Share

Bab 4.

Author: Al_Fazza
last update Last Updated: 2025-04-10 17:44:49

"Kalian keluarlah..." Tatapan mata Dokter Tirta bertambah serius.

Dia berpikir siapa sosok Bintang? Kenapa dia dapat menggunakan metode kuno yang sangat diinginkan oleh para dokter dimasa ini untuk mengobati racun, bahkan penyakit yang sulit di tangani oleh alat medist dijaman modern?

Jika dia membiarkan Bintang terus hidup, ancaman nyata tentu dapat dia terima. Selain itu, mungkin Bintang akan menjadi seseorang yang dipuja oleh semua orang yang membutuhkan jasanya. Itu sudah cukup untuk membuatnya sakit hati!

*

Jalanan Cahaya sangat sepi, dan setelah menunggu sepuluh menit dijalanan itu. Akhirnya mobil BMW X4 yang sama dimiliki oleh Diana mulai berhenti didepan Bintang. Melihat dari mobilnya, Bintang mulai bergumam.

"Akhirnya seseorang telah menjemputku..."

Pintu mobil terbuka dan kini seorang gadis muda, dengan pakaian sederhana mulai menatap keseluruh tubuh Bintang dengan anggukan kepala lalu bergumam.

"Seluruh pakaian hitam, wajah yang tampan sesuai dengan ciri ciri wanita yang membahas sosok Dewi Medist..."

"Kenapa hanya diam?" Bintang berkata, pasalnya dia sudah mengantuk hingga gadis itu segera membuka mulutnya kembali.

"Apa anda adalah Tuan Bintang?"

Hanya mengangguk, hal ini membuat sang gadis itu segera membuka pintu dan membawanya untuk kembali ke kediamannya yang berada ditengah kota Awan.

Sepuluh menit kemudian.

Kediaman megah tak membuat pandangan Bintang tercengang, namun dia sedikit heran dengan penjagaan super ketat yang dimiliki oleh kediaman itu. Para penjaga memiliki senjata api, jelas identitas pemilik rumah ini mungkin tak bisa dibandingkan dengan Clara.

Mengikuti gadis itu memasuki kediaman, dan berjalan santai, tiba tiba gadis itu mulai membuka topik.

"Didalam rumah, ayahku terkena penyakit aneh... Dia sudah berbaring diranjang selama tiga tahun terakhir ini, dan tadi dia mengalami masa koma sesaat, harapanku aku ingin tuan menyelamatkannya, meski tidak dapat pulih seperti sedia kala, namun setidaknya ayahku tidak merasakan penderitaan yang sama dalam waktu tiga tahun ini." Gadis itu menyelesaikan ungkapannya, dia membuka pintu yang memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan tubuh kekar terbaring diatas ranjang dengan banyak perlengkapan medist yang memperlihatkan bahwa kondisi pria itu benar benar memprihatikan.

"Dimana giok kehidupan yang telah kamu pecahkan?"

Gadis itu menganggukan kepalanya, dia mengeluarkan giok berwarna biru terang milik gurunya.

"Tuan ini..."

Memeriksanya dan menganggukan kepala setelah memastikannya, kini Bintang telah membuang potongan yang tersirat nomor telepon milik gurunya. Dia juga menyimpan bagian giok kehidupan itu kedalam sakunya.

Memeriksanya, dan melihat bahwa gadis itu tak banyak berkata. Bintang akhirnya memulai pengobatannya dengan memeriksa bagaimana kondisi pria paruh baya itu.

Sesaat setelahnya.

Tekanan darah yang tidak stabil, ada beberapa bekas luka peluru panas yang tidak sembuh, lalu racun yang hampir sama dengan dialami oleh ayah Clara. Sebenarnya bagaimana bisa ini terjadi? Bintang mengerutkan alisnya hingga gadis itu mulai berkata.

"Tuan bagaimana? Apa anda dapat menyembuhkan ayahku?"

"Ini hanya masalah ringan, kamu carikan aku beberapa bahan herbal mentah yang ku tulis segera... Aku akan melakukan pengobatan besok ketika semua bahan telah tersedia."

"Baik..."

Melihat semua bahan herbal yang telah tertulis, gadis itu menganggukan kepalanya.

"Bagaimana jika tuan keluar, dan biarkan ayahku beristirahat lagi? Jujur ruangan ini harus steril."

"Tidak bisa." Bintang menyangkal keinginan gadis itu.

"Tuan..."

"Jujur saja, ayahmu terkena racun yang menghambat sel darah yang seharusnya mengobati luka malah menjadi tak berfungsi, selain itu racun ini juga telah menyerang semua pembuluh darah dan juga jantung... Aku hanya ingin tahu dari mana asal racun ini berasal."

Gadis itu tercengang, lalu menatap Bintang dengan serius.

"Apa benar yang tuan bicarakan? Jika begitu, apa yang harus ku jelaskan kepada atasan ayahku? Ayahku adalah komandan pasukan Negara Amerta, identitasnya tak biasa. Jadi untuk memastikan keamanannya, Jendral besar tidak ingin siapapun menganggu waktu peristirahatannya!"

"Kamu tenang saja, katakan bahwa aku hanya seorang pembantu yang menjaga kebersihan dan melaporkan setiap kondisi kepadamu. Lagi pula ini hanya semalam, maka kamu akan tahu banyak kebenaran yang harus kamu tahu."

Gadis itu mengangguk, entah kenapa dia merasa bahwa apa yang dikatakan Bintang adalah kebenaran. Saat ini, dia tidak perduli akan hal lain kecuali keselamatan ayahnya. Hingga setelah gadis itu keluar.

Bintang mulai menatap pria paruh baya itu yang sebenarnya telah tersadar ketika dia memeriksa kondisi tubuhnya.

"Tuan apa kamu Dewi Medist yang dikatakan oleh putri kecilku itu?"

"Aku tak berani merebut identitas besar itu. Yang pasti putri kecil anda telah mengeluarkan giok kehidupan, jadi sudah tugasku untuk menyelamatkan anda."

Pria itu kembali memejamkan matanya, hingga saat melihat bahwa pria itu tidur terlelap. Bintang mulai menghela napas dan bergumam.

"Seharusnya yang akan masuk keruangan akan mengecek kondisinya."

Kraaak!

Pintu ruangan terbuka, Bintang dengan reflek berdiri dan memberi sambutan kepada pria bertubuh gempal yang tak lain adalah Dokter Tirta.

"Ka-kamu kenapa ada disini?!"

"Ha? Apa tuan sebelumnya mengenaliku?" Sembari memberikan senyum tipis, Bintang bersikap seolah tidak mengetahui sosok siapa didepannya itu.

"Penjaga! Ada penipu disini! Kenapa kalian membiarkannya masuk begitu saja?!" Dokter Tirta berteriak hebat. Dia sungguh tak menyangka bagaimana sosok Bintang dapat memasuki ruangan seorang komandan kusus pasukan penjagaan Negara Amerta!

Mendengar teriakan itu, salah satu penjaga mulai memasuki ruangan. Dia menodongkan senjata api kearah Dokter Tirta.

"Dia adalah pembantu baru nona Anya. Kamu sebagai dokter seharusnya dapat menjaga situasi tetap tenang, tapi  kini malah berteriak! Kamu kira disini merupakan taman bermain?!"

Dokter Tirta terdiam, ancaman ini nyata! Dia tidak bisa banyak bertingkah kecuali membiarkan sosok Bintang juga berada disisinya.

"Baiklah..."

Penjaga itu mengangguk, dia menatap Bintang dengan tatapan berbeda, lalu keluar dari ruangan dengan santai.

Setelah beberapa saat. Situasi berubah menjadi tenang, Bintang terus menatap apa yang dilakukan oleh Dokter Tirta.

Dia menyuntikan cairan berwarna sedikit kehijauan kearah selang infus yang membuat Bintang mulai membuka mulutnya.

"Seorang dokter mengutamakan keselamatan nyawa pasiennya, tapi baru kali ini seorang dokter ingin membunuh pasiennya. Dokter Tirta, dengan identitasmu sebagai dokter terbaik di kota ini, apa begini caramu bertindak?"

Dokter Tirta tersenyum tipis, "Bintang kamu jangan sok pintar, lagi pula Komandan ini tengah menjalani masa koma, jadi apa semua penjaga ini akan percaya bahwa aku akan membunuhnya?"

Mendengar hal itu, Bintang mendekatkan diri kearah ayahnya yang ingin memaki dokter Tirta segera  menekan syaraf otot pergerakannya agar membiarkan Dokter Tirta pergi tanpa timbul rasa curiga.

"Benar juga, aku hanya seorang pembantu... Apa yang aku lihat tentu bisa dapat kamu bungkam dengan mudah!"

"Tahu diri juga, tapi kusarankan jangan ikut campur urusanku, jika hal ini terjadi itu hanya akan membawamu kedalam bencana yang tak pernah kamu pikirkan!" Dokter Tirta yang telah menyelesaikan tugasnya segera keluar dari ruangan

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   253.

    Anak panah berdesing menembus udara, menyambar bahu Ardhana dengan kecepatan tinggi. Ia menunduk cepat, berputar di udara, dan mendarat di atap rumah batu yang sebagian sudah runtuh. Api membakar di bawahnya, menyebar ke segala penjuru kota Kardaya.“Jangan biarkan dia lolos!” teriak seorang perwira dari bawah. “Panah! Panah berapi!”Rentetan anak panah berujung api terlepas ke langit malam. Ardhana berlari di atas atap, melompat dari satu bangunan ke bangunan lain. Setiap kali kakinya menjejak, pecahan genting berhamburan.CTIIING!Ia menebas dua anak panah di udara, lalu berputar cepat. Aura pedangnya menyalakan kilau biru di tengah kobaran merah.Dari jauh, pasukan Kardaya yang mengenakan zirah merah keperakan mulai mengepung dari empat arah. Mereka membentuk formasi busur, memanfaatkan jalan-jalan sempit sebagai perangkap.“Anggota paviliun Teratai Suci!” teriak salah satu prajurit. “Kau telah membawa neraka ke kota ini! Serahkan dirimu!”Ardhana berhenti di ujung atap, pandangann

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   252.

    Ledakan demi ledakan mengguncang kota Kardaya. Api menjilat langit malam, asap hitam menutup bulan. Jeritan, dentingan pedang, dan suara bangunan runtuh bergema di seluruh penjuru kota.Ardhana berdiri di tengah reruntuhan pasar utama, rambutnya tertiup angin panas, matanya menatap ke sekeliling dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan antara marah, bingung, dan kecewa.“Shinra!” teriaknya keras, suaranya mengalahkan bising ledakan. “Apa yang kalian lakukan?!”Shinra muncul dari balik kobaran api, pakaian perangnya berlumuran debu dan abu. Di tangan kanannya, pedang panjang berlumuran darah segar, dan di belakangnya, puluhan anggota Paviliun Teratai Suci terus menyerang warga dan pasukan penjaga kota.“Perintah Nimira jelas,” katanya dingin. “Hancurkan Kardaya sampai tak tersisa. Mereka semua pengkhianat yang menyembunyikan kebenaran!”Ardhana mencengkeram gagang pedangnya kuat-kuat. “Bukan begitu caranya! Aku datang untuk mencari kebenaran, bukan untuk membantai warga sipil!”Shinra

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   251.

    Nimira berbalik tanpa berkata apa pun lagi. Gaun putih keperakannya berayun lembut setiap kali ia melangkah, meninggalkan jejak embun yang perlahan menghilang di lantai batu. Ardhana mengikutinya, langkahnya mantap tapi wajahnya penuh tanya.Mereka berjalan menyusuri lorong panjang di balik altar, di mana dinding batu berhias relief teratai dan naga berselimut lumut lembap. Semakin jauh ke dalam, udara terasa makin berat, seperti menyimpan rahasia besar tentang organisasi yang ada dibawah tanah kota Tujuh Hantu.Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan berbentuk bulat. Di tengahnya, terdapat meja batu berukir lambang Teratai Suci, dan di atasnya terhampar peta tujuh wilayah rahasia. Lentera hijau kebiruan menggantung rendah, menyorot beberapa titik merah yang berkilau seperti darah.Nimira berhenti di depan meja, lalu menatap Ardhana.“Putra naga… Kakekmu, Sang Maha Raja, memang mati ditangan pejuang berani mati negara Teratai Suci ini.”Ardhana mengerutkan kening. “Aku tahu itu?

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   250.

    Dari balik kolam teratai yang berkilau samar, bayangan seorang wanita melangkah perlahan. Suara langkahnya tenang, tapi setiap langkah seolah menggetarkan air di sekelilingnya.Gaunnya berwarna putih keperakan, panjang menyentuh lantai, dan topeng perak menutupi setengah wajahnya. Rambutnya diikat tinggi dengan pita merah muda pucat satu-satunya warna lembut di tempat penuh bayangan itu.Ardhana mulai mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan tajam wanita itu. Mata yang tenang, tapi terlihat cukup berbahaya.Wanita itu berbicara, suaranya sejuk namun mengandung wibawa yang tak bisa ditolak.“Namaku Nimira, penerus kepala Paviliun Teratai Suci. Dan kau…” ia berhenti sejenak, menatap tajam ke arah plakat emas di tangan Ardhana. “Kau membawa simbol kehormatan tanpa izin langsung dariku. Itu berarti, seseorang di luar memberi kepercayaan besar padamu. Tapi di sini, sebuah kepercayaan akan berlaku tergantung kemampuan seseorang…”Nimira mengangkat tangannya, dan air di kolam be

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   249.

    Tujuh kota Hantu.Kota ini terlihat sunyi, dari jauh tempat Ardhana berdiri, dia melihat beberapa penjaga yang tengah berlalu lalang.Terlihat ketat, tapi mereka mengingatkan tentang pasukan yang pernah menginvasi negara Amerta."Blades... Mereka adalah anggota Blades..."Pedang tajam tersarung rapi, mengenakan cadar hitam. Pasukan Blades mungkin pernah dikalahkan oleh ayahnya. Tapi tahun demi tahun telah terlewati, mungkin kemampuan mereka akan meningkat setelah melihat kekalahan ketika menangkap ayahnya."Katanya pasukan ini terus memburu pasukan Pemberontak, tapi kenapa mereka tak dapat menemukan paviliun teratai suci?" dipenuhi banyak pertanyaan. Ardhana tanpa rasa gentar mulai melangkah.Dia menyelinap, dari balik pohon satu ke pohon lainnya.Hingga ditengah aksi senyapnya. Ardhana berjongkok di balik reruntuhan tembok, matanya memperhatikan gerak pasukan itu.Gerakan mereka rapi, berdisiplin. Setiap langkah terhitung, seperti tak membiarkan suara lain masuk kedalam pendengaran

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   248. Menuju kota tujuh Hantu.

    Ardhana mengangkat dagu, senyum tipis tak lekang dari wajahnya. Suara ranting patah di bawah kaki—tanda mereka tak lagi bersembunyi. Angin dingin malam menerpa, menambah kesunyian sebelum badai.“Jadi kalian memilih perang di hutan,” katanya pelan. “Baiklah. Ayo tunjukkan alasan kalian membawa pedang malam-malam.”Salah seorang dari sepuluh itu maju; suaranya serak, seperti yang sering dipakai para eksekutor. “Kalian membuat malu Komandan Lio, bocah! Jadi perintahnya jelas, bunuh atau bawa tubuhmu kembali… hidup atau mati, bayarannya sama!”Ardhana menatap mereka. Sekilas ia membaca ketakutan terpendam pada mata mereka, tapi keserakahan yang dipupuk oleh janji upah. Membuat keberanian untuk ditugaskan oleh Lio. Wuuuuuush! Wuuuuuush!Tanpa ampun, para penyerang menyerbu serempak. Mereka ingin cepat menyelesaikan seorang pemuda sendirian, dengan satu kesalahan fatal.Namun Ardhana mundur satu langkah, lalu bergerak seperti bayangan. Tidak ada jurus ajaib, hanya teknik tangkas yang dila

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status