Share

3. Rasa yang Tak Berbalas

Aku menghentikan laju mobilku saat ponselku bergetar lama, menandakan panggilan masuk.

[Ya, Ma?]

[W*’alaikumus salam.]

[Hehehe ... Assalamualaikum, Mama cantik.]

[W*’alaikumus salam. Kamu di mana? Kok, belum pulang? Biasanya, kan udah pulang. Kamu ke mana dulu? Awas, ya ke tempat enggak bener!]

[Ya, Allah. Ma, satu-satu dong!]

[Heleh!]

[Caca lagi di jalan, ini mau pulang.]

[Jalan mana? Jalan Sumatera?]

[Ngapain ke Sumatera?]

[Jangan ngalihin pembicaran, ya! Cepet jawab!]

[Caca tuh, beneran lagi di jalan mau pulang—]

[Sejak kapan dari kantor ke rumah makan waktu empat jam?]

[Ma, dengerin dulu, dong! Dari kantor tadi jam empat lewat lima belas menit. Nah, sekarang masih di jalan bentar lagi nyampe, kok. Kenapa si, Ma?]

[Mama titip belanjaan, udah Mama kirim ke hp kamu daftar belanjaannya. Jangan sampe ada yang kurang, abis dari situ langsung pulang! Jangan kelayaban!]

[Ya, Allah, Ma. Supermarketnya udah kelewat jauh, masa Caca harus puter balik? Kenapa enggak dari tadi ngabarinnya?]

[Kamu mau nyalahin, Mama? Salah sendiri, dari tadi ditelepon enggak dijawab-jawab! Awas jangan sampe ada yang kurang! Pake duit kamu dulu. Assalamualaikum.]

Mama menutup panggilan tanpa menungguku menjawab salam.

Astaga! Aku harus putar balik lagi? Aku menekan aplikasi chatting, melihat room chat dengan Mama. Benar, Mama sudah mengirimkan daftar belanjaan dari jam satu tadi siang.

Meski dongkol aku tetap melajukan mobilku menuju supermarket untuk membeli pesanan Mama. Aku mulai menggerutu, "kenapa bukan Ranita atau Rania saja sih! Mereka kan ada di rumah!"

Dua puluh menit kemudian aku sampai di supermarket. Aku mencari tempat parkir yang kosong, sepuluh menit berlalu aku baru bisa memarkirkan mobil. Ini yang kubenci saat mengunjungi mall pada weekend begini, parkiran akan penuh selain itu kasir supermarket juga pasti sangat antri.

Setelah sampai di dalam supermarket aku mengambil satu troli. Aku melihat lagi daftar belanjaan titipan Mama. Mataku membulat, astaga! Apa Mama tidak salah? Kenapa banyak sekali? 

Aku memutuskan untuk menelepon Mama, siapa tahu Mama khilaf saat sedang menulis daftar ini. Hingga tak sadar menuliskan banyak bahan makanan.

[Halo, Ma.]

[W* alaikumsalam, kamu udah selesai belanjanya?]

[Caca baru sampai, Ma! Cari parkiran weekend gini tuh susah!]

[Trus kenapa?]

[Ini Mama enggak salah daftar belanjanya?]

[Memangnya kenapa]

[Kok, banyak banget?]

[Udah bener itu.]

[Ini buat stok berapa hari?]

[Bukan buat stok, besok ada tamu spesial yang bakal dateng. Jadi, Mama mau masak yang spesial juga, dong!]

[Tamu spesial?]

[Enggak usah banyak tanya. Beli semua yang ada didaftar, abis itu cepet pulang. Assalamualaikum]

[W* alaikum salam]

Tarik.

Keluarkan.

Tarik.

Keluarkan.

Setelah menetralkan emosi dalam hati, aku mulai mendorong troli.

Memasukkan satu persatu barang yang ada dalam daftar, berpindah dari satu lorong ke lorong yang lain. Memilih-milih buah, sayur, ikan, daging, makanan kering hingga camilan.

Heh!

Aku yakin sekali camilan ini pasti titipan Rania dan Ranita, meski begitu aku tetap memasukkannya ke dalam troli.

Awas saja nanti di rumah!

***

Setelah melewati antrean panjang, akhirnya aku selesai melakukan pembayaran.

Tak sampai di situ kesabaranku terus di uji, setelah berhasil memasukkan enam kantong belanjaan ke dalam mobil. Aku kembali dibuat beristigfar, antrean keluar parkir tak kalah penuh.

Setengah jam menunggu akhirnya mobilku bisa keluar dari parkir, baru saja menghembuskan napas lega. Jalanan yang macet karena malam minggu membuatku ingin berteriak, tubuhku sudah sangat lelah ya, Tuhan.

***

Akhirnya pukul 21.15 aku sampai di rumah. Lelah di tubuh dan hati sudah menggunung, dengan langkah gontai aku memasuki rumah. Kedua tanganku masing-masing menjinjing kantung belanja.  

“Kak, martabaknya mana?”

“Enggak ada!”

“Lho, kok, enggak ada? Kan aku udah titip tadi!”

Saat sedang di jalan tadi Rania memang meneleponku, meminta dibelikan martabak. Dengan perasaan dongkol kututup telepon tanpa mendengarkan dia berbicara, apa semuanya harus aku yang lakukan?

“Lo beli sendiri aja! Gue udah capek!”

“Ish, kok, nyolot si? Kelamaan ngejomblo, ya, gini, nih!”

“Iya, gue jomblo. Kenapa?”

“Ih ... biasa aja, dong! Aku juga bisa beli sendiri, kok!”

“Gih! Beli sendiri sana! Punya kaki, punya tangan, kan?”

Setelah mengatakan itu, aku berlalu melewati Rania yang mengerucutkan bibir. Aku meletakkan semua kantong belanja di meja dapur, kecuali kantong berisi camilan.

“Kak, titipan camilanku mana?” tanya Rania saat dia melihatku membawa sekantong penuh camilan.

“Beli sendiri bisa, kan?”

“Jangan gitu dong, Kak. Di depan ada pacarku. Kan malu kalau enggak disuguhin camilan,” gerutunya.

“Enak banget, ya, jadi pacar lo! Mau camilan, ya, belilah!”

“Enggak ikhlas banget, sih! Aku ganti, kok, uangnya!”

“Elo! Kalau mau apa-apa jalan sendiri! Bukan malah nyuruh-nyuruh orang! Enggak liat gue bawa belanjaan seabreg?”

“Gitu aja, nyolot!” katanya dengan nada ketus.

“Gitu aja? Lo enggak tau perjuangan gue kayak apa!” jawabku mulai terpancing emosi.

“Ish ... brisik! Mana sini camilannya. Aku ganti uangnya!” jawaban Rania bagai menyulut api dengan bensin yang membakar habis seluruh kesabaran yang kupunya.

“Oke. Lo itung, ya. Jangan sampe ada yang kelewat! Biaya sekolah lo dari masuk sampe lulus SMA, trus biaya masuk kuliah sampe sekarang. Ditambah uang saku lo tiap bulan selama enam tahun ini. Totalnya lo transfer ke rekening gue!”

“Lo enggak ikhlas, Kak, sekolahin gue?”

“Bisa lo ganti duit gue? Ikhlas gue cuma buat orang yang bisa ngehargain gue! Bukan yang malah lantang ngehina gue, lo catet itu!”

“Caca! Rania! Kenapa ini?” sela Papa yang baru masuk ke dalam rumah bersama Mama di belakangnya.

“Kak Caca enggak ikhlas biayain sekolahku, Pa," adu Rania sembari melotot ke arahku.

“Dia bilang mau ganti uangku, kok," balasku tak terima.

“Bukan git—“

“Aku ini pulang kerja, harus putar balik cuma buat belanja. Seenaknya dia titip ini, titip itu tanpa tau gimana capeknya aku! Parkir antri, bayar antri, keluar parkir antri, di jalanan macet dan masih harus dititipin martabak! Dia! Seenaknya dia bilang bisa ganti uangku!” Napasku memburu, kukeluarkan semua unek-unekku.

Mama dan Papa hanya bisa memandang kami bergantian, sepertinya bingung harus membela siapa.

“Ca—“

“Kenapa, Ma? Mama mau bilang, kalau aku yang harus ngalah? Kalau aku yang salah? Sama seperti waktu kecil dulu sampe sekarang? Iya, Ma?”

Aku yakin sebelum Mama menyuruhku, pasti Mama sudah menyuruh Ranita atau Rania lebih dulu. Namun, karena keduanya menolak. Jadilah aku yang harus belanja, sedari dulu buat Mama akulah yang harus mengalah pada kedua adikku.

“Kamu ngerasa lebih hebat dariku hanya karena kamu udah punya pacar sedangkan aku belum. Iya, kan?” tukasku sambil berlalu dengan tetap menjinjing kantong camilan. Selama ini aku bukan orang yang perhitungan dengan uang, terlebih buat saudaraku sendiri. Beda cerita dengan kasus saat ini, aku telanjur saat hati."

“Maaf, Pa. Caca ke kamar dulu.”

Setengah berlari aku menuju kamar. Aku menutup pintu dengan kasar, air mataku luruh tak terbendung. Kehabisan tenaga dan hormon yang mendekati masa haid, membuat emosiku meledak. Aku terisak, belum lagi pertanyaan kapan nikah? Kapan punya pacar? Pertanyaan-ertanyaan kapan-kapan lain yang serupa membuatku tertekan.

Siapa sih yang tak ingin punya pasangan? Siapa juga yang tak ingin memiliki tambatan hati? Siapa yang tak ingin memiliki sandaran untuk berbagi segala hal? Aku juga mau, sama seperti wanita normal lainnya di luar sana. Tetapi aku bisa apa jika takdir belum memihak padaku?

Aku merebahkan tubuh di atas kasur, tak peduli pada pakaian yang seharusnya kuganti lebih dulu. Menatap langit-langit kamar, aku mengingat satu nama yang berhasil mencuri hatiku. Satu nama yang ada hingga kini, satu nama yang mungkin tak pernah menganggapku ada.

Satu nama yang mampu membuatku tersenyum hanya karena mengingatnya, satu nama dengan ribuan rasa bernama cinta. Sayang cinta itu tak pernah berbalas, pun sang empunya tak pernah tahu rasa yang kupunya untuknya.

.

.

.

.

.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status