Nevilla mendadak kesal karena ia sudah menunggu hampir 15 menit, tetapi Serena malah membatalkan janji. Ia tidak habis pikir, padahal Serena sendiri yang mengajaknya bertemu dan mengatakan bahwa akan mendengarkan segala keluh kesahnya.
Pesan masuk membuat Nevilla menatap ponselnya. Ia tidak sempat menghitung sudah berapa kali Aron mengirimi pesan dan meneleponnya. Sejujurnya, ia hanya takut, jika tidak bisa menerima Aron yang ternyata bukan anak kandung Pak Arkan.
Kepala Nevilla mendadak pusing, ia juga belum makan. Kebetulan sekali, dari tempat janji temu bersama Serena, tak jauh dari perusahaan ia kerja. Ia pun berniat mencari restoran terdekat untuk makan.
Nevilla menaruh ponsel ke tas, ia lalu membawa langkahnya menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai. Mungkin karena lokasi yang ia datangi merupakan lokasi industri, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang. Hanya beberapa orang yang terlihat ingin mengunjungi perusahaan, para penjaga gedung, dan beberapa pasangan yang mungkin tidak punya tempat bertemu sehingga memutuskan bertemu di dekat perusahaan mereka.
“Villa!”
Teriakan seorang wanita membuat Nevilla menghentikan langkahnya, ia menoleh untuk mencari keberadaan seseorang yang memanggil namanya. Ia tersenyum kala seseorang yang ia kenal bernama Helga, datang menghampiri dengan napas terengah-engah.
“Aduh, aku capek banget. Ngomong-ngomong, kok kamu ada di sini sih, Vil?”
Nevilla mengangkat bahu. “Biasa, Serena. Dia mengajak untuk bertemu lalu membatalkan janji karena pacarnya datang.”
Helga terkekeh sambil menepuk bahu Nevilla. “Begitu memang kalau teman punya pacar, janji sama sahabat sendiri mendadak di batalkan. Terus, sekarang kamu mau ke mana?”
“Aku mau cari makan, karena lapar banget. Kamu sendiri, mau ke mana?”
“Kebetulan aku janji ketemu sama Naila, anak baru yang dari Indonesia itu. Aku mau makan di restoran seafood sama dia. Kamu mau ikut tidak?”
Nevilla menimbang-nimbang tawaran Helga. Ia kemudian mengangguk, menyetujui untuk ikut karena memang tidak enak juga kan kalau makan sendiri.
“Bagus, kalau begitu. Tapi Naila belum datang, terjebak macet.”
Nevilla mengangguk paham. “Ya sudah, kita tunggu Naila di situ saja,” kata Nevilla menunjuk ke arah samping dekat toko buku.
Helga menyetujuinya, dan mereka berdiri menunggu kedatangan Naila. Helga beberapa kali melihat ponselnya, ia sedang memastikan bahwa Naila akan datang dengan cepat serta memberi tahu kepada Naila ada yang ikut bergabung.
“Vil, aku mau tanya sesuatu sama kamu, boleh tidak?” tanya Helga, ia menaruh ponsel ke dalam tas sambil menatap Nevilla meminta persetujuan.
Nevilla menatap Helga dengan perasaan aneh, pasalnya bukankah tidak ada larangan untuk bertanya. Tetapi, kenapa Helga bertanya demikian, ia jadi bingung.
“Tanya saja, Hel. Kamu ini, biasa juga suka tanya.” Nevilla terkekeh, sedangkan Helga terlihat canggung.
Helga belum menanyakan apa pun setelah mendapat persetujuan dari Nevilla, wanita itu malah memandang ke arah jalanan yang sepi. Ia melirik Nevilla berkali-kali, ia benar-benar penasaran tetapi tak enak jika bertanya dengan posisi mereka yang seperti ini.
“Aku takut kamu tersinggung, Vil. Aku tidak jadi tanya.”
Mendengar ucapan itu, Nevilla merasa heran. Meski begitu, ia hanya mengangguk. Jujur saja, ia kini jadi penasaran dengan apa yang ingin ditanyakan oleh Helga.
“Aku jadi tanya,” ujar Helga sambil membasahi bibirnya. Ia menarik Nevilla untuk mendekat, dan berbisik, “Kamu benar punya hubungan spesial sama Pak Aron?”
Nevilla tidak pernah kaget dengan pertanyaan semacam itu, yang membuat raut wajahnya berubah tidak nyaman yaitu karena ia benar-benar tidak ingin membicarakan pria itu. Ia sendiri merasa sangat dibodohi mengetahui bahwa pria itu seakan-akan memberi harapan, tetapi tidak pernah ada kata kita dalam hubungan mereka.
“Itu gosip datang dari mana?” tanya Nevilla dengan ketus.
Helga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia sangat yakin, jika berita yang beredar di perusahaan tidak benar. Lihat saja, Nevilla mendadak tidak ramah padanya.
“Aku hanya dengar saja. Aku bertanya untuk memastikan bahwa tidak ada berita palsu yang aku dengar. Lagi pula, menyimpulkan tanpa tahu kebenarannya kan tidak baik.”
Nevilla menggeleng, ia menatap ke arah Helga yang juga menatapnya dengan senyum canggung. “Aku tidak heran ketika semua orang mengira aku memiliki hubungan spesial dengan Pak Aron. Aku pikir juga, aku sangat berharap bisa berhubungan dengannya. Tapi, tidak ada apa pun di antara aku dan dia. Jadi, berita itu tidak benar.”
“Sudah aku duga, bahwa kamu tidak memiliki hubungan dengan Pak Aron.” Helga mengembuskan napas lega. “Tapi memang iya, kalau Pak Aron suka datang ke ruang kerjamu?”
“Tidak bisa dipungkiri, aku bekerja tepat di bawah pimpinan wakil direktur. Dia mendatangiku untuk bertanya beberapa hal mengenai pekerjaan.”
Helga mengangguk paham. “Apa kamu tidak merasa ada yang aneh?”
Nevilla menatap heran pada Helga. “Apa maksudmu?”
Helga menggeleng. “Tidak apa-apa. Sebentar, aku mengangkat teleponku dulu.”
Nevilla membiarkan Helga mengangkat teleponnya. Ia sendiri berkutat dengan pikirannya. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika bertemu dengan Aron nanti. Ia tidak tahu akan berbuat apa.
“Maaf ya, menunggu lama.”
Nevilla mengamati penampilan wanita yang baru datang. Untuk seseorang yang tinggal di kota, pakaian yang Naila kenakan begitu sederhana.
“Tidak apa-apa. Aku Nevilla. Kamu Naila kan?”
Wanita itu mengangguk dan menjulurkan tangan yang langsung mendapatkan balasan. “Naila, salam kenal.”Helga menghampiri keduanya setelah menerima telepon. “Ayo, aku sudah memesan kursi di sana.”
Nevilla, Helga, dan Naila jalan beriringan. Mereka sesekali menceritakan tentang diri mereka. Helga memberi tahu budaya Spanyol kepada Naila, membuat Naila memahami sedikit demi sedikit kota yang akan menjadi tempat tinggalnya. Tak hanya itu, Naila juga bertanya banyak hal pada Nevilla mengenai perusahaan tempat mereka bekerja. Tanpa terasa, mereka sudah sampai di restoran seafood yang dimaksud.
Nevilla menghentikan langkah, membuat Helga dan Naila melakukan hal yang sama. “Kalian masuk dulu saja, aku akan menerima telepon dulu.”
Helga dan Naila meninggalkan Nevilla di dekat tempat parkir. Nevilla menerima telepon dari Aron, akhirnya ia menyerah ketika pria itu memberi tahu tentang sesuatu. Ia minggir ketika mobil lamborghini warna biru hitam memasuki tempat parkir. Ia masih terus mendengarkan Aron dari seberang sana.
Nevilla memasukkan ponselnya ke tas, ia bersyukur bahwa Aron menutup teleponnya. Ia lalu berjalan untuk segera masuk ke restoran. Ia hampir limbung saat tanpa sengaja menabrak seseorang.
Nevilla memegang kepalanya, ia menyeimbangkan tubuhnya lalu berkata, “Maaf, saya tidak sengaja.”
Nevilla tidak mendengar jawaban dari seseorang yang ditabraknya, sehingga ia mendongakkan wajah. Ia sempat tersentak kaget, saat menatap sosok yang baginya begitu sangat tegas dan memukau.
“Tidak masalah, apa kamu baik-baik saja?”
Nevilla meneguk air liurnya dan mengangguk. “Aku? Aku baik-baik saja.”
“Baik, kalau begitu.”
Nevilla masih menatap mata abu-abu kebiruan yang juga menatapnya begitu lekat. Ketika sadar, ia segera mengalihkan pandangan. “Saya permisi,” ucapnya.
Nevilla merasakan dadanya bergemuruh begitu cepat. Ia segera mendorong pintu restoran dan mencari keberadaan Helga dan Naila. Setelah menemukan tempat duduk keduanya, ia langsung duduk dengan perasaan yang aneh. Ia juga sempat menatap ke arah pintu restoran yang terbuka oleh pria yang tadi ditabraknya.
Terkutuklah Nevilla, ia benar-benar sedang dalam perasaan yang berbahaya karena mengidamkan pria selain Aron.
"Terima kasih," ujar Adero lalu memutuskan sambungan telepon. Dia baru saja menghubungi seseorang yang bisa diajak kerja sama untuk mengungkap kembali kasus kecelakan yang terjadi pada Hana. Bagaimana pun, dia tidak bisa bertindak seorang diri, mengingat akan banyak orang yang dilibatkan dalam kasus tersebut.Adero mengambil jaket yang sudah dia siapkan. Hari ini, dia tidak berniat untuk pergi ke perusahaan karena sudah muak dengan segala pembicaraan mengenai penolakan investor yang baginya akan merugikan itu. Ayahnya, Arkan, bersikeras kalau dia harusnya nenerima saja karena selalu ada risiko dalam setiap pengambilan keputusan. Sayangnya, dia tidak menikmati itu, mengingat dia tidak mau rugi besar."Tidak ke kantor?" Ale tersenyum tipis pada Adero yang baru saja keluar dari kamar. Dia sudah menduga kalau kakaknya itu akan melakukan hal seenaknya ketika pendapatnya tidak dihargai. Dia kembali bertanya, "Hari ini mau ke mana?"Adero mengangkat bahu acuh seakan dia tak mau Ale tahu meng
Kepulangan Vena langsung disambut oleh Avalee. Ia bersyukur karena cucunya baik-baik saja. Ia pun mendekat pada Arkan untuk mengetahui kondisi kesehatan Vena. “Bagaimana? Dokter tidak mengatakan hal buruk kan? Aku sungguh khawatir,” ujarnya sambil mengikuti langkah Arkan menuju ruang keluarga.“Apakah Adero dan Ale belum pulang?” tanya Arkan tanpa menjawab pertanyaan Avalee. Ada yang ingin ia bicarakan pada kedua putranya itu. Tentunya terkait dengan kemajuan perusahaan dan kerja sama dengan investor dari Jerman. Ia sudah mendapatkan laporannya dari Nevilla sehingga harus segera bicara mengenai kejelasannya.“Aku bertanya keadaan cucuku. Bisakah kamu tidak mengurusi pekerjaan dulu? Aku yakin mereka bekerja dengan baik.” Avalee tidak suka ketika Arkan malah fokus pada perusahaan saat mereka sedang membahas keluarga di rumah.Arkan mengangguk paham. “Vena baik-baik saja. Dia harus istirahat yang banyak dan meminta obat. Tak ada
Kecelakaan mobil yang mengakibatkan Hana terbunuh karena ada yang salah dengan remnya. Tak hanya itu saja, sebenarnya ban belakangnya pun sudah hampir pecah saat itu. Seseorang yang Adero temui kemarin memberi tahu kalau ini mungkin kasus pembunuhan. Ada seseorang yang merencanakan lebih dulu kecelakaan yang menimpa Hana tetapi tertutupnya kasus membuat segalanya tidak terkuak. Jika ingin membuka kasus ini kembali, pasti membutuhkan waktu yang banyak karena tak mudah untuk dieksekusi lagi.Bayangkan saja. Sudah enam tahu lamanya. Adero sadar kalau saran ibunya memang benar. Ia harus bergerak maju, menjalani kehidupan yang membawanya ke titik melupakan. Namun, semakin ia berusaha untuk melupakan, nyatanya ia tak bisa menghindarinya kalau ia masih penasaran dengan siapa pelaku sebenarnya dan kenap. Hana tidak salah apa pun. Aron yang salah karena menghamilinya dan membawanya pada kematian. Ia tak akan melupakan kenyataan itu. Tak akan pernah.Adero menatap pintu yang sedari tadi
Arkan menatap Aron dengan tatapan menyelidik. Ia masih tak percaya kalau putra tirinya tidak tahu kalau badan Vena sudah panas sejak tadi pagi. Ia mendapatkan pesan dari Juniel yang kebetulan akan mengantar Vena ke sekolah. Juniel yang merasa kalau wajah Vena pucat segera menelepon Arkan dan memberi tahu kalau Vena sakit. Ketika dokter memeriksa pun dikatakan bahwa seharusnya ada gejala lebih dulu sehingga jika ditangani dengan tepat sebelum dibawa ke rumah sakit, Vena tidak akan pingsan.“Apakah kamu tidak membaca pesan dari ibumu? Dia juga meneleponmu beberapa kali. Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Arkan.“Aku harus menggantikan Adero mengurus proyek apartemen Helton. Jadi, aku tidak bisa menolaknya. Pesan dan panggilan itu aku minta maaf." Aron sadar ia telah salah mengabaikan pesan dari ibunya. Ini karena ia punya kesempatan untuk berdekatan dengan Nevilla dan baginya itu kesempatan agar hubungan mereka menjadi lebih baik lagi.Kening A
Kedatangan Nevilla ke perusahaan membuat karyawan yang datang berbisik-bisik. Ia menatap para karyawan dengan pandangan bingung lalu menaiki lift menuju ruangan barunya. Ia menatap pintu lift yang dibuka paksa oleh Malvin. Ia menatap tidak suka meskipun Malvin tersenyum padanya.“Aku tidak menyangka kalau kamu dengan mudahnya mampu menggantikan posisi Viana,” ujar Malvin setelah menekan nomor lantai yang hendak ia kunjungi. “Aku tahu kalau kamu merupakan satu-satunya kandidat yang cocok menggantikan Viana tetapi bukankah ini terasa aneh?”Nevilla ingin menjawab perkataan Malvin tetapi ia menahan diri karena sudah pasti akan terjadi keributan. Malvin juga biangnya gosip sehingga ia harus memastikan kalau pria itu tidak bicara macam-macam pada siapa pun sehingga ia menahan untuk tak bicara sampai pintu lift terbuka.“Bukankah kamu seharusnya turun?” Nevilla memandang Malvin dengan senyum bahagia. Ia berharap lega ketika pintu lift kem
Badan Nevilla terasa pegal karena ia harus menyelesaikan beberapa laporan yang harus dikirim hari ini. Ia menatap layar laptop dengan pandangan mengantuk tetapi ia tahan saja sebab ia harus mengerjakan tugas dengan baik, tak peduli siang atau malam. Ia telah mengambil posisi Viana tanpa perlu bersusah payah. Meski tahu menjadi sekretaris bukan pekerjaan yang mudah, ia sudah mengetahui segala risikonya. Ia menutup layar laptop setelah memastikan kembali semua laporan tidak ada yang salah. Ia menatap gadget yang berdering di meja dengan senyuman. Sudah lama wanita yang menyuruhnya pindah tak menghubunginya lagi.“Pagi, Helen. Ada apa?” tanya Nevilla dengan senyum merekah. Ia ingin sekali melakukan panggilan video tetapi ia tahu Helena tidak akan mau.“Aku minta maaf karena belum bisa memastikan, tetapi kamu harus tahu kalau posisiku di perusahaan akan mampu membawaku menemukan apa yang kamu cari.” Nevilla mendebarkan jawaban dari seberang sana dengan