Ia dijatuhkan oleh pengkhianatan, dilucuti dari kehormatan, dan dibuang layaknya pecundang. Tapi tak ada yang tahu … ia akan kembali. Harvey Vaelmont, bangsawan muda yang lembut dan terhormat, dihancurkan oleh orang yang paling ia percaya. Difitnah berkhianat kepada kerajaan, keluarganya dilenyapkan, dan ia sendiri nyaris tewas disiksa. Namun di ambang kematian, jiwanya bersatu dengan roh prajurit masa depan ---seseorang yang juga hancur oleh pengkhianatan dan cinta palsu. Kebangkitan itu bukan sekadar mukjizat. Itu adalah awal dari rencana panjang balas dendam. Dari budak tambang yang dilupakan sejarah, Harvey bangkit, ditempa oleh penderitaan, dilatih oleh ahli taktik buangan, dan dikuatkan oleh seorang wanita sederhana yang tulus menjaga keluarganya. Ia membangun kekuatan dalam diam, membentuk aliansi dalam bayang-bayang. Dari pecundang, ia menjadi pahlawan. Bukan hanya untuk keluarganya, juga untuk kerajaan yang telah menghancurkannya.
View MorePagi itu langit Averlin cerah, tapi udara istana terasa lebih dingin dari biasanya. Harvey Vaelmont dan ayahnya melangkah dengan anggun memasuki gerbang istana. Balairung kerajaan menjulang megah di depan sana. Pusat kekuasaan kerajaan Averlin yang telah lama mereka layani dengan setia.
Seperti biasa, beberapa dayang tak dapat mengalihkan pandangan dari ketampanan pemuda bangsawan yang terkenal karena budi pekerti, dan masa depan gemilang itu, sambil berbisik-bisik, sebelum segera berlalu karena dipelototi penjaga istana.
“Jangan lupa untuk tetap rendah hati, jika Baginda memujimu.” Duke Alden Vaelmont memperingatkan sang putra saat mereka berdua berada di anak tangga menuju balairung, tempat pertemuan dengan Baginda biasa diselenggarakan.
Pemuda bangsawan itu tersenyum dan menjawab dengan lembut, “Tentu, ayah. Aku hanya melakukan tugasku." Dia mengarahkan tangannya dengan sopan, untuk mempersilakan sang ayah melangkah naik lebih dulu.
Pria paruh baya yang ketampanannya tak kalah dengan sang putra, adalah penasehat pertama Baginda Raja Alexander, penguasa kerajaan Averlin di Graceland. Pakaian kebesaran yang khas serta pembawaannya, menambah kewibawaan. Membuat siapa pun segan. Di sisinya, Harvey Vaelmont mengikuti dengan tenang dan langkah mantap.
Darren Lysarre mengikuti di belakang mereka seperti biasa, dengan tangan penuh dokumen. Dia pria biasa yang ikut terangkat derajatnya karena menjadi sahabat Harvey. Pria tampan itu melangkah tegap dengan dagu terangkat tinggi. Kesombongan yang membuat banyak orang tak senang. Ekspresi liciknya bertolak belakang dengan Harvey yang tak membedakan kelas sosial.
“Darren, apa kau sudah membawa semua dokumen yang kusiapkan tadi malam?” Harvey bertanya sebelum mereka memasuki ruang pertemuan.
“Sudah semua. Sangat lengkap!” jawab Darren mantap.
Segaris senyum licik muncul di wajahnya. Tapi Harvey tak sempat melihatnya, karena pintu balairung sudah dibuka, dan mereka melangkah masuk. Harvey dan ayahnya memberi salam hormat yang dalam pada semua orang yang sudah hadir lebih dulu.
“Yang Mulia Baginda Raja, tiba!”
Gelegar suara penjaga memberi tahu kedatangan penguasa negeri. Semua orang berdiri dengan rapi sebagai tanda penghormatan.
Raja masuk dan mengangguk singkat. Lalu duduk dengan berwibawa di singgasana megah berwarna merah tua. Tangannya diangkat, memberi isyarat agar semua pejabat negara di ruangan itu, duduk.
Sidang dimulai. Satu per satu pejabat memberikan laporan. Terdengar debat, kecaman hingga argument di antara mereka, sampai Raja membuat keputusan atas masalah yang sedang dibahas. Kini giliran Harvey, ia berdiri tegak, bersuara jelas, dan memulai laporannya tentang pembangunan garnisun timur. Proyek besar system pertahanan negara di perbatasan timur, yang diawasi langsung olehnya.
"Sebagaimana tertulis dalam laporan ini," ujar Harvey, mengulurkan tangan ke Darren, meminta dokumen yang dikerjakannya semalaman. "Kami telah mencapai kemajuan sebesar tujuh puluh persen, dengan pengawasan harian dan distribusi logistik yang tercatat detail."
Darren maju, alih-alih menyerahkan berkas yang diminta Harvey, ia malah membuka satu dokumen lain, lalu mengangkatnya tinggi. Tanpa mengindahkan keheranan Harvey dan protokol kerajaan, pria itu bicara dengan suara lantang.
"Paduka Raja, izinkan hamba menunjukkan dokumen yang lebih akurat terkait proyek ini.” Suaranya tenang, penuh kepercayaan diri.
Harvey terkejut dan menoleh cepat. "Itu bukan laporan yang aku siapkan!" Pria muda yang biasanya tenang, kali ini tak dapat menyembunyikan rasa tak senangnya. Matanya menatap Darren tajam menusuk.
"Maafkan saya, Tuan Harvey, tapi saya menemukan ketidaksesuaian dalam laporan Anda. Sebagai bawahan yang setia, saya merasa wajib memperbaikinya."
Duke Alden yang dapat menilai bagaimana bahaya situasi saat itu, segera berdiri. "Apa maksudmu, Darren? Dokumen itu tidak sah. Kami telah memverifikasi semua data semalam!"
Darren menyeringai kecil seperti serigala yang menunjukkan taring untuk mengancam. "Para pekerja di lapangan dan pengawas logistik menyatakan sebaliknya, Tuan Alden. Saya membawa saksi yang akan menjelaskan."
Harvey dan Duke Alden kembali terkejut. Tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. “Apa maksudmu, Darren?”
Harvey betul-betul tak menyangka. “Bukankah kau selalu bersamaku setiap kali mereka datang memberi laporan?”
Raja segera mengangkat tangan, kegusaran tampak jelas di matanya yang menyorot tajam ke arah Duke Alden. "Bawa mereka masuk!"
Penjaga istana keluar ruangan dan tak lama masuk dengan dua pria berpakaian kasar khas pekerja. Keduanya didorong ke hadapan Raja, agar menunduk hormat.
“Bicara!” perintah salah satu penjaga dengan kasar.
"Kami adalah kepala pengawas di garnisun timur, Paduka. Kami mencatat penyimpangan logistik, penarikan dana tidak wajar, dan distribusi material yang tak pernah sampai ke lokasi."
"Bohong!" Harvey secara refleks melangkah maju mendengar tuduhan keji itu. "Aku sendiri yang turun langsung setiap minggu! Semua catatan ...."
"Catatan bisa dipalsukan, Tuan Harvey," potong salah satu saksi.
Suara Raja meninggi. "Darren, apakah kau menelusuri semua bukti ini sendiri?"
"Dengan teliti, Paduka. Saya juga telah berbicara dengan bendahara wilayah dan kepala logistik. Semua menunjuk pada penyimpangan dana oleh pihak Duke Alden dan putranya."
“Yang Mulia, Saya bahkan tidak pernah mengenal dua orang ini sebagai pengawas di lapangan. Mereka telah menebar fitnah keji!” Harvey mencoba mengatakan kebenarannya.
Raja membeku di singgasananya. Siapa pun bisa melihat api kemarahan dari mata itu, ditujukan pada Harvey dan ayahnya. Sikapnya berubah dingin. Membuat seisi ruangan besar itu dilanda kecemasan akan akhir dari skandal tak terduga ini. Semua mata mengarah pada Duke Alden yang wajahnya memerah marah.
"Tak kusangka telah memelihara ular ...." Duke Alden tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Rona wajahnya sebentar pucat, sebentar merah padam, karena merasa terhina.
“Yang Mulia, Saya selalu menjaga kredibilitas sejak muda. Hingga puluhan tahun mengabdi, tidak pernah sekalipun, mengkhianati Paduka.”
Raja bergeming. Hanya menatap tajam penuh amarah dan tarikan napasnya yang naik turun dengan cepat, adalah bukti bahwa beliau sedang meredakan gejolak emosi yang melanda.
Harvey maju mendekati Darren, masih dengan ekspresi tak percaya. "Apa kau lupa kalau aku yang menyelamatkan hidupmu saat itu? Aku yang memberimu tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kepercayaan. Sekarang, kau menikamku dengan fitnah ini?"
Darren terus melangkah mundur dengan langkah profokatif. Sementara Harvey tanpa sadar mengikuti pancingan rubah licik itu, hingga langkah Darren terhenti kala punggungnya menyentuh tiang utama balairung. Wajah pria itu memucat penuh ketakutan.
“Siapa pun, tolong aku. Apa Tuan Muda Harvey ingin membungkamku di hadapan Baginda?”
Kata-kata Darren yang bernada ketakutan itu menghentikan langkah Harvey seketika. Dia akhirnya sadar siapa pria yang selama ini dia percayai. Kini wajahnya memucat, menyadari betapa serius fitnah yang dibuat rubah itu.
Penjaga datang mendekat, merentangkan tombak untuk memberi batasan antara Harvey dan Darren. “Mundur!” perintahnya tegas.
Seorang penjaga lain menyeret Harvey agar kembali berdiri di hadapan Baginda Raja. Di sana ayahnya juga sudah diperintah untuk berlutut di lantai. Harvey shock! Dia kehilangan seluruh kemampuan berpikirnya karena serangan tiba-tiba Darren.
Raja berdiri. Tangannya menggenggam selembar kertas yang diangkat ke atas. "Alden Vaelmont, Harvey Vaelmont. Kalian telah dituduh melakukan pengkhianatan terhadap kerajaan. Bukti-bukti ini terlalu jelas untuk diabaikan. Demi keadilan, hingga investigasi selesai, kalian berdua dicopot dari seluruh jabatan. Kasus ini segera ditangani oleh Kementrian Kehakiman!"
"Paduka!” seru Duke Alden terkejut atas cepatnya keputusan dibuat. “Yang Mulia, beri kami waktu membawa bukti dan saksi pembanding. Tolong … selidiki ini dengan jelas sebelum menjatuhkan hukuman!”
“Sudah bukan kapasitasmu untuk memberiku nasehat!” Raja menjawab dengan nada dingin. Tangannya dikibaskan. Dua penjaga melakukan perintah dengan cepat. Menyeret dua orang bangsawan yang sudah dilucuti kewenangannya, keluar dari balairung di bawah tatapan tercengang pejabat yang hadir.
“Kalau kau sibuk mikirin sakit, kau tak lihat seranganku berikutnya.”Tongkat Farel Moric melesat ke arah kepala.Refleks, Harvey menunduk. Tongkatnya sendiri terangkat. Bukan karena terlatih, tapi murni insting bertahan. Kayu bertemu kayu, terdengar bunyi keras.Farel Moric mengangkat alis. “Lumayan.”Harvey mengatur napas. “Kalau aku jatuh, aku mati, kan?”“Kurang lebih.” Farel Moric kembali menekan, serangannya deras, terukur. Ia tidak memberi Harvey ruang untuk berpikir panjang.Namun di tengah kepanikan, Harvey mulai melihat pola. Setiap kali Farel Moric menyerang dari kanan, ada jeda sepersekian detik sebelum serangan berikutnya. Setiap kali menyapu rendah, bahunya sedikit terbuka.Itu celahnya.Saat serangan Farel Moric berikutnya menghantam ke samping, Harvey sengaja mundur satu langkah, membiarkan pukulan nyaris mengenai dirinya. Lalu menusuk lurus ke arah perut lawannya.Farel Moric berhenti, tongkatnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Harvey. Serangan Harvey pun berhent
Harvey mendengus pendek. “Kalau cuma mau ngoceh, simpan buat dirimu sendiri.”“Bocah keras kepala,” gumam pria itu. “Padahal kau butuh sekutu di tempat macam ini.”Harvey berbalik menghadapnya, tatapannya dingin. “Sekutu? Aku sudah cukup dikhianati sahabatku sendiri. Aku nggak butuh siapa-siapa.”Pria itu tersenyum samar, seolah sudah menduga jawaban itu. “Pengkhianatan memang dendam yang sangat dalam. Tapi ada hal yang lebih parah …,”Pria itu sengaja menjeda kalimatnya, menunggu reaksi Harvey. Tapi, karena pria muda yang diajaknya bicaara tak menunjukkan reaksi sama sekali, akhirnya dia melanjutkan juga kata-katanya dengan penekanan yang dalam.“Yang paling menyakitkan adalah … dikhianati oleh kerajaan yang kau bela mati-matian!”Kening Harvey berkerut. Ia nyaris tak tertarik, tapi nada suara pria itu terlalu yakin. “Siapa kau sebenarnya?”“Aku pernah jadi kepala strategi perang Jenderal Ravian,” jawabnya pelan. “Nama Jenderal Ravian pasti pernah kau dengar, kan?”Mata Harvey membel
Harvey diseret melewati koridor panjang tambang yang beraroma segala macam. Saat ia masuk ke dalam area kerja, puluhan budak lain menoleh ke arahnya. Itu pemandangan yang mengejutkan: puluhan pria dengan rantai di kaki mereka, tubuh penuh luka, wajah pucat dengan ekspresi datar dan lelah. Harvey melihat mereka seperti robot yang bergerak berdasarkan perintah.“Kerja! Atau kelaparan!” teriak seorang pengawas, kasar. Peringatan itu ampuh membuat semua orang kembali menggenggam alat untuk mengikis dinding gunung.Harvey tahu, ia baru saja dilempar ke neraka yang sesungguhnya. Sebuah pukulan di punggung, membuatnya terhuyung ke depan. Sebuah alat penggali dihentakkan ke dadanya. Sedikit sakit, tapi teriakan pengawas bermata tajam itu, memaksanya melupakan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.“Kerja!”Pria itu menunjukkan satu area tersendiri untuk dikerjakan Harvey. Jauh dari yang lain. Kejadian sebelumnya jadi pelajaran berharga untuk tidak tidak membiarkan Harvey dekat dengan peker
Sorak-sorai para pengawas dan pekerja tambang menggema gegap gempita. Kerumunan itu menciptakan lingkaran manusia yang jadi pembatas hidup, mengelilingi Harvey dan sang Kapten di tengah. Para budak diliburkan pagi itu. Kapten sangat ingin memberikan “hiburan” pada mereka.“Budak melawan Kapten?” salah seorang pengawas tertawa keras. “Ini akan jadi pertunjukan paling menggelikan!”“Kurasa itu hanya akan berakhir brutal!” Rekannya menimpali.“Mari kita taruhan,” ajak salah seorang memanaskan situasi. “Apakah dia mati, atau sekarat dihajar Kapten?”“Mati!” Seseorang menyerahkan sekeping uang pada rekannya yang membuka pertaruhan dadakan.“Sekarat!” Yang lain ikut serta.Pertaruhan makin meramaikan suasana yang tak biasa di tambang itu.Di tempatnya, Kapten mengayunkan tongkat besinya, memutarnya sekali di udara hingga terdengar suara mendesis. Senyum sinis melekat di bibirnya. “Kau benar-benar tak tahu tempatmu. Aku akan memberimu pelajaran berharga, agar kau tak lupa statusmu di sini!H
Pekerja yang tadi dipukuli telah mengalami banyak luka dan nyaris pingsan di sebelah pengawas yang lengannya bersimbah darah. Lalu terdengar suara dan derap langkah ramai menuju ke tempat mereka. Itu adalah para petugas dan pengawas tambang yang memeriksa apa yang terjadi di dalam.“Siapa—”Pengawas itu tak perlu bertanya lagi. Dia bisa lihat kalau Harvey yang telah melakukan tindakan seberani itu. Alat penggali itu masih digenggamnya kuat dan sorot mata penuh kebencian.“Kau sudah bosan hidup, rupanya!”Kemudian tiga pengawas menedang dan memukuli Harvey tanpa ampun. Tak ada pekerja lain yang peduli. Semua membalikkan badan dan kembali bekerja. Harvey mengingat itu dengan api amarah.***Guyuran hujan membuatnya sadar dan mencoba membuka mata. Tubuhnya menggigil keras. Tanda dia sudah lama terpapar hujan dan angin dingin. Rasa nyeri dan senut-senut di wajah, serta kesulitannya membuka mata, meyakinkannya bahwa wajahnya sudah tak berbentuk saat ini.“Kau gigih juga. Seperti kucing yan
“Bangun! Kerja!”Petugas tambang menggebrak pintu ruangan itu. Membuat semua yang sedang istirahat terbangun dengan wajah terkejut. Begitu pula Harvey. Dia memang sudah cukup istirahat. Tapi tubuhnya makin lemah, sebab tak diberi makan sejak dia tersadar kemarin. Harvey juga tak melihat orang-orang sakit lain mendapatkan makaan kemarin.“Aku lapar, bisakah--”“Kerja dulu, baru makan!”Teriakan itu disertai pemukulan kayu ke dinding batu, membuat hati yang lemah, merasa kecut dan takut.Beberapa orang yang sudah sadar dan sanggup berdiri, segera berdiri. Kemudian berjalan secara otomatis ke pintu. Patuh tanpa suara. Harvey digebah untuk bangun, meski terhuyung-huyung.“Tak ada makan siang gratis! Semua harus kerja untuk makan!”Teriakan itu kembali terdengar dari ruangan berdinding batu lainnya, saat Harvey berjalan mengikuti barisan orang-orang. Mereka digiring ke mulut gua batu yang dapat dipastikan bahwa itu adalah pintu tambang. Beberapa orang keluar dari dalam sana dengan wajah ko
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments