Share

EPISODE 4

Adero berjalan meninggalkan ruangan yang sudah dipenuhi dengan hiasan untuk menyambut kedatangannya. Bukan tidak ingin merayakan pesta, ia hanya masih belum menerima sebagian kecil kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Ia mengamati irisan kue keju yang kini ada di piring yang sedang ia pegang, kembali mengingatkannya pada masa di mana ia memilih untuk terus mengalah.

Adero sudah sampai di depan kamarnya yang ada di lantai 3, ia hendak membuka pintu kamar yang pastinya akan selalu menjadi tempat ternyaman di rumah ini, akan tetapi tangan lain sudah lebih dulu membuka pintu. Ia menatap kepada seseorang yang tersenyum padanya sambil menyandarkan tubuh pada tembok.

“Aku sudah memberi tahu Axel untuk tidak melakukan hal konyol seperti itu. Tapi, Kakak tahu dia kan? Dia hanya ingin menyenangkan keponakannya.”

Adero membalas senyum pria itu. “Aku baik-baik saja, Ale. Jika itu yang kamu pikirkan. Sebaiknya kamu bergabung dengan keluarga yang lain. Aku belum melihat tuan rumah dan nyonyanya, sepertinya mereka sibuk.”

Ale menyentuh pundak Adero yang hendak masuk kamar. “Apa Kakak baik-baik saja berada di sini?”

Adero mengangguk mantap. “Jika aku tidak baik-baik saja, aku sudah menolak untuk datang ke sini.”

Mengabaikan bagaimana reaksi Ale, Adero masuk ke dalam kamarnya. Sudah lama ia tidak pernah mendatangi kamar ini, dan segala aroma di kamarnya masih tetap sama, semoga ia juga betah berlama-lama.

Adero mengunci pintu kamarnya, ia sengaja melakukan hal itu karena menghindari orang lain yang mungkin saja asal masuk tanpa ketuk pintu, karena ia sungguh membenci perilaku satu itu. Ia lantas meletakkan piring berisi kue keju yang sedari tadi ia pegang, ke meja dekat lemari. Sedangkan ia membawa tubuhnya menuju ke balkon.

Dari balkon, seperti pada hari-hari di mana ia menghabiskan waktu di kamar, pemandangan yang ia lihat adalah bangunan-bangunan tinggi di Spanyol. Hari ini, cuaca cerah mendukung, membuat ia dapat melihat jelas burung-burung beterbangan menuju ke awan. Ia sedikit menunduk dan memicingkan matanya, kala mobil mercedes-benz warna hitam masuk gerbang.

Adero dapat melihat ayahnya membuka pintu kursi penumpang, dan tak lama kemudian, seorang wanita yang merupakan ibu tirinya, ikut keluar dari mobil yang sama. Bukan hal itu yang menjadi pusat perhatiannya, tetapi sesuatu yang dibawa oleh para pelayan.

Adero mendengar pintu kamarnya diketuk, sehingga ia segera meninggalkan balkon dan menuju ke arah pintu. Ia memutar kunci pintu dan membukanya, tampaklah Juniel, pria yang menjemputnya di bandara.

“Ada perlu apa kamu kemari?” tanya Adero.

Juniel memberikan selebaran menu kepada Adero. “Nyonya Avalee sudah menyiapkan menu-menu yang Tuan sukai. Tapi, dia bingung Tuan ingin makan apa siang hari ini. Jadi, dia menyuruhku datang ke sini untuk menanyakan.”

Adero melihat selebaran menu yang diberikan oleh Juniel. Ia sangat yakin, jika menu ini dibuat berkat bantuan sang ayah atau Axel. Memang tidak buruk, tetapi ia terlihat tidak tertarik.

“Aku akan makan di luar. Kamu bisa mengatakan itu pada majikanmu.”

Adero melempar selebaran menu kepada Juniel, lalu ia menutup pintu kamar. Tak peduli dengan apa yang akan terjadi pada Juniel, ia benar-benar kehilangan nafsu makan. Di tambah, ia sangat yakin jika ibu tirinya ingin mencoba dekat dengannya. Sayang sekali, ia tidak berminat.

Adero menyadari ponselnya berbunyi, ia pun mengambil ponsel dari saku celana dan menerima panggilan dari ibunya. Ternyata, sang ibu menanyakan kondisinya, padahal ini baru beberapa jam setelah keberangkatan. Tidak hanya itu, sang ibu juga menanyakan kabar keluarga Alyward di sini, dan ia hanya menanggapi seadanya.

Adero masih terus mendengarkan ucapan ibunya yang menyuruh ia berperilaku baik dan tak menyusahkan. Ia juga harus patuh dan berbakti kepada ayah dan ibu tirinya serta menyayangi adik dan saudara tirinya. Adero mengangguk lemah dalam diam, ia lalu membiarkan sang ibu menutup telepon dan ia segera melempar ponsel ke atas kasur.

Adero mengganti pakaiannya, perutnya sudah sangat lapar. Jadi, ia akan pergi ke luar untuk mencari makan. Setelah siap, ia keluar kamar dan menuruti anak tangga. Ia bisa melihat bahwa ibu tirinya sedang sibuk memasak di dapur. Ia mengangkat bahu, baginya Avalee hanya sedang mencari muka.

“Oh, Ade, kamu mau pergi ke mana?”

Adero menoleh, dan menatap ke arah ibu tirinya yang menyadari bahwa ia akan pergi. “Aku akan pergi mencari makan di luar.”

Avalee terlihat mendekat dan memegang lengan kanan Adero. “Mommy sudah memasakkan sesuatu untukmu. Apa kamu akan tetap pergi? Sekali saja, kamu cicipi makanan buatan mommy ya?”

Adero menahan tawa. Ia tak habis pikir kenapa Avalee menyebut dirinya sebagai mommy atau sejenisnya. Ia benar-benar muak sekarang dengan acara merajuk yang ditunjukkan oleh istri dari pria yang menjadi majikan di rumah ini.

“Sayang sekali, tapi aku benar-benar merindukan masakan di restoran tempat biasa aku membeli makanan dulu. Mungkin lain kali, aku akan makan di rumah.”

Avalee tetap menggenggam lengan Adero, ia bahkan menyeret Adero ke kursi makan dan menyuruhnya duduk. “Kamu coba dulu, jika masakanku tidak sesuai dengan seleramu, kamu bisa pergi, bagaimana?”

Adero bangun dari kursi, ia memegang bahu Avalee dan tersenyum manis meski terpaksa. “Aku menghargai apa yang Nyonya Avalee lakukan, tapi aku benar-benar ingin makan di luar. Kalau begitu, aku pergi dulu.”

Adero dapat melihat dari sudut matanya, Avalee melempar celemek yang dipakai. Ia terkekeh kecil, sebelum berhadapan dengan Arkan, sang pemilik rumah.

“Apa ini yang Ibumu ajarkan padamu?!”

Adero sudah tahu jika Arkan pasti memperhatikan dari jauh. Ia cukup mengenal pria yang sudah membuat dirinya ada di dunia ini. Dan lihat saja, dari raut wajah Arkan, Adero bisa menebak bahwa pria itu akan segera mengeluarkan amarahnya.

“Jika aku menjadi Tuan, aku pasti malu sekali, meminta seorang anak yang tidak pernah diperlakukan dengan baik kembali ke dalam rumahnya. Aku baru datang dan Tuan sudah membentakku? Rasanya aku menyesal telah datang ke rumah ini.”

Adero melangkah melewati Arkan yang tergelak karena ucapannya. Ia tidak akan pernah bisa mengubah apa pun dari sang ayah, kecuali keputusannya memberikan perusahaan padanya mengingat dialah anak kandung yang diharapkan oleh mendiang kakeknya untuk menjadi penerus. Ia tahu betul, andai bukan karena sang kakek, ia tidak akan pernah diizinkan menginjak rumah ini.

Adero berpapasan dengan Aron beserta kedua anaknya setelah keluar dari pintu utama. Aron terlihat menyuruh kedua anaknya untuk masuk ke dalam. Ia hendak mengabaikan pria itu, tetapi Aron sudah lebih dulu menahan lengannya.

“Aku tahu betul bahwa hubungan kita tidak baik. Tapi, tidak bisakah kamu memaafkanku? Aku benar-benar tidak pernah berusaha untuk menghancurkan hidupmu. Situasi yang selalu membawaku pada kejadian di mana, aku selalu menyakitimu.”

Adero tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah pepohonan yang ada di halaman rumahnya.

“Aku hanya mengharapkan maaf darimu, agar setidaknya aku bisa mengurangi sedikit beban hidupku. Aku menyadari betul bahwa kehadiran ibuku dan aku di rumah ini menjadi hal paling menyakitkan bagimu. Tapi ... tidak bisakah kamu menerimanya saja?”

Adero benci permintaan maaf dengan berbagai macam alasan. Ia berpikir bahwa Aron tidak benat-benar meminta maaf padanya. Sehingga, ia tidak perlu meladeni ucapan hari ini. Ia melangkah meninggalkan Adero menuju ke garasi mobil.

Di garasi, ia meminta pelayan mengambilkan kunci mobil lamborghini warna biru hitam. Selanjutnya, setelah ia menerima kunci mobil, ia menaiki mobil dan melajukannya. Dari kaca spion, ia bisa melihat jika Aron memandanginya dari tempat ia berdiri. Ia memang harusnya memaafkan bukan? Tetapi entah mengapa hatinya masih terus tidak bisa menerima. Ia mungkin hanya butuh waktu.

Mobil yang dikendarai oleh Adero melaju normal di jalanan. Ia berniat mencari restoran yang tak jauh dari perusahaan Alyward, sekaligus mengetahui lokasi pasti perusahaan itu. Ia pun menemukan restoran seafood di dekat perusahaan dan memarkirkan mobilnya.

Keluar dari mobil, Adero bisa menghirup aroma seafood yang sangat enak untuk segera ia cicipi. Ia tersentak kaget saat tanpa sengaja seorang wanita menabraknya.

“Maaf, saya tidak sengaja.”

Adero tidak fokus dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu. Tetapi, entah mengapa wanita itu mengingatkannya pada Helena Dwight, istri Aron yang juga meninggal karena kecelakaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status