Adero berjalan meninggalkan ruangan yang sudah dipenuhi dengan hiasan untuk menyambut kedatangannya. Bukan tidak ingin merayakan pesta, ia hanya masih belum menerima sebagian kecil kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Ia mengamati irisan kue keju yang kini ada di piring yang sedang ia pegang, kembali mengingatkannya pada masa di mana ia memilih untuk terus mengalah.
Adero sudah sampai di depan kamarnya yang ada di lantai 3, ia hendak membuka pintu kamar yang pastinya akan selalu menjadi tempat ternyaman di rumah ini, akan tetapi tangan lain sudah lebih dulu membuka pintu. Ia menatap kepada seseorang yang tersenyum padanya sambil menyandarkan tubuh pada tembok.
“Aku sudah memberi tahu Axel untuk tidak melakukan hal konyol seperti itu. Tapi, Kakak tahu dia kan? Dia hanya ingin menyenangkan keponakannya.”
Adero membalas senyum pria itu. “Aku baik-baik saja, Ale. Jika itu yang kamu pikirkan. Sebaiknya kamu bergabung dengan keluarga yang lain. Aku belum melihat tuan rumah dan nyonyanya, sepertinya mereka sibuk.”
Ale menyentuh pundak Adero yang hendak masuk kamar. “Apa Kakak baik-baik saja berada di sini?”
Adero mengangguk mantap. “Jika aku tidak baik-baik saja, aku sudah menolak untuk datang ke sini.”
Mengabaikan bagaimana reaksi Ale, Adero masuk ke dalam kamarnya. Sudah lama ia tidak pernah mendatangi kamar ini, dan segala aroma di kamarnya masih tetap sama, semoga ia juga betah berlama-lama.
Adero mengunci pintu kamarnya, ia sengaja melakukan hal itu karena menghindari orang lain yang mungkin saja asal masuk tanpa ketuk pintu, karena ia sungguh membenci perilaku satu itu. Ia lantas meletakkan piring berisi kue keju yang sedari tadi ia pegang, ke meja dekat lemari. Sedangkan ia membawa tubuhnya menuju ke balkon.
Dari balkon, seperti pada hari-hari di mana ia menghabiskan waktu di kamar, pemandangan yang ia lihat adalah bangunan-bangunan tinggi di Spanyol. Hari ini, cuaca cerah mendukung, membuat ia dapat melihat jelas burung-burung beterbangan menuju ke awan. Ia sedikit menunduk dan memicingkan matanya, kala mobil mercedes-benz warna hitam masuk gerbang.
Adero dapat melihat ayahnya membuka pintu kursi penumpang, dan tak lama kemudian, seorang wanita yang merupakan ibu tirinya, ikut keluar dari mobil yang sama. Bukan hal itu yang menjadi pusat perhatiannya, tetapi sesuatu yang dibawa oleh para pelayan.
Adero mendengar pintu kamarnya diketuk, sehingga ia segera meninggalkan balkon dan menuju ke arah pintu. Ia memutar kunci pintu dan membukanya, tampaklah Juniel, pria yang menjemputnya di bandara.
“Ada perlu apa kamu kemari?” tanya Adero.
Juniel memberikan selebaran menu kepada Adero. “Nyonya Avalee sudah menyiapkan menu-menu yang Tuan sukai. Tapi, dia bingung Tuan ingin makan apa siang hari ini. Jadi, dia menyuruhku datang ke sini untuk menanyakan.”
Adero melihat selebaran menu yang diberikan oleh Juniel. Ia sangat yakin, jika menu ini dibuat berkat bantuan sang ayah atau Axel. Memang tidak buruk, tetapi ia terlihat tidak tertarik.
“Aku akan makan di luar. Kamu bisa mengatakan itu pada majikanmu.”
Adero melempar selebaran menu kepada Juniel, lalu ia menutup pintu kamar. Tak peduli dengan apa yang akan terjadi pada Juniel, ia benar-benar kehilangan nafsu makan. Di tambah, ia sangat yakin jika ibu tirinya ingin mencoba dekat dengannya. Sayang sekali, ia tidak berminat.
Adero menyadari ponselnya berbunyi, ia pun mengambil ponsel dari saku celana dan menerima panggilan dari ibunya. Ternyata, sang ibu menanyakan kondisinya, padahal ini baru beberapa jam setelah keberangkatan. Tidak hanya itu, sang ibu juga menanyakan kabar keluarga Alyward di sini, dan ia hanya menanggapi seadanya.
Adero masih terus mendengarkan ucapan ibunya yang menyuruh ia berperilaku baik dan tak menyusahkan. Ia juga harus patuh dan berbakti kepada ayah dan ibu tirinya serta menyayangi adik dan saudara tirinya. Adero mengangguk lemah dalam diam, ia lalu membiarkan sang ibu menutup telepon dan ia segera melempar ponsel ke atas kasur.
Adero mengganti pakaiannya, perutnya sudah sangat lapar. Jadi, ia akan pergi ke luar untuk mencari makan. Setelah siap, ia keluar kamar dan menuruti anak tangga. Ia bisa melihat bahwa ibu tirinya sedang sibuk memasak di dapur. Ia mengangkat bahu, baginya Avalee hanya sedang mencari muka.
“Oh, Ade, kamu mau pergi ke mana?”
Adero menoleh, dan menatap ke arah ibu tirinya yang menyadari bahwa ia akan pergi. “Aku akan pergi mencari makan di luar.”
Avalee terlihat mendekat dan memegang lengan kanan Adero. “Mommy sudah memasakkan sesuatu untukmu. Apa kamu akan tetap pergi? Sekali saja, kamu cicipi makanan buatan mommy ya?”
Adero menahan tawa. Ia tak habis pikir kenapa Avalee menyebut dirinya sebagai mommy atau sejenisnya. Ia benar-benar muak sekarang dengan acara merajuk yang ditunjukkan oleh istri dari pria yang menjadi majikan di rumah ini.
“Sayang sekali, tapi aku benar-benar merindukan masakan di restoran tempat biasa aku membeli makanan dulu. Mungkin lain kali, aku akan makan di rumah.”
Avalee tetap menggenggam lengan Adero, ia bahkan menyeret Adero ke kursi makan dan menyuruhnya duduk. “Kamu coba dulu, jika masakanku tidak sesuai dengan seleramu, kamu bisa pergi, bagaimana?”
Adero bangun dari kursi, ia memegang bahu Avalee dan tersenyum manis meski terpaksa. “Aku menghargai apa yang Nyonya Avalee lakukan, tapi aku benar-benar ingin makan di luar. Kalau begitu, aku pergi dulu.”
Adero dapat melihat dari sudut matanya, Avalee melempar celemek yang dipakai. Ia terkekeh kecil, sebelum berhadapan dengan Arkan, sang pemilik rumah.
“Apa ini yang Ibumu ajarkan padamu?!”
Adero sudah tahu jika Arkan pasti memperhatikan dari jauh. Ia cukup mengenal pria yang sudah membuat dirinya ada di dunia ini. Dan lihat saja, dari raut wajah Arkan, Adero bisa menebak bahwa pria itu akan segera mengeluarkan amarahnya.
“Jika aku menjadi Tuan, aku pasti malu sekali, meminta seorang anak yang tidak pernah diperlakukan dengan baik kembali ke dalam rumahnya. Aku baru datang dan Tuan sudah membentakku? Rasanya aku menyesal telah datang ke rumah ini.”
Adero melangkah melewati Arkan yang tergelak karena ucapannya. Ia tidak akan pernah bisa mengubah apa pun dari sang ayah, kecuali keputusannya memberikan perusahaan padanya mengingat dialah anak kandung yang diharapkan oleh mendiang kakeknya untuk menjadi penerus. Ia tahu betul, andai bukan karena sang kakek, ia tidak akan pernah diizinkan menginjak rumah ini.
Adero berpapasan dengan Aron beserta kedua anaknya setelah keluar dari pintu utama. Aron terlihat menyuruh kedua anaknya untuk masuk ke dalam. Ia hendak mengabaikan pria itu, tetapi Aron sudah lebih dulu menahan lengannya.
“Aku tahu betul bahwa hubungan kita tidak baik. Tapi, tidak bisakah kamu memaafkanku? Aku benar-benar tidak pernah berusaha untuk menghancurkan hidupmu. Situasi yang selalu membawaku pada kejadian di mana, aku selalu menyakitimu.”
Adero tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah pepohonan yang ada di halaman rumahnya.
“Aku hanya mengharapkan maaf darimu, agar setidaknya aku bisa mengurangi sedikit beban hidupku. Aku menyadari betul bahwa kehadiran ibuku dan aku di rumah ini menjadi hal paling menyakitkan bagimu. Tapi ... tidak bisakah kamu menerimanya saja?”
Adero benci permintaan maaf dengan berbagai macam alasan. Ia berpikir bahwa Aron tidak benat-benar meminta maaf padanya. Sehingga, ia tidak perlu meladeni ucapan hari ini. Ia melangkah meninggalkan Adero menuju ke garasi mobil.
Di garasi, ia meminta pelayan mengambilkan kunci mobil lamborghini warna biru hitam. Selanjutnya, setelah ia menerima kunci mobil, ia menaiki mobil dan melajukannya. Dari kaca spion, ia bisa melihat jika Aron memandanginya dari tempat ia berdiri. Ia memang harusnya memaafkan bukan? Tetapi entah mengapa hatinya masih terus tidak bisa menerima. Ia mungkin hanya butuh waktu.
Mobil yang dikendarai oleh Adero melaju normal di jalanan. Ia berniat mencari restoran yang tak jauh dari perusahaan Alyward, sekaligus mengetahui lokasi pasti perusahaan itu. Ia pun menemukan restoran seafood di dekat perusahaan dan memarkirkan mobilnya.
Keluar dari mobil, Adero bisa menghirup aroma seafood yang sangat enak untuk segera ia cicipi. Ia tersentak kaget saat tanpa sengaja seorang wanita menabraknya.
“Maaf, saya tidak sengaja.”
Adero tidak fokus dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu. Tetapi, entah mengapa wanita itu mengingatkannya pada Helena Dwight, istri Aron yang juga meninggal karena kecelakaan.
Nevilla mendadak kesal karena ia sudah menunggu hampir 15 menit, tetapi Serena malah membatalkan janji. Ia tidak habis pikir, padahal Serena sendiri yang mengajaknya bertemu dan mengatakan bahwa akan mendengarkan segala keluh kesahnya.Pesan masuk membuat Nevilla menatap ponselnya. Ia tidak sempat menghitung sudah berapa kali Aron mengirimi pesan dan meneleponnya. Sejujurnya, ia hanya takut, jika tidak bisa menerima Aron yang ternyata bukan anak kandung Pak Arkan.Kepala Nevilla mendadak pusing, ia juga belum makan. Kebetulan sekali, dari tempat janji temu bersama Serena, tak jauh dari perusahaan ia kerja. Ia pun berniat mencari restoran terdekat untuk makan.Nevilla menaruh ponsel ke tas, ia lalu membawa langkahnya menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai. Mungkin karena lokasi yang ia datangi merupakan lokasi industri, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang. Hanya beberapa orang yang terlihat ingin mengunjungi perusahaan, para penjaga gedung, dan bebera
Adero sempat terpaku setelah wanita yang ia tabrak berlalu pergi. Ia menggelengkan kepala, mencoba untuk berpikir jernih karena wanita yang menabraknya bukanlah Helena Dwight. Ia membereskan pakaiannya, lalu berjalan menuju ke pintu restoran.Tangan kanannya mendorong pintu dan ia pun masuk. Menengok ke arah kanan kiri, ia bisa menemukan di mana wanita bermata biru itu duduk. Ia mencoba mengabaikan, tetapi entah mengapa ia merasa bahwa wanita itu memperhatikannya.Adero mengangkat bahu lalu mendekati kursi yang tampak kosong. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawakan buku menu.Adero membuka buku menu, baginya menu di restoran ini cukup biasa saja, sehingga ia bahkan tidak tahu harus memesan apa. Sepertinya, ia sudah sering memakan jenis makanan yang ditawarkan restoran yang ia datangi ini. Akan tetapi, ia tetap harus memesan makanan karena perutnya sudah lapar.“Aku pesan salmó marinat amb anet, suquet de rap amb patates, h
Sinar matahari pagi hari ini begitu silau, Nevilla membuka mata dan langsung mencari keberadaan ponselnya. Setelah menemukan ponselnya, ia melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Dengan mata yang masih mengantuk, ia bangun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya, saat ia melihat seseorang yang mengantarnya pulang kemarin, berdiri di dekat pintunya.Nevilla meneguk air liurnya, ia memundurkan langkah bersamaan dengan Carlson yang mendekatinya. Tangan kekar milik Carlson dengan sigap memeluk tubuhnya, membuat ia menegang seketika. Embusan napas berat dari Carlson membuat ia menahan napas. Ia memejamkan mata, ketika wajah Carlson semakin mendekat ke arahnya.Nevilla tidak bisa berbuat apa pun selain menuruti gerakan tubuhnya, ia bahkan tak bisa menolak saat pria itu mengangkat tubuhnya dan membaringkan dirinya di kasur. Ia mendadak bersemu, saat Carlson membuka kaos yang dipakainya. Bentuk tubuhnya yang kekar, serta tatapan yang tak pernah lepas darinya, membuat
Nevilla terpaku sejenak, ia melirik ke arah Serena yang tampak terkejut. Ia menarik napas lalu mengembuskannya. “Kenapa harus aku?”Sungguh, Nevilla sangat menyadari bahwa pertanyaan yang ia ajukan sangat konyol. Ia bekerja di perusahaan itu cukup lama dan bahkan ia malah menanyakan hal yang tidak penting padahal ia hanya perlu menyetujuinya saja.“Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin kalau kamu bisa membantu ayahku, tapi Aron tetap bersikeras bahwa kamu memiliki bukti mengenai bagaimana ayahku mendapatkan proyek-proyek besar.”“Kamu salah,” bantah Nevilla. Ia sangat yakin, jika Aron melakukan hal ini karena ingin bertemu dengannya, ia memang beberapa hari ini tidak pernah membalas atau menerima panggilan dari pria itu.Nevilla mencari kertas dan juga pulpen, setelahnya ia menuliskan alamat seseorang dan memberikannya pada Ale. “Kamu bisa menemui sekretaris Viana, dia yang selalu bersama dengan Pak Davi dan Pak Arkan untuk mengurus proyek-proyek besar.”
Nevilla terkejut bukan main setelah tanpa sengaja harus bertemu dengan Aron dan kedua anaknya, yaitu Vincent dan Vena. Tak ada pilihan lain, Nevilla menerima ajakan Aron untuk bergabung dengannya, Serena bahkan tak keberatan akan fakta itu. Mereka kemudian memilih untuk pergi ke salah satu restoran untuk makan siang.Aron melambaikan tangan kepada salah seorang pelayan yang langsung datang menghampiri. Ia lalu menyerahkan daftar menu pada Nevilla dan Serena. Serena tanpa basa-basi memesan makanan kesukaannya dan Nevilla hanya mengikuti Serena tanpa berniat memilih menu yang lain.Aron memerhatikan Nevilla dan ia melihat perubahan yang aneh pada wanita itu. Nevilla biasanya begitu ramah dan sesekali menggoda Vincent, hari ini wanita itu tidak melakukan apa pun, kecuali duduk sambil memandangi seluruh sudut restoran. Aron merasa dirinya ingin menanyakan sesuatu, tetapi ia tahan karena ia tidak memiliki hak apa pun terhadap wanita itu.“Tante Villa habis dari
Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, pihak kepolisian memutuskan untuk memulangkan Arkan karena ketika mereka menghubungi pelapor, tidak ada jawaban meski sudah sampai sepuluh kali panggilan. Mereka juga memberikan kembali bukti kuat yang sempat ditunjukkan.“Sebagai polisi, akhir-akhir ini aku tidak cukup mengerti dengan pikiran para pelapor. Memangnya mereka bisa membawa kasus ini ke pengadilan jika dihubungi saja tidak bisa,” omelnya.Para polisi yang ada di situ menepuk pundak polisi yang kini menatap ke arah Nevilla dan Axel. Ia lalu menyerahkan berkas tadi. “Ini kau simpan baik-baik. Aku akan mencoba melacak nomor yang menghubungi kami untuk penangkapan Pak Arkan dan segera memberi tahu,” jelasnya.Nevilla mengangguk mantap, ia bersama Axel kemudian menuju ke sel di mana Arkan berada. Arkan terlihat duduk lalu tersenyum saat polisi datang membukakan gerbang sel. Axel langsung memeluk ayahnya sedangkan Nevilla mengangguk sopan
Sera menyesali perbuatannya, sehingga ia meminta maaf dan akan melakukan hal apa pun. Ia merasa tak berdaya jika harus berurusan dengan polisi, maka ia memohon kepada Arkan untuk tak membawanya ke kantor polisi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, jika ia harus menetap di penjara.“Aku sudah memikirkan solusi untukmu. Pergi dan temui orang yang telah menyuruhmu melakukan hal ini. Axel akan mengikutimu dan akan ada putraku yang lain juga."Arkan berlalu pergi memasuki kembali bangsal tempat Ale berada. Ia masih tidak menyangka akan mendapati Sera berani mengkhianati kepercayaan. Sudah beberapa tahun, wanita itu selalu menjadi salah satu kepercayaan perusahaan dan ia kini bersekongkol dengan seseorang untuk menghancurkannya.Ale sempat mendengar percakapan di luar tadi. Ia sebenarnya tak menduga jika sang ayah akan dengan cepat mengetahui fakta itu. Ia sengaja diam saja, karena ia meyakini jika Sera melakukan hal ini atas paksaan bukan keinginannya sendiri.
Berita penangkapan manajer perusahaan AIA Company, Daniel Fappe, sedang menjadi topik hangat di antara para karyawan. Mereka masih sibuk berbisik-bisik sebelum waktu masuk perusahaan. Ada yang duduk di kantin bersama karyawan yang lain, berjalan sambil sesekali menyapa karyawan lalu saling memberikan informasi, atau memilih untuk diam-diam berbicara di toilet.Nevilla mendengarkan dengan saksama apa yang dijelaskan oleh Serena. Sahabatnya itu sedari tadi belum berhenti bicara karena masih tidak menyangka jika Daniel yang terlihat baik hati dan tidak sombong itu adalah pelaku kejahatan. Pria itu sengaja memasukkan satu perusahaan setelah melakukan pembayaran besar untuk sebuah proyek kerja sama. Tak tanggung-tanggung, Daniel bahkan hendak membuat AIA Company bangkrut, alasannya ia memiliki dendam pribadi terhadap Aron yang seharusnya tidak membuatnya putus dengan sang pacar. Sesuatu yang benar-benar tak bisa diduga.Suara tepukan tangan membuat para karyawan melihat ke