Aku terbangun karena perut yang keroncongan, melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ah ... ternyata aku tertidur cukup lama.
Aku mengerakkan tubuh yang serasa pegal karena tertidur dengan posisi yang tidak nyaman, mendesis kala tangan yang menjadi bantalan kepala selama tidur terasa ngilu.
Terdengar lagi suara perutku yang kelaparan, jika diingat terakhir aku makan saat di kantor kemarin siang.
Aku segera bangun saat mengingat belum mengerjakan salat Isya, bergegas ke kamar mandi kutemukan noda merah di celana dalam. Pantas, semalam aku begitu emosi.
Rania adik bungsuku itu memang memiliki sikap yang menyebalkan. Selain terlahir bungsu, sikap Mama terhadap Rania selama ini membuatnya begitu manja.
Menyelesaikan ritual mandi kilat, aku memilih piama untuk dipakai sekarang.
Setelah selesai berpakaian, kubawa langkah menuruni tangga menuju dapur. Beruntung hari ini adalah hari libur, aku merencanakan untuk tidur lagi setelah makan malam di dini hari ini.
Membuka lemari es, aku mencari bahan yang akan kumasak. Namun, pilihanku malah jatuh pada sebutir telur, tiga buah cabai rawit, dan sebungkus mi instan.
Yups! Pilihan yang tak sehat sebenarnya, tetapi memasak menu ini adalah yang paling cepat. Makanan sisa makan malam di atas meja tak membuatku berselera, jadilah menu ini yang kupilih.
Setelah lima menit, mi yang kumasak telah matang. Aku mengambil sepiring nasi hangat yang beruntung masih tersisa di ricecooker, belum dikatakan makan jika belum makan nasi. Duh ... Indonesia banget!
Saat sedang menikmati semangkuk mi dengan pedas level lima, langkah kaki seseorang membuatku mendongakkan kepala.
Di sana Rania berjalan ke arahku dengan bibir mengerucut. Tak menghiraukan kehadirannya, aku tetap melanjutkan acara makanku dengan khidmat.
“Kak.”
“Kak.”
“Kakak ....”
Aku tetap mengunyah makananku, jangankan menjawab menoleh pun tidak.
“Kakak!” panggilnya lagi yang kini sudah duduk di kursi di hadapanku.
“Apa?”
“Aku mau minta maaf,” ucapnya tertunduk. Aku sangat hafal sekali dengan sifatnya, dia melakukan itu jika sedang meminta maaf. Lalu, tersenyum riang kembali saat apa yang dia inginkan terkabul.
“Maaf buat apa?”
“Maafin buat kata-kataku semalem, Kak.”
“Enggak butuh minta maaf sih, butuhnya transferan,” sindirku.
Aku meminum segelas air putih hingga tandas setelah semua makanan sudah berpindah ke dalam perut, menumpuk mangkuk dan piring jadi satu. Lalu, aku membawanya untuk dicuci.
“Kakak ....” Nah, kan Rania mulai merajuk.
Kali ini dia mengikuti langkah kakiku, menggoyang-goyangkan tanganku seperti anak kecil yang meminta es krim.
“Gue tunggu transferannya!” Menghempaskan tangannya pelan. Aku membawa diri masuk ke kamar dan menguncinya.
Terdengar langkah kaki Rania yang menjauh dari pintu kamarku setelah bermenit-menit kuhiraukan, aku kembali membaringkan tubuh di atas kasur.
***
Pukul 06.00 pagi aku bangun dengan tubuh yang segar, setelah mandi aku bergegas menuju dapur.
Tumben sekali Mama tak bernyanyi pagi-pagi begini, di sana aku lihat Mama sedang berkutat dengan wajan dan panci.
“Pagi, Ma,” sapaku riang.
“Pagi, Sayang,” balas Mama tanpa membalikkan badan.
“Kok, Mama tumben enggak bangunin aku?”
“Mama lihat bungkus pembalut bekas pakai di kamar kamu, Ca.”
“Oh ... kok wangi rendang si, Ma?” Kutengokkan kepala wajan yang sedang mendidih. "Mama masak rendang?”
“Iya. Kamu bantu kupas kentangnya, Ca.”
Kulihat Mama bukan hanya memasak rendang, ada gulai ayam, tahu, tempe, dan kue yang sedang di oven serta agar-agar yang telah masak.
“Masaknya banyak banget, Ma. Ada yang mau dateng, ya?”
“Iya, ada tamu spesial yang mau dateng.”
“Tamu spesial?”
“Iya, dong! Kalau enggak spesial ngapain masak banyak kayak gini?”
"Tamunya siapa sih?"
“Nanti juga kamu tau, udah cepet bantuin, Mama.”
“Siap, Nyonya!”
“Nanti setelah masak kamu ke salon, ya, Ca.”
“Ke salon? Ngapain? Jemput tamunya Mama?”
“Ck! Bukan! Kamu dandan ke salon sana!”
“Kok harus ke salon segala sih, Ma?”
“Buat nyambut tamunya Mama lah, kamu itu gimana sih?”
“Itu, kan tamunya Mama, ngapain aku yang dandan!”
“Enggak usah banyak protes! Nanti pakai baju yang Mama taro di lemari kamu, awas jangan sampe enggak!”
“Sebenernya tamunya siapa si, Ma? Kok, heboh banget?”
Tanyaku hanya menggantung tanpa jawaban, Mama pura-pura tak mendengar dan asyik mengiris bawang.
***
“Ca! Cepetan!”
“Ta! Cepet anter Kakakmu sana!
“Ayo, Kak!”
Suara Mama dan Ranita bersahutan, sementara aku berjalan gontai menuju mereka. Sampai sekarang Mama masih bungkam soal siapa sebenarnya tamu yang akan datang.
“Ta! Lo tau enggak tamu Mama yang mau dateng?”
“Enggak, tuh,” jawabnya cuek.
“Kok gue gak percaya, ya?”
“Gue juga enggak lagi ngeyakinin, kok!”
“Beneran lo enggak tau?”
“Ck! Ngapain juga bohong.”
“Kenapa cuma gue yang disuruh dandan? Pake acara ke salon segala lagi!”
“Mau nikahin lo kali ...”
“Mulut lo! Sembarangan, ya.”
“Udah sampe, Kak. Masuk gih! Entar gue jemput.”
“Hallo ... Cici! Nih, kakakku. Yang bagus, ya.” Ranita melambaikan tangannya pada seseorang yang dia panggil Cici dan berlalu pergi.
Lalu, wanita yang dipanggil Cici itu menggiringku ke dalam.
Entah apa yang dilakukan olehnya, hingga satu jam kemudian dia baru melepaskan aku. Aku melihat ke arah cermin. Aku tak percaya bahwa yang ada dalam cermin adalah diriku. Riasan tipis dengan look korean fresh dan rambut curly di bagian bawah mempercantik tampilanku.
“Nah, cantik, kan?”
Mau tak mau ada semburat merah jambu di kedua pipiku. “Makasih, ya, Ci.”
“Sama-sama. Semoga lamarannya lancar, ya. Jangan lupa kalau nikahan nanti pake MUA sini, ya. Nanti pasti saya kasih diskon pokoknya.”
Apa? Lamaran? Siapa yang dilamar? Belum sempat menyuarakan semua tanya dalam hati, Ranita sudah datang menjemput.
Kupandangi Ranita dengan tajam, yang dipandangi malah terlihat senyum semringah.
“Cantik banget lo, Kak,” pujinya.
“Ci, makasih, ya.” Cici hanya memberikan jempolnya sebagai respons.
“Ayo, Kak! Gue udah dimarahin Mama, nih!"
Aku menahan pergelangan tangannya yang akan menstater motor. “Jelasin sama gue siapa yang mau lamaran?”
“La-lamaran? Si-siapa yang mau lamaran?”
“Jangan belaga pilon, ya!”
“Lo tanya aja deh ke Mama. Cepetan naik, ntar kita dimarahin Mama lho!”
“Ta!”
“Kak! Mama udah nunggu. Nanya-nanyanya ntar aja, di rumah!”
Dengan segala tanya yang tak terjawab akhirnya aku naik ke atas motor. Kalau benar yang Cici katakan akan ada lamaran, kemungkinan terbesar wanita yang akan dilamar itu pasti aku.
Pertama aku adalah anak pertama, kedua hanya aku yang disuruh dandan sampai harus ke salon dan ketiga, ini yang paling menyedihkan sekaligus membantah pernyataan satu dan dua. Bahwa, aku tak punya kekasih.
Lalu, mataku melotot sempurna kala satu pertanyaan yang kuharap tak pernah jadi pernyataan. Astaga, jangan bilang kalau Mama nekat menjodohkan aku, lantaran aku selalu menolak jika dikenalkan pada kandidat yang Mama pilihkan.
“Kak! Buruan turun!”
“Kenapa lo parkir di sini?”
“Lo pikir kenapa?”
“Kenapa?”
“Ish ... tamunya Mama tuh, udah dateng. Kita masuk lewat belakang!”
Aku dan Ranita melewati jalan memutar untuk bisa masuk lewat belakang. Ketika kami masuk dapur, kulihat Mama sedang membuatkan minuman.
“Kalian tuh, dari mana aja sih? Kok lama banget! Tamunya keburu dateng, kan!”
“Ma, tugasku dah selesai, kan? Aku ke kamar, ya?” tanya Ranita pada Mama. Namun, sebelum Mama menjawab anak itu sudah kabur lebih dulu.
“Ca, ini bawa ke depan.” Mama meletakkan nampan berisi beberapa gelas jus jeruk.
“Ma, Caca mau ngomong.”
“Ngomongnya nanti aja, kita ke depan dulu. Kasian kalau tamunya kelamaan ditinggal.”
“Ta-tapi, Ma?”
“Jangan kebanyakan tapi,” balas Mama sembari mendorong punggungku agar berjalan.
Sesampainya di ruang tamu, kulihat Papa yang sedang mengobrol dengan pria yang seusia dengan Papa, di sampingnya duduk seorang wanita yang mungkin seusia Mama.
“Aduh ... Jeng, kok repot-repot sih?” kata wanita yang duduk di samping pria tadi.
“Ah ... enggak, kok, Jeng Anna. Cuma air minum aja!”
“Ca, ayo!” kata Mama padaku dengan melirik ke arah nampan.
“Ini Caca toh? Wah cantik, ya Pa?” ucap wanita yang dipanggil Jeng Anna oleh Mama.
“Jelas cantik dong, Ma.”
Setelah menyuguhkan jus jeruk yang kubawa, aku menyalami satu per satu tamu Mama yang baru kutahu bernama Tante Anna dan Om Handoko.
“Gas, sini loh! Kenalan sama Caca!” Aku menoleh ke arah lambaian tangan Tante Anna, kenapa aku tak lihat kalau ada orang di sana.
Pria yang dipanggil Gas itu lantas berdiri dan mengulurkan tangan ke arahku. “Bagas.” Ucapnya datar.
Pria itu menaikkan alis kala aku tak segera membalas uluran tangannya. Namun, sebuah cubitan di pinggang membuatku cepat-cepat membalas uluran tangan pria itu. “Raisa,” balasku.
Sungguh aku melihat senyum mengejek di wajah pria bernama Bagas itu. Heh! Apa maksudnya coba?
.
.
.
.
.
.
TBC
Berada di tengah-tengah obrolan orang tua membuatku mati kutu, belum lagi bibirku terasa kering karena harus tersenyum terus menerus.Ditambah perut yang minta diisi, benar-benar membuatku nelangsa. Berkali-kali aku memberi kode pada Mama meminta izin untuk masuk, yang kudapat hanya delikan mata Mama.Mama sendiri sibuk mempromosikan anak gadisnya, pernah dengar tukang panci yang sedang berorasi? Nah, kira-kira seperti itulah Mama mempromosikan aku di depan Tante Anna, Om Handoko dan juga Bagas.Ngomong-ngomong tentang Bagas, sedari tadi dia hanya diam. Menjawab singkat saat di tanya, selebihnya sama sepertiku terpaksa mendengar obrolan para orang tua. Bedanya aku selalu tersenyum, sedangkan dia diam dengan wajah datarnya.Tetapi aku bersyukur, setidaknya tak harus membuka obrolan garing. Ya, aku memang tak pandai membuka obrolan apa lagi dengan orang asing.“Ma, ajak tamu kita makan dulu, ini udah masuk waktu makan siang,” kata Papa.Aku bersorak dalam hati, akhirnya cacing-cacing da
Aku mengerutkan kening saat membaca satu pesan yang masuk ke ponselku dari nomor yang tak kukenal.[Bisa ketemu nanti sore? Kutunggu di kafe Cinta pukul 17.00 hari ini.]Aku memutuskan untuk tak membalas, karena aku tak terbiasa membalas pesan dari nomor asing.Aku melirik tumpukan dokumen di atas meja, dokumen yang harus kuperiksa satu per satu. Setelahnya, membuat perbandingan agar hasilnya menemui titik balance.Berkutat dengan angka-angka memang kegemaranku, tetapi jika dikejar deadline seperti sekarang rasanya kepalaku hampir pecah.Aku memilih untuk menghiraukan getar notifikasi yang sedari tadi tak mau berhenti, aku bisa memeriksanya nanti. Begitu pikirku.Mendekati akhir tahun seperti ini, divisi keuangan memanglah menjadi divisi paling sibuk di antara yang lain.“Mbak! Makan siang, yoook!”“Eh ... udah jam istirahat?”“Kerja sih kerja! Badan tetep butuh makan kali! Kerja sampe lupa waktu begitu!” omel Maria“Hahaha ... emang beneran enggak kerasa kalau udah masuk waktu istir
Setelah sampai rumah, kutunjukkan hasil rekaman pembicaraan antara aku dan Bagas. Terlihat perubahan pada wajah Mama, wajahnya terlihat sangat kecewa. Senyum yang coba Mama tampilkan malah terlihat hambar. Sebegitu kecewa Mama atas batalnya perjodohan kami. Namun, Mama berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan Tante Anna tanpa harus membahayakan kondisinya. “Istirahat, Ca. Udah malem.” Setelah berkata begitu, Mama masuk ke dalam kamar. Menyisakan aku yang termenung meratapi keadaan. Sungguh, sebenarnya keinginan Mama terhadapku sangatlah sederhana, tetapi aku pun tak bisa berbuat sesuatu di luar kendaliku. Melihatku menikah, menemukan pasangan hidup, membina sebuah rumah tangga, dan memiliki keturunan. Bukankah itu hal sederhana? Namun, apa yang bisa kulakukan jika Tuhan belum mau memberikan? Atau mungkin benar kata orang-orang. Bahwa, akulah yang kurang dalam berusaha? Aku mengusap air mata yang tiba-tiba hadir. Bukan! Bukan inginku begini. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”“Wa alaikum salam.”“Kak, lo baik-baik aja, kan?”“Kenapa emang?“Lah, ini lo bukan style lo banget!”“Emang style gue gimana?”Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”“Ya, enggak sih.”“Trus?”“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”“Ya, baguslah. Betewe, l
Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.“Hah? Masa sih, Mar?”“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”“Mau apa kamu, Mar?”“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”“Hah? Yang bener kamu, Mar!”“Nih, liat kalau enggak percaya!”Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”“Enak aja!”“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.“Ya?”“Hai, Ca!”“Ada apa?”“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya mas
"Itu kan si Bagas. Ngapain dia di sini?” gumamku. Aku segera menoleh ke arah Mama. Aku bersyukur Mama sedang sibuk dengan ponselnya. Aku juga bersyukur karena Bagas segera melaju dan tak sempat melihat ke arah kami. Kami berdua sampai di rumah Tante Fania tepat pukul sembilan. Di rumah itu sudah banyak orang. Lapangan di depan rumah Tante Fania juga terlihat sudah penuh oleh mobil keluarga kami. Sebenarnya aku malas sekali menghadiri acara ini jika bukan karena perkara jodoh. Sebelum turun aku mengecek kembali penampilanku. Memastikan penampilanku tetap paripurna. “Ayo, Ca!” “Iya, Ma.” Setelahnya aku menekan tombol kunci otomatis, dan menggandeng tangan Mama. Baru sampai di halaman rumah, saudara-saudara Mama sudah bersorak menyambut kedatangan kami. Kemudian suara-suara yang lebih banyak didominasi oleh wanita itu terdengar bergantian. Tentu saja akulah yang menjadi objek utama mereka. “Pantes hari ini cerah banget, Caca datang rupanya.” “Wah, Caca makin cantik ya, kalau pake
“Kenapa nyariin aku?”Sungguh aku tak berani menoleh. Sekarang aku bagaikan seorang pencuri yang ketahuan pemiliknya. Jangan lagi tanya bagaimana jantungku bekerja. Telapak tanganku bahkan sudah terasa dingin. Ingin rasanya aku menghilang sekarang juga. Entah bagaimana sekarang semua pasang mata seolah-olah hanya tertuju padaku.“Nah, ini orangnya!” seru Tante Fania.“Maaf, Ma. Kai telat.”Aku memberanikan diri untuk sedikit melirik, Iya, hanya sedikit. Tante Fania bangkit untuk menyambut anaknya. Pria bernama Kaivan Abimanyu itu lantas mencium kedua pipi Tante Fania.“Kamu kan emang gitu. Kalau udah kerja ya, lupa waktu. Enggak peduli walau pun weekend begini!”Hanya garis besar yang kutahu tentang keluarga Tante Fania. Suaminya—Gilang Abimanyu adalah seorang arsitektur, sedangkan anak sulungnya—Aidan Abimanyu mengikuti jejak Om Gilang, sementara Kak Kai—begitu aku memanggilnya, lebih memilih menjadi seorang pengusaha.Dari cerita Mama, katanya Kak Kai memiliki dua kafe yang sedang
“Awas, Ca ...!”Hanya sepersekian detik tubuh kurusku sudah terlempar ke dalam kolam renang. Untuk beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang terjadi padaku. Astaga, aku tercebur! Begitu sadar bahwa tubuhku kini berada di dalam air, aku segera menggerakkan tubuh. Berkali-kali aku mencoba untuk membuat posisi kepala di permukaan air agar bisa bernapas. Aku tak menghiraukan pekikkan-pekikkan kaget dari semua orang. Bagaimana bisa menghiraukan orang-orang, sedangkan untuk bernapas saja aku kesulitan. Iya, aku tak bisa berenang. Di keluargaku hanya akulah yang tak bisa berenang.Jangan tanya penyebabnya, karena aku malas mengingat peristiwa masa kecil yang membuatku trauma akan air. Apa yang dikatakan Tante Fania dan Kak Kai memang benar. Sewaktu kecil aku adalah anak yang memiliki tubuh gendut dan ceroboh, mungkin karena itulah aku sering tercebur.Tak lama kudengar suara cipratan air dekat dengan posisiku berada. Entah siapa yang memelukku dari belakang, dia mengangkat tubuhku hi