Share

BAB 4: Pertemuan

Entah ada apa dengan Andre sebenarnya. Jelas, Shaina bisa merasakan sikap uring-uringannya yang semakin menjadi-jadi. Apakah ini ada hubungannya dengan Fenita? Atau wanita-wanita yang lain?

Satu hal yang jelas, Andre tak pernah seperti ini sebelumnya. Pria itu seolah kehilangan gairah hidup dengan menampakkan gesture dan ekspresi lesu setiap harinya. Wajah itu pun nyaris tak pernah lagi berhias senyum.

Andre tak ubahnya seperti zombie yang bernyawa!

"Oke, tolong katakan ada apa lagi kali ini, Dre." Shaina menelungkupkan sendok-garpu dengan gemas. Cukup sudah beberapa hari ini ia dianggap figuran. Dan Shaina mulai menampakkan sikap muaknya.

Untuk makan malam saja, ia harus memaksa sang suami. Dan sepanjang makan, Andre hanya melamun, seolah asyik dengan dunianya sendiri.

Bahkan beberapa kali pertanyaan random Shaina, hanya berbalas gumaman karena pria itu tak berkonsentrasi.

"Apa maksudmu dengan ada apa?" Andre balik bertanya dengan raut wajah tak suka. Ia pun menyudahi makan meski nasi di piringnya masih tersisa lumayan banyak.

Bolak-balik selingkuh, Andre nyaris tak pernah kehilangan sisi hangat dan romantisnya pada Shaina. Sekali pun itu hanya kamuflase, setidaknya Andre masih menghargai keberadaannya sebagai seorang istri.

Tapi kali ini berbeda.

Entah apakah perubahan ini disebabkan oleh Fenita atau bukan, yang jelas cukup membuat Shaina berdenyut nyeri. Terlebih bila ini benar karenanya, berarti memang sudah sedalam itu perasaan sang suami pada remaja itu. Dan bukankah dengan Fenita adalah rekor terlama perselingkuhan Andre?

"Jangan menjawab tanyaku dengan pertanyaan juga. Kamu tahu persis apa maksudku. Siapa lagi kali ini yang mampu membuatmu semellow itu hingga seakan tak punya gairah hidup?" 

Andre memang belum sadar kalau Shaina telah mengetahui tentang Fenita, bahkan sudah sampai taraf mendatangi rumahnya segala. Pria itu hanya menatapnya dengan tatapan yang ... entah. Kemudian, ia hanya menyeringai.

"Kau selalu bertanya tentang hal yang sama. Prasangkamu bisa saja menjadi kenyataan, Sha. Tidak adakah  selain hal negatip yang bisa kau pikirkan tentang aku?"

"Oh ya? Persetan menjadi kenyataan atau tidak, itu bukan lagi masalah untukku. Tak diharapkan pun, hal brengsek itu sudah lama terjadi, kan?" Shaina mulai terpancing.

"Terserah apa katamu, Sha." Andre mengibaskan tangannya. Pria itu berlalu dari meja makan dan menyambar kunci mobil di atas bufet. Lagi-lagi bermaksud meninggalkan semua tanpa akhir yang jelas.

“Kita sedang bicara, tak bisakah kau menghargaiku sedikit saja?” teriak Shaina, reflek mengikutinya.

Namun, Andre sama sekali tak menggubris. Pria itu tetap pergi dan tak lama, suara mobilnya terdengar dari halaman rumah.

Shaina luar biasa jengkel dibuatnya. Ia menghempaskan diri pada sofa dengan seribu satu pikiran berkecamuk. Wanita itu tahu, ia harus melakukan sesuatu, kecuali ia merelakan semuanya tanpa perubahan.

Ponsel dalam sakunya tiba-tiba saja berbunyi, pertanda ada pesan yang masuk. Malas, Shaina meraih benda itu. Dahinya berkerut. Sebuah nomor tak terdaftar dengan foto profil motor sport mengirimkan beberapa pesan kepadanya.

[Ini abang]

[Ayo bertemu di kafe Nirwana besok sore.]

[Ada sesuatu yang harus kita bahas]

[Dan mungkin, ini berkaitan dengan apa yang menjadi tujuanmu datang ke rumah empat hari yang lalu]

Mata Shaina seketika membulat. Bang Shiraj? Tanpa dikomando, debar-debar dalam dadanya tiba-tiba begitu saja hebat bergemuruh.

Ini bukan tentang Shirajudin Ahmad yang masih memberi efek getar di setiap chat atau pun sekedar dering misscallnya. Tapi isi pesan itu, apa maksudnya? Apa dia ... tahu? Tahu dari mana? Dan apakah hal tersebut ada kaitannya dengan perubahan sikap Andre?

Begitu banyak tanya yang rasanya ingin saat ini juga terjawab. Namun Shaina memilih bersabar.

Memperpanjang komunikasi meski hanya via chat dan itu pun bukan untuk membahas masa lalu, masih cukup untuk membuat Shaina ada dalam mode waspada penuh. Karena Shaina sadar betul, setinggi apa potensi pria itu dalam 'menyusahkan' hatinya.

Tanpa berniat membalas pesan tersebut, Shaina segera mematikan data seluler. Tak ingin komunikasi terjalin lebih lanjut lagi.

Meski jujur, ada sedikit protes dari sudut tersembunyi hati tentang keputusannya itu. Dan itu cukup membuatnya untuk mengutuk dirinya sendiri.

***

Kafe Nirwana di sore hari masih belum terlalu ramai. Biasanya pengunjung akan membludak seiring  waktu-waktu pulang kantor nanti. Shaina berkali menghela napasnya, mencoba meredakan debar yang amat mengganggu itu.

Situasi yang lucu.

Haruskah ia berhadapan dengan ayah kekasih suaminya dengan hati yang berdebar gila seperti itu?

Situasi di antara mereka sudah tak lagi sama. Mungkin saja bahkan pertemuan ini akan berakhir tak mengenakkan. Seperti apa pun Shirajudin Ahmad di masa lalu, di saat kini ia adalah  ayah dari Fenita Febriani. Dan bisa dipastikan, pria itu akan berpihak pada anaknya.

Bisa jadi, pria itu akan ikut marah kepadanya karena sebagai seorang istri, Shaina dianggap tak mampu menjaga suaminya.

Atau jangan-jangan, ia akan dituding mendapat karma atas perbuatan salah di masa lalu mereka. Huh, yang benar saja. Dengan menudingnya, bukankah sama artinya pria itu menunjuk dirinya sendiri?

Monolog absurd dalam benaknya, cenderung mengubah mood Shaina dan membuat emosinya terhadap pria itu cenderung berkembang.

Membuat Shaina bersiap dalam mode 'perang', karena sepenuhnya sadar situasi di antara mereka tidaklah lagi sama. Dan bila prasangkanya benar terjadi, bukankah membela diri dan fokus menganggap Shiraj sebagai musuh, adalah hal terlogis yang harus dilakukannya?

Ya, seburuk apa pun resikonya, Shaina sudah memperhitungkan itu ketika mengirim chat balasan untuk setuju bertemu pada sore ini. Matanya menyisir  setiap inci ruangan, mencari sosok yang katanya telah ada lebih dulu di tempat ini.

[Aku di pojok kanan. Dari tempatmu berdiri, tertutup tanaman hias. Kamu nggak bakal bisa lihat aku dari situ]

Shaina bergegas menuju tempat yang di maksud usai membaca chatnya barusan. Dipersiapkannya mental sebaik mungkin, meski hatinya riuh menyadari ada yang berbeda dari chat tersebut.

Dulu, Shiraj selalu membiasakan menyebut dirinya dengan panggilan ‘abang’. Jadi, ketika kini ia mengganti dengan istilah ‘aku’, entah kenapa Shaina merasa merinding karenanya. Ia merasakan kesan yang lebih … intim? Ah, entahlah.

Please Shaina, jangan mempersoalkan printilan dari pelajaran bahasa Indonesia di saat genting seperti ini!’

Sosok yang tak asing itu langsung tertangkap pandangan matanya kala Shaina kian mendekat. Wanita itu pun sadar bahwa ia tengah ditatap dengan begitu intens tanpa jeda. Berusaha untuk tak merasa risih, Shaina meraih kursi di hadapannya dan mencoba duduk dengan tenang.

Rasanya sia-sia umur sudah dua puluh tujuh tapi masih bisa gemetar hanya karena ditatap selekat itu. Tapi ... ini betul-betul sesuatu.

Shirajudin Ahmad tak sepenuhnya berubah. Dari dulu Ia selalu mampu membuat Shaina meleleh hanya dengan sebuah tatapan.

Tunggu ....

Apa maksudnya saat ini ia sedang meleleh? Shaina mencoba balas menatap pria itu dengan pikiran yang tenang. Tak ingin Shiraj begitu mudah 'mengintimidasi' perasaannya, sama seperti bertahun lalu.

"Saya sudah di sini. Abang bisa cerita apa pun yang menjadi maksud dalam chat kemarin." Shaina memulai, berusaha setengah mati untuk tenang. Hanya Tuhan yang tahu betapa ia berjuang keras untuk itu.

"Kamu makin cantik...."

Kalimat jawaban yang melenceng itu, sukses membuat Shaina terpaku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mamah Thya
alamat CLBK ini mah ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status