Sehari ini aku dibuat dongkol. Udah kena malu karena mau bunuh diri tapi gagal. Kupikir dengan memancing seperti itu, Nisa yang hatinya lembut akan tergugah dan mau menerimaku lagi. Nyatanya? Duh! Mana semua karyawan jadi berbisik ngehibahin aku lagi.Pulang kerumah, bukan di sambut kopi seperti biasa yang Nisa lakukan, Eh ... Syasya malah ngomongin uang ... Uang dan uang lagi! Memang sii, kalau biasanya Nisa menyambut dengan masih bau dapur kali ini Syasya dengan wangi mengoda. Aroma parfum menguat, tapi nyatanya tak mau di sentuh saat aku tak mengeluarkan uang."Mas? Kenapa diam saja pada Mbak Nisa! Diakan sudah menghabiskan uang tabunganmu, Mas!" sanggah Syasya begitu aku masuk. Kupikir dia akan menghidangkan aku secangkir kopi."Pokoknya Mas harus minta ganti rugi! Blas ... Bla ... Bla ...." Aku pusing dan tak lagi mendengarkan ocehan nya. Mungkin aku mengiyakan saja. Siapa tahu setelah itu dia diam."I-iya iya, Sayang." ucapku lembut sambil langsung meraih pinggangnya. Ia beronta
"Hai jangan sembarangan menuduh!" Nisa menepis tangan Syasya dengan kasar.Bakal jadi perang dunia ketiga ini kalau dibiarkan."Siapa lagi! Ini pasti kamu iri dengan kecantikanku makanya berbuat main dukun. Awas saja! Nanti aku cari dukun dan kembalikan semua ini kepengirimnya!"Nisa hanya tersenyum miring, seolah tengah mengejek Syasya yang berfikir terlalu premitif. Tak mengerti dengan pola pikir Syasya. Bagaimana dia yang modern tapi masih berfikir dan percaya tentang dukun? "Sudah, sudah, Sya! Ayo kita bawa kedokter saja. Biar segera di tangani." Aku melangkah keluar diikuti oleh Nisa yang kembali ke kamarnya. Mau kemana dia? Pikirku melihat dia yang sudah berpenampilan rapi tapi belum mengenakan hijab.Syasya membonceng dengan menutup semua wajahnya menggunakan kerudung yang tidak di pakai secara benar. Mungkin dia malu! Aku yang membawa motor akhirnya sedikit kesusahan karena posisi Syasya yang duduk miring dan tak berpegangan."Yang benar, Sya!" teriakku dari depan karena Syas
Aku langsung menyambangi mereka bertiga, terlihat raut kaget pada ketiganya."Eh, Mas. Udah pu-lang!" Syasya tergagap."Siapa dia, Sya?" tanyaku pada Syasya dengan pandangan menatap pada dua laki-laki berwajah sangar."Sini, Mas! Aku mau ngomong!" Syasya menarik tanganku masuk kedalam. Aku tak bisa berontak. Rasa penasaran ku kian membuncah."Mas! Itu kedua laki-laki tadi mencari Mbak Nisa. Katanya dia mau menagih hutang." Aku menautkan alis. Apa benar? Setahuku dan seingatku selama hidup bersama Nisa tak pernah ada orang ataupun tetangga yang kesini menagih?"Katanya hutangnya gede. Sudah dua bulan ngga di cicil. Makanya dia kesini untuk menagih. Aku bilang aja Mbak Nisa sudah pindah.""Benarkah, kalau gitu biar aku temui saja!" Apa benar Nisa memiliki hutang? Untuk apa?"Tu-tunggu, Mas. Aku tak mau kamu bicara jujur tentang Mbak Nisa!" Syasya menarik tanganku. Namun, aku tepis dan keluar untuk menemuinya.Aku celingukan. Dua laki-laki tadi tak ada didepan rumah. Aku benar-benar maki
Langkah panjangku langsung menuju sasaran. Mereka sejenak menghentikan aktifitasnya merebut motor Nisa."Siapa kamu dan apa urusanmu dengan motor ini!" Laki-laki bertato itu seketika menghardik."Kalian tak tahu siapa wanita ini! Dia itu istri ku, urusanmu dengannya juga urusanku!" Aku tak kalah garang."Hhaaha ... Terserah kamu yang penting aku dapatkan motor ini secepatnya." Mereka masih memaksa.Aku memandang Nisa, wajah dia sudah terlihat ketakutan."Siapa mereka?" tanyaku.Dia mengeleng, "aku ngga kenal, Mas. Mungkin dia perampok!" "Hei! Jangan bilang kami perampok. Kami hanya menjalankan tugas untuk menagih hutang!"Kali ini aku kembali menatap Nisa, "kamu punya hutang?"Dia kembali mengeleng, "mungkin mereka salah orang.""Mana kami salah! Jelas-jelas motor ini yang keluar dari rumah Santi!""Tunggu-tunggu, kalau tidak salah kemarin kan yang datang kerumahku kan?"Mereka saling pandang dan mengingat ingat."Oh, benar. Kamu lelaki yang tiba-tiba datang dan langsung di tarik mas
Belum sempat untuk memukul dia berteriak dan jatuh pingsan."Syasya!" Sontak aku langsung melepaskan tongkat golf begitu saja. Kutepuk-tepuk pipinya. Dia masih saja menutup matanya. Duh! Bagaimana ini?Kucari minyak angin, tak kutemukan. Biasanya ada di atas kulkas. Nyatanya hilang bersama kulkasnya. Kemana lagi ini aku mencari sesuatu yang bisa kujadikan alat untuk membangunkan Syasya yang pingsan.Ah, aku punya ide! Aku mengeluarkan dompet, kebetulan hari ini abis gajian dan tadi sempat ke ATM untuk mengambil tunai. Kutaruh lembaran merah satu lembar di kening. Masih belum sadar. Dua tiga hingga lima.Plok! Dia langsung menangkap uang yang di keningnya.Alhamdulilah! Akhirnya sadar juga. Syasya terlihat tersenyum penuh gembira."Kamu kenapa di gudang dan kenapa barang-barang di rumah ini hilang?" Cecarku langsung pada Syasya tanpa jeda."Anu, Mas. Tadi aku cari matras buat alas tidur. Soalnya kasur serta dipannya di bawa rentenir yang menagih hutang Mbak Nisa!"Apa? Kali ini aku yan
PoV NisaAku di buat kalap, siapa yang tak murka melihat isi rumah telah raib. Kelakuan siapa lagi kalau bukan si Syasya alias Santi. Wanita jalang yang telah menipu Mas Arman habis-habisan. Rasanya ingin sekali aku meremasnya. Menjadikan dia segulung kertas dan kubuat bola hingga aku tinggal menendang saja!Setelah aku berduel sengit, aku memilih masuk kekamar, Al dan El menangis membuat aku yang tengah membuat perhitungan dengan Mas Arman dan istrinya itu terhenti.Hufh! Kulkas, TV, sofa juga beberapa perabotan yang kira-kira kayak jual sudah raib. Aku memandang penuh kesedihan. Sudah tak kulihat batang hidung manusia tak bersyukur itu. Biarlah! Semoga mereka tak kembali lagi kesini.[Nis, ada waktu? Kita Dinner yuk!] Wa dari Pak Denis kubaca. Dia ngajak makan malam? Ada apa gerangan.[Maaf, Pak. Apa ada perlu dengan kantor. Saya sedang dirumah sendiri dan tak ada siapa-siapa. Ngga bisa ninggalin anak-anak.] jawabku.Tak ada balasan. Hanya centang berwarna biru. Apa Pak Denis marah
Kedubrag!"Aduh!"Aku menengok, ternyata Syasya jatuh tersungkur."Tolong, Mas!" Pintanya. Sebenarnya aku enggan untuk membantu tapi aku bukan manusia durjana yang kejam."Ayo!" Aku mengulurkan tangan. Diraih tangan ku olehnya, aku mencoba untuk membangkitkan ya tapi tanpa sepemikiran ku. Syasya menarik tanganku hingga akupun terjerebab jatuh diatasnya."Awwhh," pekik Syasya manja, aku sebagai lelaki normal tentu saja darahku berdesir."Astaghfirullah!" Segera aku beranjak berdiri. Aku tak boleh kalau dengan jurus rayuannya. Dia hanya sedang memancingku untuk kembali padaku. Tidak! Aku sudah putuskan untuk menebus kesalahanku pada Nisa."Ayo, berdiri!" Aku membalik badan."Mas, lemas. Aku dari pagi belum makan!" ucap Syasya masih dengan nada lembut. Mungkin benar kalau itu terjadi. Bukankah para preman itu datang tadi pagi?Akhirnya aku putuskan untuk membantunya berdiri. "Sebelum pergi, ajakin aku makan dulu yuk!" Kembali dia merayu."Apa kamu mau aku pingsan di jalan? Terus ada yan
"Setan alas! Tuyul! Genderwo!" Rancauku ketika tiba-tiba hujan turun menguyur tubuhku."Bangun! Ngapain tidur di mari?!" Ibu berteriak. Ternyata bukan hujan tapi ibu yang menyemprotkan selang padaku."Ketiduran, Bu. Habisnya gedor pintu ngga ada yang buka. Tidur apa pingsan!" Cebikku."Hei! Ngomong sama orang tua jangan ngawur. Pake nyumpahin pingsan segala. Mau aku jadiin bregedel?!""Iya, Bu. Maaf!""Lagian ngapain kemari, kan kamu punya rumah? Apa kamu di usir Nisa? Bukankah dia setuju dengan kehadiran Syasya?" Ibu menatap penuh selidik."A-anu, Bu. Putramu ini sudah jadi duda." Aku mlehoy, hampir menangis."Apa? Kemana istrimu semua. Mati!""Ibu! Kenapa sumpahin mereka mati?""Noh! Siapa yang sumpahin. Kan kamu sendiri yang bilang jadi duda.""Ya bukan berarti mati kali, Bu. Aku jadi duda cerai!"Ibu menyempitkan mata. Mungkin dia heran, kenapa aku yang punya dua istri menjadi duda."Tunggu-tunggu! Kalau bicara yang jelas jangan buat Ibumu yang tua ini ngga mudeng.""Bu, anakmu in