku saat Mas Damar menyasikan acara kesayangannya di depan TV.“Dia sudah mengkhianatiku.” Wajahnya menunjukkan kekesalan.“Bukankah
🏵️🏵️🏵️Keesokan harinya setelah kepulangan anak sekolah, kami segera menemui salah satu siswa yang sering bersama Tia. Mas Surya memintanya masuk mobil. Awalnya, dia menolak karena mengaku takut bertemu orang yang baru kenal.Akan tetapi, aku menjelaskan secara perlahan dan berjanji untuk memberikan imbalan jika dia bersedia memberikan informasi penting yang ingin aku ketahui darinya.“Informasi apa yang ingin kalian dapatkan dariku?” tanyanya setelah mobil meluncur meninggalkan sekolah itu.“Informasi tentang salah satu guru di sekolah kamu,” jawabku penuh semangat.“Siapa?” tanyanya ingin tahu.“Tia.”“Apa yang harus kujelaskan tentang Bu Tia?”“Kenapa kamu sering pergi bersamanya ke hotel? Apa tujuan kalian?”“Aku hanya mempertemukannya dengan pengelola sekolah.”“Maksud kamu Om Rudy?”“Iya. Pak Rudy.”Aku terkejut mendengar penuturan siswa tersebut. Sungguh, aku tidak percaya kalau Om Rudy yang aku banggakan karena sayangnya terhadap keluarga, ternyata melakukan pertemuan di dal
POV TIA🏵️🏵️🏵️Dua minggu berlalu semenjak terakhir kali melihat Om Rudy dan keluarganya di supermarket, hari ini aku memintanya bertemu untuk yang terakhir kalinya dan dia bersedia menyanggupi permintaanku. Sekarang, kami sedang berada di salah satu hotel langganan untuk memadu kasih.Akan tetapi, saat ini kejadian itu tidak akan terjadi, dia menolak untuk bercinta semenjak mengetahui keadaan bayi dalam kandunganku. Aku berusaha bersikap lembut dan berpura-pura baik di depannya. Semua ini kulakukan agar dapat menjalankan rencana yang telah tersusun rapi.“Maafkan aku, ya, Sayang, karena tidak dapat melanjutkan hubungan ini lagi. Ternyata selama ini keluargaku sudah mengetahui hubungan kita dari Damar. Aku bersyukur karena akhirnya mereka bersedia memaafkanku. Aku juga meminta pada mereka untuk tidak menyakitimu.” Penjelasan Om Rudy membuatku tersentuh, tetapi juga sakit.Aku sudah menyiapkan racun yang sangat mematikan dan mencampurnya pada minuman Om Rudy. Aku dengan besikap tenan
POV TIA🏵️🏵️🏵️Hari ini, usia kehamilanku memasuki tujuh bulan, aku dan Om Rudy memeriksakan perkembangan anak kami ke rumah sakit. Aku makin bahagia karena kondisi kesehatan Om Rudy juga kian membaik. Namun akhir-akhir ini, perhatiannya kepadaku makin berkurang, dia seolah-olah ingin berusaha menjauh dariku.Aku sangat takut jika perubahan itu berlanjut. Tidak dapat kubayangkan jika akhirnya dia lari dari tanggung jawab. Dia makin jarang memadu kasih denganku, alasannya karena perutku makin membesar.Hari ini, dia bersedia menemaniku ke rumah sakit karena aku mengancam akan memberitahukan hubungan kami kepada istrinya. Aku tidak peduli jika dia merasa terpaksa dan tidak ikhlas, yang penting dia akhirnya sekarang bersamaku.Aku melihat perubahan di wajahnya, dia sungguh jauh berbeda dalam waktu dua bulan ini. Perubahan itu mulai tampak saat aku memintanya menikahiku. Dia tidak terima dan tidak bersedia mengikat hubungan ikatan pernikahan denganku karena baginya, aku akan tetap sebag
🏵️🏵️🏵️“Aku puas menyiksa Tari semalam, Sayang.” Mas Damar bercerita dengan semangat kala itu kepadaku.“Iya, Mas. Aku suka jika kamu menyakitinya.” Terus terang, aku juga benci kepada Tari karena dia berhasil menjadi istri sah Mas Damar.“Aku akan membuatnya lebih menderita lagi.”“Lanjutkan, Mas. Kamu harus tetap dengan tujuanmu.”“Itu pasti, Sayang. Tidak akan kubiarkan dia hidup tenang.”Saat itu, aku ingin melihat kehancuran Tari. Dia harus meraksakan penderitaan lebih dari yang aku rasakan. Dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi istri kedua yang hanya dinikahi secara siri.Dia juga tidak tahu betapa sakitnya harus nikah diam-diam tanpa dihadiri teman-teman dan kerabat terdekat. Hatiku perih merasakan posisi yang sangat dibenci kaum wanita.Mereka menuduhku sebagai wanita perebut suami orang. Para tetangga juga selalu memandang hina dan rendah terhadapku. Mereka tidak tahu kalau aku juga tidak ingin menjadi istri kedua. Semua itu terjadi karena keadaan yang memaksa.Aku harus