Demi apa pun selama 27 tahun aku hidup, aku tak pernah sekali pun melihat Mama tersenyum begitu indah sekaligus mengerikan seperti sekarang ini. Aku kembali mengalihkan pandangan pada dua orang yang ada di belakang Mama. Dua orang dengan wajah hampir serupa dalam jenis kelamin berbeda itu sedang tersenyum ke arahku.Aku meringis sejadi-jadinya. Astaga, dalam keadaan tidak sakit saja aku merasa tak cantik. Apa lagi sekarang? Wajah pucat, bibir pucat, rambut bak singa, berkeringat, baju rumahan tipis karena sudah terlalu sering aku gunakan sekarang dalam keadaan yang sudah basah, dan satu ingatan tentang aktivitas pagi berhasil membuatku ingin menelenggelamkan diri ke laut. Ya, Tuhan … aku belum mandi.Langkah Mama dan dua orang tamunya itu makin mendekat ke arahku. Senyum Mama tak luntur, berbanding terbalik denganku yang hanya bisa pasrah. Senyuman Mama itu masih bertahan bahkan saat telah sampai di dekatku. Aku hanya bisa diam tanpa merasa bisa melakukan apa-apa. Ah … masa bodoh lah
Lalu apa yang dilakukan oleh pria itu selanjutnya membuatku ingin menjerit keras. Pria aneh itu tertawa terbahak sembari membawa langkahnya ke luar dari kamarku. Dia berbalik di ambang pintu. “Mukamu merah, Ca.”Setelah ngomong gitu, dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku, dan menutup pintu kamarku. Di dalam kamar aku masih bisa dengar suaranya yang tertawa kencang. Sumpah, aku baru tahu kalau Kak Kai memiliki sifat jahil. Astaga bisa-bisanya aku bersemu merah jambu hanya karen aulah jahilnya. Ish, jantungku juga kok norak banget, baru segitu saja udah deg-degan enggak karuan. Raisa bodoh banget!Usai membersihkan diri, memakai baju, aku sedikit memoleskan pelembap bibir agar bibirku tak terlalu pucat. Setelahnya aku menuruni tangga dengan hati-hati. Meski sudah lebih baik, sqakit di kepalaku masih terasa. Badanku juga masih lemas banget.Di tengah tangga, tiga orang yang sedang mengobrol asyik sambil menikmati secangkir teh dan sepiring camilan buatan Mama itu kompak menoleh ke a
Entah berapa lama aku tertidur, atau mungkin pingsan? Yang jelas aku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku merasa sinar lampu tepat di atas kepalaku. Sinar lampu yang aku rasa terlalu dekat, membuatku kesulitan membuka mata. Aku meringis saat merasakan seluruh tubuhku terasa remuk.“Caca ….”Aku tahu betul itu suara Mama. Aku ingin menjawab, tetapi tenggorokanku seakan-akan tak mau mengekuarkan suara. Aku mengerang kembali saat rasa dingin yang begitu hebat memeluk tubuhku erat. Aku seperti berada di dalam lemari es. Tubuhku menggigil hingga aku harus merapatkan gigi. Namun, di saat yang bersamaan rasa panas juga ikut menyebar seluruh nadi di dalam tubuh.Mataku masih enggan terbuka. Aku merasakan Mama menambah lembaran selimut atau apa pun itu. Namun, rasa dingin yang kurasakan enggak juga berkurang. Di sisi yang lain keringat terasa membasahi tubuh. Tak lama suara pintu dibuka terdengar.“Bagaimana keadaan Caca, Tante?”“Caca udah bangun, tapi kayaknya sekarang lagi kedi
Dengan sekali tegukkan aku meneguk air berserta tiga butir obat dengan ukuran kecil. Kak Kai kembali menurunkan ranjang. Dia menaikkan selimut hingga sebatas dadaku. Aku kembali membuka kembali mataku saat Kak Kai membisikkan sesuatu di telingaku dan pria itu berhasil mendaratkan ….“Ah, jantung apa kabarmu saat ini?”Pria itu mendaratkan satu kecupan di dahiku. Hal yang membuat tubuhku bukan hanya meremang, tetapi juga kembali menggigil. Usai mencium keningku, pria itu bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Dia berjalan menuju sofa. Lalu, berbaring dan memakai selimutnya sendiri. Tak lama kudengar dia mendengkur halus. Aku mendengkus dalam hati. Setelah mencuri satu ciuman pertama dariku dia enak-enak tertidur. Sementara aku didera insomnia karena ulahnya.Sampai jam satu dini hari mataku sulit banget buat dipejamin. Aku melirik ke arah Kak Kai, pria itu entah sedang terbang ke mana sekarang dalam mimpinya. Uh, ini sih sama saja aku enggak ditemanin namanya.Aku ambil ponselku. Aku li
Pagi-pagi sekali Mama sudah datang. Wanita yang paling cantik sedunia bagiku itu mnenteng banyak sekali bawaan di tangan kanan dan kirinya. Wanita bertubuh gemuk itu terlihat kesulitan ketika berjalan. Lalu yang membuatku cemberut adalah hal pertama yang dia tanyakan bukan menanyakan bagaimana keadaanku.“Kai mana, Ca? Mama bawa sarapan buat dia.”“Cuma buat Kak Kai?”“Loh, makanan buat kamu kan disediain rumah sakit, tapi Mama bawa banyak camilan kok.”Mama mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan. “Kai lagi di kamar mandi?”“Iya.”Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Kak kai dengan rambut basah. Rambutnya itu bahkan masih meneteskan air dari ujung rambut. “Pagi, Tante,” sapa Kak Kai dengan senyumnya yang khas.“Pagi, Kai. Tante bawa sarapan buat kamu. Kita sarapan dulu, yuk!”“Tante kok malah repot-repot sih?”“Enggak apa-apa. Pagi-pagi gini belum banyak pilihan sarapan yang dijual. Lagian kan lebih sehat kalau dimasak sendiri.”Lalu, Mama menuntun Kak Kai ke kurs
“Ca! Kalau pakai baju tuh, yang matching dong! Itu juga rambut jangan cuma digulung-gulung kaya sarang tawon.” Kalimat yang sudah biasa aku dengar dari wanita yang kupanggil Mama.“Gimana mau dapet jodoh kalau begitu terus!”“Iya, Ma.”“Kamu tuh kalau dibilangin Mama, jangan cuma iya, iya doang! Tapi enggak pernah dilakuin.”“Pake baju asal, enggak pernah pake make up, gimana mau ada yang suka, Ca!Meski sudah bosan dengan celoteh Mama tentang penampilanku, aku akan tetap mendengarkan ucapan Mama sampai selesai.Aku Raisa Alfiani, biasa dipanggil Caca. Anak pertama dari tiga bersaudara, kedua saudaraku semuanya perempuan. Kedua adikku sangat fashionable dan pintar bersolek, jadi wajar jika Mama sangat cerewet soal penampilanku. Apalagi kedua adikku sudah memiliki pacar.“Inget, Ca, umur kamu udah berapa! Pake nolak segala kalo dijodohin!”“Mama jodohinnya sama dia.”“Memangnya kenapa? Dia tampan, kok, mapan juga!”“Dia itu masih saudara kita, Ma,” jawabku kali ini tak tahan untuk tak
Rentetan nyanyian Mama di pagi buta terdengar sangat menyebalkan, aku yang baru tertidur pukul 24.00 terpaksa bangun demi tak menambah panjang daftar nyanyian yang akan dinyanyikan oleh Mama.“Azan subuh udah ke mana tau, anak gadis masih belum bangun juga!”Mata yang masih lengket kupaksa untuk terbuka, dengan setengah berlari aku menuju kamar mandi. Namun, karena nyawa yang belum utuh membuatku terjatuh karena terserimpet kaki sendiri.Sial!Tubuhku tertelungkup sempurna di atas lantai, jangan tanya lagi bagaimana rasa sakitnya.“Apa pula yang dilakuin anak ini, Ya Allah.” Entah sejak kapan Mama berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka dengan tangan bertolak pinggang.“Kamu itu ngapain si, Ca? Enggak ada kerjaan banget! Kenapa malah telungkup di lantai gitu subuh-subuh begini?”Bukan ditolong aku malah kena nyanyian Mama. “Caca jatuh, Ma,” balasku setengah kesal.Aku bangkit dengan tertatih. Saat jatuh tadi, lututku yang jatuh lebih dulu.“Udah tua masih aja jatuh! Cepet solat, a
Aku menghentikan laju mobilku saat ponselku bergetar lama, menandakan panggilan masuk.[Ya, Ma?][Wa’alaikumus salam.][Hehehe ... Assalamualaikum, Mama cantik.][Wa’alaikumus salam. Kamu di mana? Kok, belum pulang? Biasanya, kan udah pulang. Kamu ke mana dulu? Awas, ya ke tempat enggak bener!][Ya, Allah. Ma, satu-satu dong!][Heleh!][Caca lagi di jalan, ini mau pulang.][Jalan mana? Jalan Sumatera?][Ngapain ke Sumatera?][Jangan ngalihin pembicaran, ya! Cepet jawab!][Caca tuh, beneran lagi di jalan mau pulang—][Sejak kapan dari kantor ke rumah makan waktu empat jam?][Ma, dengerin dulu, dong! Dari kantor tadi jam empat lewat lima belas menit. Nah, sekarang masih di jalan bentar lagi nyampe, kok. Kenapa si, Ma?][Mama titip belanjaan, udah Mama kirim ke hp kamu daftar belanjaannya. Jangan sampe ada yang kurang, abis dari situ langsung pulang! Jangan kelayaban!][Ya, Allah, Ma. Supermarketnya udah kelewat jauh, masa Caca harus puter balik? Kenapa enggak dari tadi ngabarinnya?][Ka