Share

BAB 2: Bimbang Bersikap

Apa ini yang dinamakan senjata makan tuan?

Meski tak berniat, kedatangan Shaina dan Alvi jelas berpotensi mengagetkan orang tua Fenita dengan kabar yang tak ingin didengar oleh orang tua mana pun.

Namun nyatanya, kekagetan itu juga menjadi milik Shaina. Hanya Tuhan yang tahu betapa keras perjuangannya untuk tak terlihat shock, untuk tampak normal setidaknya di hadapan Alvi. Dan itu nyaris tak mungkin, selain karena tak berbakat akting, Shaina pun tak pernah menduga akan mengalami hal ini.

Dalam kegetiran hatinya, wanita itu dipaksa mengakui inilah alasan kenapa harus Fenita Febrianti yang menjadi selingkuhan terkasih suaminya.

"Sebaiknya kamu harus punya alasan yang masuk akal atas sikapmu tadi. Ada apa sebenarnya? Siapa dia, Sha? Kamu kenal papanya Fenita, kan? Karena aku bisa ngerasain kegugupan kalian tadi." Alvi tak hentinya memuntahkan protes  sejak Shaina menyeretnya pulang tanpa mengutarakan apa pun yang menjadi maksud mereka mendatangi rumah itu.

Rasanya tak masuk di akal Alvi. Ketika menemani Shaina yang tampak siap berperang, namun hanya berakhir mendengar kalimat konyol yang diucapkan oleh sahabatnya itu.

"Tolong beri kartu nama anda, pak. Lain kali akan saya hubungi lagi untuk menjelaskan maksud kedatangan saya hari ini."

Dan di antara kecanggungan mereka, pria itu menurut saja apa yang dikatakan Shaina. Memberi kartu nama dengan disertai ucapan lirih yang mungkin diharap tak perlu didengar oleh Alvi.

"Masih nomor yang sama."

Begitu saja. Jangankan ada adegan keributan, sekedar memberitahu maksud kedatangan mereka saja, Shaina tidak melakukannya.

Ada apakah ini? Alvi bertaruh, kalau Shaina dan papa Fenita itu telah saling mengenal sebelumnya. Sangat jelas terlihat dari ucapan, gesture terkejut dan tatap intens pria itu pada Shaina.

Shaina meneguk ludah dengan susah payah. Alvi memang sahabatnya. Namun tak segala tentangnya Alvi selalu tahu. Atau tepatnya, tak sedetail itu tahu.

"Aku masih menunggu kamu untuk cerita. Ada sesuatu di antara kalian, kan? Yang aku nggak tahu?" tembak Alvi, to the point. Ayolah, baginya semua terlalu jelas untuk bisa diabaikan begitu saja!

"Sebenarnya kamu tahu. Cuma, kamu  nggak tahu saja kalau dia orangnya."

"Dia itu orang yang pernah aku ceritain dulu, saat masih sekolah," tambah Shaina lagi ketika dilihatnya Alvi hanya menatap dengan sorot penuh tanya serta dahi berkerut

"Dari kita kenal sampai sekarang, ada milyaran hal yang pernah kamu ceritakan ke aku, yang mana?” desaknya, tak sabar.

"Dia ... Shirajudin Ahmad, Vi. Dulu aku memanggil dia bang Shiraj karena katanya nggak enak kalau dipanggil Om," tutur Shaina, lirih.

Alvi tersentak. Ingatan wanita itu pun seketika menjadi terang benderang. Tentu saja ia mengenal siapa pria itu, meski hanya dari cerita sang sahabat dulu!

 "Astaga, jadi dia? Jangan bilang kalau kalian …?” Alvi tak melanjutkan ucapannya. Karena ‘realita’ versi cerita Shaina dengan apa yang dilihatnya tadi, terlalu tak cocok dalam logika Alvi. Dan biasanya, firasatnya jarang sekali salah!

"Nggak gitu." Shaina mengelak, seolah tahu apa yang ada di pikiran sang sahabat. Dan inilah yang sebenarnya ia takuti hingga tak pernah sejujur itu bercerita pada Alvi dulu.

"Pasti gitu" Alvi tetap kekeh. Apa lagi dilihatnya, Shaina tak tampak menyangkal.

"Lalu, apa yang jadi kendala kamu untuk nggak cerita ke dia tentang kelakuan anaknya? Kenapa harus segala minta kartu nama, kamu mau sambung komunikasi lagi?"

"Karena situasinya sudah keburu canggung." Shaina mengalihkan pandang.

"Karena kamu pernah ada di posisi anaknya?" tembak Alvi. Shaina hanya terdiam, seolah membenarkan.

"Kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dari aku, Sha?” Alvi mengembuskan napas beratnya. Ada sebersit rasa kecewa yang menyelinap. Ternyata, kedekatan mereka, tak lantas membuat Shaina mau berbagi semua hal dengannya.

Shaina hanya mampu terdiam dengan batin menggumam lirih.

"Karena kamu adalah sahabat aku, Vi...."

***

Tiga hari telah berlalu namun hingga kini, Shaina belum mampu memutuskan harus berbuat apa.

Shirajudin Ahmad harus tahu tentang bagaimana anaknya, dan itu adalah hal yang pasti. Hanya saja Shaina masih merasa perlu mengumpulkan ulang segenap keberaniannya untuk kembali menghadapi pria yang pernah jadi bagian dari masa lalunya itu.

Rasanya ironi yang komedi sekali. Meski entah apa hal yang mendasarinya juga sama, yang jelas ia pernah ada di posisi Fenita. Pria yang dipanggilnya ‘abang’ itu pernah menjadi bagian penting dalam riwayat cintanya. He's the real first. For everything.

Mencoba menghalau bayang masa lalu, Shaina meneguk coklat hangatnya perlahan. Minuman kegemaran yang selalu menemaninya saat merasa gundah.

Orang bilang, cokelat manjur untuk mengendalikan mood menjadi lebih stabil. Meski Shaina meyakini itu hanyalah sekedar mitos, namun sugesti positif itu tetap diharapkannya. Yah, selain cokelat memang memiliki cita rasa yang nikmat. Mudah untuk disukai siapa saja.

Diliriknya Andre—sang suami--  yang tengah khidmat menyendiri di teras depan, dengan ponsel yang tak pernah lepas dari tangannya. Shaina memutuskan menghampirinya.

“Ada apa?”

“Huh?” Andre yang tak siap dengan kedatangan sang istri, hanya bisa menggumam bingung. Ponsel yang dipegangnya, secara otomatis ia masukkan ke dalam saku kemeja.

“Aku tanya kamu kenapa?” Shaina mengulang dengan sabar dan datar.

“Memangnya aku kenapa?” Andre mencoba tertawa, mengalihkan kecanggungan.

“Kamu kayak sedang tak bersemangat begitu. Ada masalahkah?”

Kalau tak salah memperhatikan, sudah sejak kemarin Shaina melihat ekspresi keruh di wajah suaminya. Apa pun yang ada di ponsel itu tak lagi mampu membuatnya tersenyum. Setidaknya, itu yang di pelajari Shaina dari kebiasaan sang suami.

“Nggak ada yang serius, Sha. Hanya sedikit masalah pekerjaan. Dan aku yakin bisa mengatasinya.”

Seperti dugaan Shaina. Bila ditanya, tentu Andre akan berkilah karena alasan pekerjaan. Mungkin baginya, Shaina memang selugu itu untuk tak menangkap gejala puber yang begitu jelas diperlihatkannya.

Atau kalau pun ia 'tahu ' Shaina mengetahuinya, mungkin Andre akan tetap tenang karena yakin, Shaina hanya akan sedikit bergolak, untuk kemudian tenang kembali. Tanpa perlawanan berarti.

“Yakin?”

“Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya?” Tentu saja Andre cukup peka dengan maksud kalimat sang istri, meski tak diucapkan dengan nada menyindir.

“Tentu kamu pun paham apa maksudku. Kali ini, siapa lagi?” Shaina bertanya dengan tenang. Hanya itulah yang bisa ia lakukan.

Betapa pun perbuatan Andre menyakitinya, namun, Shaina tak pernah punya cukup keberanian untuk bersikap tegas. Sepintas, ia malah terlihat seperti istri yang masa bodo dengan kelakuan sang suami di luar sana.

Dan bukankah hal itu yang membuat Andre seolah mendapat angin segar untuk tetap bermain-main di luar mahligai?

“Apa pun yang kulakukan, itu tak akan mempengaruhimu sama sekali, kan, Sha?” Andre menyeringai dengan kalimat ambigu. Ada pendar kecewa samar pada sinar matanya, namun tak mampu terdeteksi oleh Shaina.

“Aku pergi dulu. Nggak usah menungguku untuk makan malam.” Pria itu berdiri dan pergi begitu saja. Bahkan tanpa memberi kecupan basa-basi pada keningnya, seperti yang biasa ia lakukan.

Shaina hanya menatap kepergiannya dengan sorot nanar. Ia bahkan tahu ke mana tujuan Andre pergi sekarang.

Wanita itu meraba dadanya, seolah mencari tahu dengan seksama, tentang apa yang tengah ia rasakan. Benarkah yang Andre katakan tadi, kalau semua ini tak mempengaruhinya sama sekali?

"Semua yang kulakukan ini, lebih untuk diriku sendiri, Ndre, andai kau tahu. Kalau saja rasa bersalah itu tak selalu menghantuiku, membuangmu tentu adalah perkara mudah bagiku. Tak perlu menunggu selama ini. Itu pasti telah kulakukan sejak kau menghianatiku untuk pertama kalinya ...." 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
bintang
kayak nama suaminya saskia gotik...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status