Aku kecewa dengan ungakapan Tommy, kekasihku yang selama ini aku anggap dia orang yang setia padaku, karena sudah hampir delapan tahun hubungan kami berjalan, tapi tidak ada kejelasan sama sekali, bukan tidak ingin menikah dengan Tommy tapi restu dari orang tuaku dan dia pun tak kami dapatkan. Alasan orang tua kami karena perbedaan agama, aku pernah membicarakan hal ini pada papa, kami bisa menikah secara sipil tapi papa menentangku secara keras, jika aku tetap membantah ucapan papa, maka aku siap-siap di coret dari kartu keluarga papa. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa harta dari papa, aku yang sedari kecil terbiasa dengan hidup mewah, tak akan bisa tanpa uang. Apa lagi pewaris tunggal papa cuma aku. Mama sudah lima belas tahun menghadap Tuhan, semenjak itu aku kehilangan kasih sayang ibu, kepergian mama meninggalkan luka yang mendalam buatku, dan semenjak mama tidak ada hidupku seperti burung yang lepas dari sangkar, aku bebas kemana aja dan apapun yang aku mau. Papa selalu sibuk dengan bisnisnya, tapi secara materi aku tak kekurangan. Hubunganku dengan Tommy awalnya hanya sebatas adik dan kaka kelas saja, tapi lama kelamaan pesona pria itu mengalihkan duniaku, dia adalah cinta pertamaku, dulu aku tak terlalu memikirkan perbedaan di antara kami, yang aku tau aku jatuh cinta padanya dan dia selalu memanjakanku, hobi, sifat dan kehidupan kami hampir sembilan puluh persen sama, dia terlahir dari keluarga berada, kehidupan yang bebas sama-sama kami rasakan, keluar masuk club malam sering aku lalui bersama dia. Tapi satu hal yang ku salut dari Tommy dia tetap menjaga kehormatanku sebagai wanita. Walau tubuh dan bibir ini sering di sentuhnya.
Aku kecewa dengan keputusannya kemarin, aku pikir dia berniat melepas rindu denganku di saat pertemuan kami kemarin, tapi ternyata dia mengungkapkan fakta yang sulit aku terima. Aku berlari keluar cafe, aku benci Tommy, aku benci dia, hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku masuk ke sebuah taxi yang lewat di depan cafe. Dan meminta supir taxi berlalu ke sebuah club, aku ingin melepas semua beban di hati dengan meneguk alkohol, biasanya aku dan Tommy melakukan ini bersama di club ini. Tapi aku malah merasakan sedih, aku tak kuat lagi hingga aku menangis sejadinya club itu.
Derrtt..derrrtt... ada getaran dari dalam tas ku, aku mencoba merahi dan menerima telfon itu tanpa melihat siapa yang menelfon.
"Halo... hiks..hiks..hiks..." aku menerima telfon sambil menangis tersedu-sedu.
"Halo Din, kamu kenapa? Ini kamu dimana, kok bising banget, kamu baik-baik saja kan? Tommy di mana?" Ucap maria di sebrang telfon, ternyata dia menelfonkan dan meluapkan semua pertanyaan itu padaku, tapi aku tak bisa menjawab, hanya bisa menangis.
"Dina, kamu dengar aku kan, kamu kenapa? Jangan bilang kamu lagi di club, Tommy dimana din?"
Aku tidak menjawab, dan aku mematikan telfonku. Aku melanjutkan minumku, dan terus menangisi nasib diriku yang sekarang cintaku tak terbalaskan.
Tidak lama berselang, aku melihat Maria menghampiriku.
"Dina... kamu kenapa? Ada apa ini Din, kamu minum sudah terlalu banyak Din, ayo kita pulang" bujuknya padaku, tapi aku tidak mau ikut dengan ajakannya aku menarik tangannya agar dia ikut duduk disampingku.
"Maria... hiks..hiks.. Dia jahat Mar, jahat samaku, dia tega Mar"
"Kamu tenang dulu Din, tarik nafasmu, bicara padaku apa yang terjadi"
"Kamu benar Mar, dia sudah menikah dengan pilihan orang tuanya, dan sekarang dia memilih wanita itu di banding aku"
"Kamu yang sabar ya Din, mungkin dia memang bukan jodohmu, jangan begini Din, lihat tubuhmu, sungguh sangat kacau, kamu juga minum sudah cukup banyak" Maria mengingatkan ku dan memelukku
"Tapi Mar, kamu taukan betapa aku mencintai dia, aku rela berhubungan sampai delapan tahun dengannya, aku bertahan selama ini karena aku benar-benar sayang sama dia. Sekarang semua udah berakhir Mar, dia buat aku kecewa, aku seperti ini karena dia"
"Dina, kamu tenang dulu, hentikan minummu, sudah cukup Din, kalau papa mu tau kamu pasti habis di marahi. Ayolah Din, kamu harus bisa bangkit"
Aku tidak menanggapi ucapan maria, aku terus meminum minuman yang ada di depanku. Sekarang rasanya kepalaku sudah berat sekali, seperti ada yang menimpa di kepalaku.
"Halo pak, ini Maria teman Dina, pak bisa ke club Jo di jalan iskandar?"
....
"Ia pak, Dina bersama saya, sepertinya dia kelelahan pak, tolong jemput ya pak, saya tunggu di depan club"
Aku mendengar panggilan Maria dengan seseorang melalu ponsel ku, aku menduga dia pasti menelfon mamang supir pribadiku.
"Ayo Din, kita pulang, sebentar lagi supir mu datang, aku tidak mau papa mu tahu soal ini" Maria memapah ku berjalan ke luar club, aku tak bisa menolak, karena saat ini kepalaku terasa sangat berat.
Kepalaku rasanya semakin berat, pandanganku pun mulai berkunang-kunang, sepertinya badanku sudah tidak bertulang lagi, lemas seketika kurasakan, untung saja ada Maria yang menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Samar-samar aku mendengar suara mamang yang semakin mendekat."Non, non Dina kenapa neng? Kok bisa seperti?""Duh pak, ceritanya panjang pak, nih buruan kita bawa Dina pulang, takut keburu tengah malam, terus papanya tahu lagi""Ya neng, ayo sini biar mamang yang bawa non Dina."Perlahan tubuhku sudah berada di dalam mobil, aku mencoba melihat keluar pintu mobil, tapi pandangan ku semakin
Suara azan subuh berkumandang, aku bergegas bangun membersihkan diri, dan mengerjakan kewajiban dua rokaat, biasanya aku ikut sholat berjamaah di masjid, tapi entah kenapa pagi ini rasanya hatiku ingin beribadah di kamar ini. Setelah aku melakukan kewajibanku, aku melanjutkan dengan membaca Alquran, untuk mengisi sisa waktu pagiku sebelum bersiap untuk kembali bekerja. Tapi di saat aku ingin mengakhiri bacaan Alquran ku, aku mendengar suara seseorang yang sedang mengeluarkan isi perutnya, aku tahu itu pasti Dina. Aku susul dia, aku pijit tengkuknya dan mengolesi lehernya dengan minyak angin, tapi Dina menolaknya. Aku tau dia tidak akan pernah suka dengan perlakuanku. Tapi bagaimana pun dia butuh pertolongan. Aku berinisiatif membuatkan dia teh hangat, tapi tetap saja dia tidak menyentuh tehnya. Aku tidak ingin banyak bicara dulu padanya, aku tau dia pasti sedang ada masalah saat ini. Lebih baik aku biarkan dia istirahat dulu.
Saat ini aku sudah memasuki halaman rumah, aku memarkirkan motorku didepan garasi. Rasanya ingin segera membersihkan diri dan bersujud menghadap sang pencipta."Mas Azzam" suara seseorang yang memanggil namaku, aku berbalik dan melihat siapa yang memanggil"Maaf mas, boleh kita bicara sebentar?" Tanya mang Ojin pada ku"Ia ada apa mang, silahkan kalau mau berbicara" jawabku pada mang Ojin"Maaf mas kalau saya lancang, kemarin itu saya ketemu non Dina di club, sepertinya dia ada masalah besar. Memang dulu non Dina itu suka bermaim di club, tapi tidak pernah sampai seperti semalam mas. Saya kasian liat non Dina mas, sepertinya dia terpukul sekali dengan keputusan Tommy kekasih non Dina. Apa mas Azzam sudah tau?" Tampak raut wajah yang ragu di lukiskan di wajah mamang. Aku hanya menggelengkan kepalaku bertanda bahwa aku tidak mengetahui masalahnya.
Hari ini aku tidak masuk kuliah, rasa pusing dan mual efek dari minuman yang kemarin aku minum membuat tubuhku lemas. Betapa bodohnya aku telah menyakiti diri sendiri.Selama ini aku terlalu di butakan oleh cinta, cinta yang tak pernah membalas untuk ku. Satu hari aku berdiam dikamar, aku teringat dengan mama, sosok mama yang luar biasa sangat aku rindukan. Tapi rinduku tak bisa memeluknya. Aku duduk di balkon kamar memandang keluar, aku mencoba menata hatiku, selama ini aku terlalu banyak salah kepada mama. Dulu sebelum mama pergi aku berjanji akan menjadi wanita yang baik. Tapi nyatanya hanya karena seorang pria aku seperti ini. Disaat aku sedang memikirkan penyesalan dalam diriku, aku mendengar ketukan dan ucapan salam. Aku tidak merespon, hingga dia menghampiri ku aku pun tetap tidak meresponnya.
Sinar matahari menyeruak masuk di sela-sela jendela yang terbuka, membuat Dina terpaksa membuka matanya."Mmm... papa kenapa dibuka? Dina masih mau tidur pa, Dina masih ngantuk""Din, kamu harus belajar menjadi istri yang lebih baik, bangunlah nak""Azzam gak ada yang nyiapin sarapan" tegas papanya, agar Dina segera bangun"Kan ada bibi Asih pa, kenapa harus Dina""Kamu istrinya, sudah sewajibnya kamu yang melayani kebutuhan suami. Pokoknya papa tidak mau tau, segera mandi yang wangi dan pakai pakaian yang rapih, biar kamu terlihat mempesona didepan Azzam" goda papa sambil tersenyum"Apaan sih pah" Dina turun dari ranjangnya dengan wajah kesalnya dan berjalan ke kamar mandi.Dion papa Dina keluar kamar menuju ruang makan yang bersebelahan dengan dapur, saat berjalan ke dapur Dion melihat Azzam yang seda
Udara pagi masih terasa sejuk, matahari mulai memberi kehangatan untuk bumi. Azzam telah sampai di kampus tempat ia mengajar, saat di perjalanan tadi Azzam berusaha mencari istrinya Dina, tapi dia kehilangan jejak, mungkin saja Dina sudah berangkat dengan taxi, karena dia melihat mang Ojin masih berada di garasi mobil.Aku masuk keruangan ku, meletakkan tas kerja dan beberapa berkas materi kuliah nanti. Melihat jam di pergelangan tangan masih menunjukan pukul tujuh tiga puluh masih ada waktu tiga puluh menit lagi waktu untuk menunggu. Azzam pun berlalu ke perpustakaan kampus, ia ingin mengambil sebuah buku yang bisa menambah revrensi materi mengajarnya.Tak disangka, saat Azzam masuk di ruangan yang penuh dengan buku-buku tersebut, ia melihat istrinya sedang duduk berduaan dengan lawa
Setelah satu jam aku mengisi kelas ini, akhirnya aku mengakhiri pertemuan di kelas D. Tugas yang ku berikan sudah di kumpul oleh Ciko. Dan aku meminta Ciko untuk mengantarnya ke ruanganku.Aku berjalan meninggalkan kelas D dan menuju ruangan ku. Aku ingin bersiap-siap untuk pulang, hari ini jam mengajarku telah selesai. Sesuai janjiku pada abah dan umi, aku akan pindah kerumahku di dekat yayasan. Di saat aku ingin berjalan ke parkiran kampus, aku melihat Dina yang berjalan dengan pria lain, sepertinya pria itu Leo yang aku lihat di perpustakaan tadi. Aku coba menghubinginya tapi tidak di angkat. Aku kirim pesan semoga Dina membaca pesanku."Dina, mas tunggu kamu di parkiran ya, kita pulang bareng, sore ini kita pindah ke rumah mas sesuai ucapan mas dengan papa" pesan terkirim ke DinaHampir sepuluh menit aku menunggu di parkiran dan menunggu balasan dari Dina.Ting
Pagi ini aku terkejut dengan keputusan pria yang bersetatus suami ku, oups.. cuma status ya, aku tidak tertarik dengan kehadirannya sedikitpun. Dua puluh lima tahun aku hidup bersama papa di rumah mewah ini, dan di rumah ini pula aku punya banyak kenangan dengan mama, malah dengan gampangnya dia mengajakku untuk pindah kerumahnya. Sebenarnya aku tidak terima dengan keputusan dia yang tiba-tiba. Ingin menolak tapi papa memberi izin kalau anak semata wayangnya ikut dengan pria tua ini. Aku berlari keluar dengan membawa tas kuliahku, tanpa berpamitan dengan papa. Rasanya aku kecewa yang kedua kalinya dengan keputusan papa. Aku berlari keluar rumah tanpa menghiraukan panggilan papa. Aku menaiku taxi yang kebetulan lewat didepan rumah. Meminta supir taxi mengantarkanku ke kampus.Saat aku sampai di pintu gerbang kampus, aku buru-buru berjalan ke perpustakaan, hari ini ak