PoV Alviani malik
Aku memang pernah mendengar nama Shirajudin Ahmad dari mulut Shaina saat kami masih kelas dua SMA dulu. Ia mengenal pria itu lewat sosial media dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba menjadi akrab begitu saja.Saat itu aku tidak begitu antusias mendengarnya. Karena selain namanya yang luamayan jadul menurutku, dengar-dengar katanya dia juga sudah menikah dan telah memiliki seorang putri pula.
“Hati-hati, Sha. Berteman dengan om-om itu rawan banget, loh. Kita nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.”
Aku merasa perlu mengingatkan Shaina. Jangan sampailah dia punya gebetan om-om. Shaina itu kan cantik. Dia itu tipe perempuan yang kalau berjalan, semua cowok akan melihat padanya dengan atensi penuh (dengan ilustrasi mata gagal berkedip dan liur yg menetes).
Itu dulu tanpa riasan sama sekali, masih sangat alami. Tapi untunglah, dia bilang itu bukan jenis hubungan istimewa bergenre romance yang perlu di khawatirkan. Katanya hanya sekedar dekat, semacam teman curhat dan sesekali sebagai sumber dana kalau perlu.
Dulu, karena masih senaif itu, kadang aku suka ikut kecipratan senang kalau ditraktir Shaina yang katanya habis dapat transferan dari om Shiraj. Tentunya setelah aku pastikan dulu, itu uang ‘halal’ atau bukan. Takutnya jangan-jangan Shaina memberi 'imbalan' yang mengerikan.
Syukurnya, Shaina sampai berani bersumpah kalau itu tak mungkin terjadi. Aku percaya, sih. Lagian, masa iya Shaina naksir om-om? Yang naksir dia saja banyak. Dari yang murni jomlo sampai yang sudah punya pacar. Dari adik kelas sampai oknum Guru yang aku tahu persis siapa orangnya.
Kuanggap itu sebagai keberuntungan Shaina. Punya teman tapi memberi nafkah, itu kan sesuatu sekali. Lha wong aku yang punya pacar saja, kalau makan bersama saat kencan, seringnya malah bayar sendiri-sendiri. Maklum, masih sama-sama menjadi beban orang tua. Jangankan memberi transferan, ongkos angkot saja hanya sesekali dibayari. Nasib!
Shaina juga bukan tipe gadis agresif yang suka tebar pesona. Justru, ia terkesan menjaga jarak dengan mereka yang terindikasi menyukainya. Dari SMA sampai kami kuliah di tempat yang sama, tak terlihat olehku ia berpacaran atau minimal dekat dengan salah satu dari mereka. Padahal dengan kualifikasi yang dimilikinya, Shaina bisa mendapatkan siapa saja yang dia mau.
Saat remaja seusia kami menganggap berpacaran adalah sebuah kewajaran, Shaina malah terkesan membatasi diri. Dia bisa melewati cowok seganteng apa pun tanpa keinginan menoleh sedikit juga.Membuatku terkadang merasa malu sendiri karena tidak bisa seperti dia. Aku memang tipe orang yang memiliki penghargaan terhadap karya seni bernilai tinggi. Termasuk keindahan rupa para cowok. Oke, lewatkan saja.
"Pacaran buat apaan juga, sih, Vi? Ntar malah dapet ruginya doang. Perjalanan mereka buat sukses masih jauh dan belum tentu bakalan jodoh juga."
Begitu alasannya dulu saat kutanya. Menurutku, pendapat Shaina itu terbentuk karena pengalaman hidup dari orang tuanya sendiri. Jangankan dari cerita Shaina, aku sendiri saja sering mendengar mama Shaina menasehati kami kalau aku kebetulan main ke rumahnya.
“Kalian ini kalau bisa jangan pacaran dululah. Pacaran itu nggak memiliki manfaat sedikit pun kecuali malah membawa kerugian. Pria yang baik, akan lebih memilih melamar seorang wanita ketimbang hanya mengajak bermain-main tak jelas.”
Nasehat yang lumayan berat dan terkesan kurang logis bagi remaja seusia kami yang hanya berpikir pendek saja. Bukankah setiap proses serius, diawali dari sebuah pendekatan dulu? Tidak mungkin juga kan langsung membahas pernikahan saat baru berkenalan?
Tapi seiring bertambahnya usia, aku justru membenarkan ucapan mama Shaina itu. Melihat gaya berpacaran remaja sekarang, benar-benar membuatku bergidik! Meski pada akhirnya, semua berpulang pada pribadi masing-masing.
Hingga suatu hari, aku dikagetkan oleh keputusan Shaina untuk menerima Andre sebagai kekasihnya. Padahal dulu, sekedar meliriknya pun, Shaina enggan. Dan tak lama kemudian, sahabatku itu memutuskan untuk menikahinya, padahal tamat kuliah saja belum.
Aku memang tahu apa alasan Shaina melakukannya. Ia hanya ingin membuat kesal sang mama yang menurutnya selalu menganggap anak tirinya lebih baik dari Shaina sendiri.
“Cuma Maira saja yang bagus di mata mama, Vi. Aku mah nggak ada apa-apanya. Ya sudah, sekalian saja aku nikah muda, biar si Maira itu semakin jadi anak kesayangan mama.”
Begitu katanya. Usahaku agar Shaina berpikir ulang, tak digubris. Terus-terang, baru kali ini aku melihatnya bertekad sekeras itu, demi seorang Andre pula. Seperti ada yang salah, tapi aku tak tahu apakah itu..
Waktu itu, aku sudah tak lagi mendengar nama Shirajudin Ahmad disebut-sebut. Kadang kalau kutanya, Shaina pun tak tampak antusias menjawab.
"Kabarnya baik-baik saja. Sesekali masih nelpon, sih. Kita sudah jarang ketemuan soalnya."
Dari cara bicaranya, aku menyimpulkan itu memang sesuai kenyataan. Aku yakin, Shaina tetap punya batasan jelas untuk pria itu. Gila saja kalau sampai diseriusi. Sedang berteman saja sebenarnya agak tak pantas begitu. Mana sudah beristri.
Yang kutahu, Shaina juga belum pernah bertemu langsung dengannya. Dalam bayanganku, pria bernama Shiraj itu hanya pria kelewat biasa yang tak berani menampakkan wajah aslinya. Jadi, seharusnya tak terlalu penting dan mudah untuk dilupakan begitu saja. Tapi ternyata aku salah. Seperti mungkin aku salah mengartikan kedekatan mereka.
Aku juga salah besar menganggap Om Shiraj itu hanya sekedar pria biasa yang bisa dianggap angin lalu belaka. Nyatanya aku sampai shock melihat wajah pria yang katanya papa pelakor itu, macam tak pernah melihat pria ganteng saja!
Tapi demi Tuhan, dia sungguh … wow! Tampak begitu menawan di usia matang, dengan tingkat kharisma yang sanggup membuat wanita mana pun mendamba. Tak ada garis-garis penuaan di sana, dengan gaya yang dandy, siapa pun tak akan menyangka bahwa dia telah memiliki putri berusia delapan belas tahun. Pelakor pula.
Yang lebih membingungkan, Aku bisa melihat jelas keterkejutan dan kecanggungan di antara mereka. Cukup lama keduanya saling memandang yang siapa pun akan tahu itu mengandung makna yang sesuatu sekali.
Lucunya, bukan semacam kalimat labrakan yang diucap Shaina. Sahabatku itu justru meminta kartu nama untuk dihubungi kembali nanti. Kenapa tidak di bahas saat itu juga? Ada apa? Terlebih, ketika memberikan kartu nama, disertai ucapan lirih si om yang masih terdengar olehku.
"Masih nomor yang sama."
Aku bagai penonton dengan tingkat kebodohan yang begitu mengenaskan. Adegan seru yang kubayangkan sepanjang perjalanan, ternyata berakhir zonk. Digantikan adegan absurd yang butuh upaya ekstra untuk mengartikannya.
Mereka saling mengenal, itu pasti. Dan dari cara si pria mengucap empat kata itu, aku yakin ada kisah romantis di balik itu. Cara bicaranya, bikin merinding. Dan akhirnya Shaina pun mengakui bahwa pria itu adalah Shirajudin Ahmad. Pria yang hanya kukenal namanya, kini kulihat wujudnya.
“Katamu dulu, kalian belum pernah ketemuan sama sekali. Apa aku salah dengar?” Aku lebih memilih mempertanyakannya dari pada hanya memendam saja dalam hati.
Shaina hanya terdiam, mengalihkan pandang seraya menggigit bibirnya.
“Pernah. Hanya saja, aku nggak cerita ke kamu,” ucapnya, lirih.
“Oh.”
Terus-terang, melihat langsung sosok itu dan mendengar ucapan Shaina, membawaku pada persepsi baru tentangnya. Sepertinya, aku harus meralat bahwa kisah mereka tak sesederhana itu. Aku kenal Shaina. Melihat sendiri interaksi canggung mencurigakan keduanya, membuatku menyimpulkan, ada sesuatu di antara mereka.
“Pernah ada yang special di antara kalian? Kalau aku boleh tahu?” tanyaku, entah yang ke berapa kali.
“Aku pernah menyukainya. Tapi aku sadar, itu adalah hal terlarang. Kamu tahu sendiri pada akhirnya, aku juga memilih bersama Andre,” jelasnya, setelah lama hanya terdiam.
Sebuah pengakuan yang akhirnya menambah sebuah fakta baru versiku sendiri. Mungkinkah, selain ingin membuat mamanya kesal, Shaina juga menjadikan Andre sebagai pelarian?
Bukan bermaksud menuduh. Hanya saja menurutku, apa yang terjadi, tak sesederhana perkataannya itu. Aku seakan dapat merasakan, Shaina melibatkan perasaan yang jauh lebih dalam. Bukan sekedar cinta monyet gadis naif di usia labilnya.
"So, kapan rencanamu menghubungi om ganteng itu untuk membahas kelakuan anaknya?" tanyaku via telfon. Aku cukup penasaran dengan langkah yang akan Shaina ambil setelah tahu kenyataan mengagetkan ini.
"Aku masih mencari waktu yang tepat, Vi."
"Aku bisa bayangkan, pasti sulit untukmu harus menceramahinya agar mampu mendidik anak, sementara lututmu sendiri pun gemetar memandangi wajah tampannya.""Please, Vi....""Oke, kapan pun itu, kabari aku kalau waktunya sudah tepat menurutmu. Aku akan mendampingimu nanti."“Terima kasih, Vi, tapi aku rasa ... aku akan handle ini sendirian saja. Kamu ngerti, kan?"
Persis seperti dugaanku. Shaina tak ingin aku mengetahui ini lebih jauh lagi. Haruskah aku tak berprasangka apa pun mendengarnya?“Bercandamu nggak lucu! Kamu mau nikah sama siapa? Kamu bahkan belum tamat kuliah, loh!” Lihatlah, ia bahkan masih bertanya saat ia tahu Andre adalah kekasihku. Tapi setidaknya, reaksi bang Shiraj masih lebih manusiawi ketimbang Alvi saat kuberitahu. “Pernahkah ada seseorang yang mengatakan kalau kamu orang yang bodoh, Sha? Maka, biarkan aku yang mengatakannya untuk pertama kali. KAMU BODOH!” “Sepertinya kamu harus dirukyah! Aku yakin, pasti ada sesuatu yang nggak beres!” Begitu kata Alvi.“Aku serius, Bang. Orang tua Andre sudah melamarku seminggu yang lalu.” Barulah ekspresi bang Shiraj berubah, seiring tatapannya yang semakin tajam. “Sampai segitunya kamu pengen lepas dariku, Sha. Apa ini masuk akal? Kamu bermaksud menikahi pria menjengkelkan yang katamu tak akan kau lirik meski ia adalah pria terakhir di dunia?” “Nggak ada satu pun manusia yang bisa mengatur perasaannya sendiri, Bang. Termasuk aku.” “Kamu mau bilang kalau kamu mencintainya? Itu bahkan lebih menggelikan!” “
“Mbak ….” Aku terbata, sekaligus terkunci. Firasatku benar, wanita ini telah mengetahui segalanya!“Saya sudah lama mengetahuinya, Dek, bahkan sebelum kita bertemu di Mall tempo hari. Hanya seorang istri yang bisa merasakan perubahan hati suaminya, sepintar apa pun ia menutupinya.” Mbak Adella tersenyum lembut yang malah semakin mengoyak hatiku.“Maaf, Mbak.” Aku tertunduk malu. Apa lagi yang bisa kukatakan? Menyangkal pun malah akan terkesan konyol. Lagi pula, aku tak cukup cakap untuk berakting seperti itu.“Dia memang pria yang baik. Saya yakin, kamu pun tak bermaksud untuk seperti itu sebelumnya. Iya, kan?”“Ya, Mbak. Bang Shiraj adalah pria yang baik. Maafkan saya yang bisa-bisanya terlanjur nyaman dengan suami Mbak.”“Saya juga yakin, belum pernah ada sesuatu yang jauh yang terjadi di antara kalian, kan?”“Tidak, Mbak. Kami tak pernah sejauh itu. Saya bersumpah!” Aku menjawab cepat, seolah takut akan prasangkanya.“Karena dari itu, mohon tinggalkan dia. Dek Shaina masih sangat m
Aku sadar, hati ini mulai tergelincir semakin jauh. Entah kapan tepatnya perasaan aneh itu mulai hadir. Mungkinkah seiring pertemuan kami atau jangan-jangan, semenjak pertama kali melihatnya?Bagaimana dengan om Shiraj sendiri, itu masih sebuah misteri. Yang jelas, tak ada yang berubah dari sikap pria itu padaku. Ia tetap hangat tanpa menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Sementara, aku begitu kesulitan menutupi sinyal ketertarikan padanya.Hubungan pertemanan kami tetap berlanjut hingga aku duduk di bangku kuliah. Bahkan sepertinya, intensitas pertemuan kami menjadi lebih sering ketimbang dulu.Perlahan, aku juga mulai merasakan ‘perubahan’ sikap dalam dirinya. Aku mungkin terhitung gadis yang kurang pengalaman. Namun aku yakin, bisa merasakan ada yang berbeda dengan om Shiraj.Cara ia menatapku, terkesan lebih dalam dan intens. Hati kecilku mengatakan, kami memiliki perasaan yang sama.Terkadang, aku kerap tertantang untuk membuktikannya. Entah dengan berlama-lama menatapnya hingga
PoV Shaina Dewayani, 10 tahun lalu.“Om Shiraj?” Kutatap pria tinggi tegap yang berdiri tak jauh dari gerbang sekolah itu dengan seksama.“Ya. Kamu Shaina, kan?”Aku mengangguk cepat, mencoba menghalau rasa terpaku yang konyolnya datang begitu saja. Astaga, Shaina, macam tak pernah melihat pria ganteng sajalah kau!“Aku pasti mengganggu waktu Om banget, ya?”“Nggak, kok. Sabtu kan om memang libur. Ayok, mana kelasmu?”Kami pun berjalan beriringan menuju kelasku. Aku memang meminta bantuannya untuk menyamar sebagai waliku untuk mengambilkan rapot, karena mama tak mungkin meminta ijin di tempat kerja barunya.Ini adalah pertemuan pertama kami setelah berteman di sosmed enam bulan lamanya. Selama ini, aku bahkan tak ingin tahu seperti apa rupa fisik teman mayaku itu.Aku juga tahu kalau ia adalah seorang suami dan papa. Tapi, menurut kacamata ABG sepertiku, itu bukanlah sebuah masalah.Bukankah kita bisa berteman dengan siapa saja tanpa harus memandang status pribadinya? Tapi, kenapa ta
Shaina menatap sang suami dengan tatapan nyalang. Masih terngiang di telinganya pengakuan Andre kemarin dulu tentang perasaannya terhadap sang ABG. Cara bertuturnya yang mengisyaratkan perasaan yang tak bisa dibilang main-main. Fenita bahkan sanggup mengubah sifat Andre secara perlahan.Dan seperti yang baru saja terjadi, Andre masih nekad berusaha menemui gadis itu di atas janjinya untuk menghindari dan mengakhiri hubungan terlarang mereka. Dan haruskah Shaina percaya, itu tak berarti apa pun bagi sang suami?Andre masih terdiam tanpa pembelaan apa pun. Hal yang justru semakin membenarkan dugaan Shaina padanya. Atau mungkin, pria itu tengah merancang seribu satu dusta lagi untuk dikatakan?“Atau … kau masih penasaran karena belum sempat mereguk apa pun darinya?” tanya Shaina, mencemooh.Kilas ingatan ucapan Shiraj tentang keputusannya membawa Fenita periksa keperawanan, seketika membayang. Setidaknya, ia tahu belum ada yang terlalu jauh di antara mereka.Ada kilat kemarahan dalam ta
“Dari mana, Kamu?”Shaina terlonjak, kaget setengah mati.Ruangan berubah benderang kala Andre menyalakan saklar tak jauh dari tempatnya berdiri. Meski telah bertekad dan merasa siap, nyatanya, Shaina merasa sedikit gentar juga.Seumur-umur membersamai Andre, baru kali ini pria itu tumben-tumbenan sengaja menunggunya pulang dalam kegelapan disertai kalimat tanya yang begitu dingin.Shaina melirik sang suami sambil terus berjalan menuju kamar. Keadaan tubuh yang basah, sungguh membuatnya merasa tak nyaman untuk menghadapi Andre. Setidaknya, ia merasa harus membersihkan diri dan berganti pakaian dulu.“Aku sedang bertanya padamu, Shaina!” Andre menegur kesal melihat sang istri yang melewatinya begitu saja.Shaina? Bila diingat-ingat, rasanya sudah beberapa kali ini Andre menyebut namanya secara lengkap. Heran, kan, padahal toh, ‘Shaina’ memang namanya. Namun ketika diucap secara lengkap olehnya, Shaina paham kalau Andre sedang dalam kondisi hati yang tak terlalu baik.“Bertanya pun haru