PoV Nisa.Aku fokus pada tangan Pak Denis. Botol itu? Bukankah itu botol obatku. Ya Allah! Kali ini aku kecolongan. Aku lalai dan berakibat orang lain tahu bahwa aku mengkonsumsi obat penenang. Memang sekarang itu aku mudah sekali lupa, bahkan kadang juga linglung. Apa ini efek samping dari obat itu!Saat aku hentikan mereka yang akan berkelahi, kepalaku sudah mulai berdenyut. Sakit sekali. Jangan sampai aku kambuh, aku tak ingin semua ini terbongkar. Aku kuat, aku tegar!Kusupport diriku, namun tekanan batin makin menjadi. Terus menuju kepala, makin pusing. Rasa ingin berontak dan puncaknya benar. Aku berteriak bak orang gila. Pasti mereka kaget, karena tahu bahwa aku sebenarnya gila. Ya aku yakin setelah ini pasti aku di masukan ke RSJ.Kepala serasa di putar-putar. Makin pusing tak karuan. Melihat Pak Denis dan Mas Arman sudah tak jelas hingga semuanya gelap, pekat. Apakah aku meninggal?Tut ... Tut ... Tut ... Aku membuka mata, namun kepalaku terasa berat. Kulihat sekeliling tapi
5 Bulan kemudian.Acara resepsi pernikahanku di gelar di sebuah gedung bertingkat. Aku bangga, sekaligus bahagia dapat menambatkan hati kembali pada sosok keren dan setia seperti Mas Denis."Gimana pengantinnya? Apa sudah siap! Sebentar lagi akan nikah akan di lakukan." Seorang wanita yang kutahu karyawan kepercayaan Mas Denis memberitahu.Aku makin deg-degan di buatnya. Walau ini hal yang kedua kali aku lalui tapi nyatanya tak menyurutkan rasa nervous yang kualami."Sudah siap, Mbak?"Aku memandangi diri pada cermin. Riasan yang natural namun elegant, bahkan aku sampai tak mengenali diriku. Sungguh MUA yang profesional."Makasih ya, Mbak," ucapku tulus.Dua orang telah menungguku untuk menuju ruang akad nikah. Satu menggandengku dan satunya lagi memegangi bajuku yang terjuntai kelantai beberapa meter.Sungguh aku merasa bak Cinderella yang sedang menunggu singgasana. Derap langkah kaki berpacu dengan jantung yang makin tak menentu."Ya Allah, berikan hambamu ini kekuatan untuk tak s
Kutekan bel rumah, ini baru jam delapan malam aku yakin, Nisa--istri malasku-- belum tertidur.Di sampingku, tengah bergelayut manja. Seorang wanita yang cantik dan pandai merawat diri, Syasya. Dia wanita yang baru aku nikahi seminggu yang lalu. Tentunya tanpa sepengetahuan Nisa.Hingga hari ini aku nekad membawa Syasya kerumah karena ingin memberi pelajaran pada Nisa, seperti apa menjadi perempuan. Harus cantik dan pandai merawat diri."Lama banget si, Mas. Istrimu itu lelet!" Gerutu Syasya. Mungkin ia lelah karena perjalanan yang kami tempuh."Ya, begitulah dia, Sya. Ini yang membuat aku lebih mencintaimu! Godaku sambil mencubit pipinya yang mulus.Kutekan kembali bel pintu rumah, kalau biasa aku masuk tanpa memencet bel karena tak terkunci kali ini aku ingin agar Nisa melihat kejutanku. Aku yakin dia pasti syok dan menangis, berdrama layaknya sinetron di ikan terbang. Namun aku akan puas membuat dia sadar akan kekurangannya.Sekali lagi!Kali ini terdengar teriakannya dari dalam, "
Entah siapa lagi yang disebutkan Syasya. Aku sudah tak fokus pada ucapan yang keluar dari mulut istri mudaku itu. Raut sumringah terpancar pada wajah Nisa. Siapa gerangan mereka? Kenapa Syasya mengenali semuanya.Aku melihat kearah Syasya, wajahnya sudah pucat. sepertinya darah tak mengalir pada tubuhnya."Kamu baik-baik saja, Sya?" tanyaku karena baru kali ini melihat wajahnya pasi seperti mayat."Eee ... A-aku ngga papa, tiba-tiba perutku sakit. Aku mau pulang saja ya!" ucapan Syasya membuat aku makin penasaran siapa laki-laki yang di kenalinya. Temannya kah? Sejauh ini aku tak pernah dikenalkan dengan teman-teman Syasya.Syasya beranjak berdiri, dengan cepat meraih tas yang sempat ia letakan di atas meja."Kamu mau kemana?" tanya Nisa pada Syasya dengan menarik satu tangannya."Ini acara khusus untuk pesta lajangmu loh!" Nisa menambahkan.Aku melonggo, apa maksudnya pesta lajang. Bukankah pesta itu hanya untuk kaum laki-laki sebelum menikah?"Ayolah! Kita sedikit bernostalgia, apa
Nisa kembali duduk pada tempatnya, setelah sebelumnya menatapku dengan senyum penuh arti. Ah! Aku tak tahu apalagi yang akan ia lakukan."Makanlah, makanlah!" tawar Nisa pada semua yang ada di sana. Para laki-laki tersenyum dan menikmati hidangan. Hanya aku dan Syasya yang masih belum menyentuh makanan itu. Bahkan Bisa saja sudah mulai menyendok makanannya kemulut."Ngomong-ngomong semua yang disini, siapa yang paling lama pacaran dengan Syasya?" Lagi, Nisa membuka percakapan yang tak terduga. Seketika para lelaki yang aku yakin buaya semua itu menghentikan aktifitas makanya sejenak."Aku cuma kuat, 4 bulan.""Aku hanya satu bulan, tapi walau satu bulan tetap bisa menikmatinya kok!""Aku 7 bulan." Akhirnya hanya satu orang yang menjawab tujuh bulan. Aku sendiri makin tak mengerti tapi penasaran dengan apa yang mereka sampaikan.Mereka saling bersuara, memamerkan setiap hal yang mereka pernah lewati dengan istri baruku ini. Sungguh aku malu tapi sepertinya aku terlambat.Kini apa yang
Ting ... Tong!Bel berbunyi, siapa lagi yang datang? Aku menautkan alis, menatap Nisa, wanita yang hari ini kulihat lebih energik. Seratus delapan puluh derajat aku telah salah duga.Kukira kepulangan ku membawa madu untuknya akan membuat dia meraung dengan tangis yang tumpah-tumpah. Nyatanya dia justru terlihat sumringah bahkan kulihat dia lebih ... Ah! Aku lupa jika selama aku pulang, aku belum melihat Al dan El--anak kembarku-- dimana dia? Biasanya saat aku pulang langsung disambut tangisannya yang berebut maninan.Nisa beranjak, aku menahannya."Siapa lagi?" tanyaku dengan menyorotnya dengan mata tajam. Dia tersenyum, ada sedikit rasa nylekit dihati ini.Bukan jawaban yang kutemukan, dia justru melepaskan tanganku darinya dengan sehalus mungkin."Nisa!" Panggilku sedikit geram. Namun, Ita tetap melangkah menuju pintu.Jantungku berpacu, lebih cepat dari mobil balap, seperti akan meloncat saja. Aku sudah tak mempedulikan laki-laki mantannya Syasya yang masih asik berbincang tentang
"Ma-maksud kamu apa, Nis?" tanyaku dengan suara yang bergetar. Sungguh aku tak kuat lagi jika harus terkejut untuk kesekian kalinya."Loh! Kok kamu malah bingung. Ini sengaja acara untuk kamu loh. Kamu ngga suka aku buatkan pesta atas pernikahan keduamu. Harusnya kamu bangga, ngga ada istri seikhlas aku. Yang rela merogoh tabungan hanya untuk mengadakan pesta pernikahan suaminya yang kedua." Nisa berkata penuh penekanan. Tak dapat di sangkal apa yang ia katakan. Benar, baru kali ini mungkin, ada perempuan yang mau membuatkan pesta pernikahan untuk madunya."Ta-tapi?" Aku masih saja tergagap, namun sedetik kemudian Nisa sudah berhasil membuatku berdiri walau dengkulku terasa linu."Mbak, ini pesta pernikahanku, kenapa kamu yang dandan?" Kali ini Syasya terlihat protes. Benar juga? Aku malah jadi makin bingung."Oh, kamu mau dandan juga?" tanya Nisa dengan nada pelan."Iya!" Dia tersenyum sumringah."Baik, Mbak!" Panggil Nisa pada perias."Iya, Mbak.""Berapa duit untuk merias dia?" tan
"Ha ... Haa ... Haa ...!" Tawa riuh para tamu yang hadir, membuat aku yang hampir kehilangan kesadaran langsung pulih. Mataku kembali terang. Aku harus menyelamatkan Syasya dari ejekan para tamu yang hadir. Apalagi ada petinggi di perusahaan ku. Pak Denis, selaku direksinya. Bisa malu tujuh turunan aku.Segera aku menuju dimana Syasya berdiri. Ia terlihat heran dengan semua orang yang tertawa melihatnya. Tak sadarkah dia? Jika riasnya menyerupai Kuntil beranak atau badut ulang tahun?"Sini, Sya!" Aku menarik tangannya dan membawanya masuk kekamar. Terlihat perias itu tengah tertawa terbahak sendiri di dalam kamar."Kamu!" Hardikku padanya yang langsung direspon dengan dia beranjak berdiri."Apa yang kamu lakukan pada istriku!" Aku mulai memarahinya, tak peduli lagi suaraku terdengar sampai kedepan."Aku hanya mendandaninya saja, Pak! Bukankah dia minta gratis," ucapnya tanpa rasa berdosa."Arrggghhh ...!" Tiba-tiba Syasya berteriak."Sya!" Aku langsung berusaha menenangkannya. Bahkan