"Ada topeng-topeng yang berkilauan di istana, menutupi wajah-wajah yang penuh dusta. Dan ada hati yang melihat melampaui gemerlap, menemukan kebenaran di jalanan berdebu, di antara mereka yang tak punya apa-apa selain harapan yang pudar. Dunia ini adalah panggung, dan kebohongan adalah naskah yang tak pernah berakhir."
*** Insiden di dapur Istana Nightborne meninggalkan bekas yang dalam bagi Elaria. Bukan hanya pujian singkat Kaelion, melainkan juga realitas pahit yang ia saksikan: anak-anak kelaparan di balik dinding istana yang megah. Elaria mulai melihat lebih jelas di balik tabir gemerlap kehidupan bangsawan. Setiap jamuan makan, setiap pesta dansa, setiap percakapan basa-basi, terasa semakin hampa dan munafik. "Semuanya tentang penampilan," gumam Elaria pada dirinya sendiri, saat Clara merapikan gaunnya untuk jamuan makan malam rutin di Estate Thorne. "Bukan tentang apa yang sebenarnya terjadi.""Ada jejak yang terukir di antara luka, di antara kepedihan yang tak terucap. Sebuah sentuhan yang menghapus duka, sebuah bisikan yang memecah keheningan, membuka jalan bagi hati yang mulai berbicara." *** Surat yang disisipkan di buku Kaelion menjadi rahasia kecil Elaria. Ia sering bertanya-tanya, apakah Kaelion benar-benar membacanya, atau apakah ia hanya menyimpannya tanpa makna berarti. Meskipun Kaelion tidak membalas, fakta bahwa ia menyimpan surat dan bros itu memberi Elaria sedikit kelegaan. "Dia menyimpannya," gumam Elaria sesekali, memandang ke luar jendela kamarnya. "Itu saja sudah cukup... untuk saat ini." *** Beberapa minggu berlalu dengan tenang. Elaria kembali menjalani rutinitasnya, membantu rakyat miskin, dan sesekali menghadiri acara bangsawan yang membosankan. Hatinya tetap menyimpan benih harapan yang tumbuh perlahan. Suatu pagi, sebuah pengumuman mengeju
"Ada bisikan hati yang tak mampu terucap, namun mencari jalan lewat tinta. Di antara barisan kata yang sunyi, tersimpan harapan, tentang dua takdir yang ingin bertemu di lembar yang sama." *** Tatapan Kaelion saat festival musim gugur meninggalkan jejak yang dalam di hati Elaria. Itu bukan hanya pandangan sekilas; itu adalah sebuah pengakuan yang sunyi, janji tak terucapkan bahwa ia, sang Duke yang dingin, melihat Elaria. Sejak saat itu, setiap kali Elaria melihat Kaelion dari kejauhan, ada sesuatu yang berbeda. Dinginnya Kaelion masih ada, tapi kini tidak lagi terasa begitu menusuk. Ada celah kecil, celah harapan, yang membuatnya bertanya-tanya. "Apakah ini hanya perasaanku saja?" gumam Elaria pada dirinya sendiri suatu pagi, saat menatap pantulan dirinya di cermin. "Atau memang ada sesuatu?" Clara, pelayan setianya, melihat perubahan pada diri Elaria. Wanita muda itu kini lebih sering melamun, senyumny
"Ada bahasa yang terukir di antara jeda, di dalam pandangan yang membeku. Sebuah detik yang terasa abadi, membuka celah di antara dinding-dinding hati yang selama ini membisu." *** Setelah insiden di kantor Kaelion dan pertukaran bisikan "Terima kasih... Lady Thorne" yang lirih, Elaria merasa ada sedikit perubahan dalam dirinya. Kata-kata Kaelion, ditambah dengan penemuan bros anggurnya yang disimpan Duke itu, memberinya harapan baru. "Dia tahu," Elaria sering bergumam pada dirinya sendiri, tersenyum kecil saat menatap jendelanya. "Dia tahu aku yang membantunya." Insiden fitnah terhadap Kaelion berhasil diatasi. Tuan Eldrin ditangkap, dan reputasi Kaelion pulih. Namun, Duke itu tetaplah sosok yang dingin dan sulit didekati, membuat Elaria bertanya-tanya apakah momen itu hanya kebetulan. "Jangan terlalu berharap, Lady Elaria," Clara sering menasihati. "Duke Kaelion itu seperti bintang di langit, hanya bis
"Ada badai yang datang tak terduga, mengancam menjatuhkan yang terkuat. Namun di tengah pusaran tuduhan, sebuah tangan terulur dari kegelapan, membimbing menuju kebenaran yang tersembunyi." *** Setelah insiden di kamar dan getaran dunia novel yang misterius, Elaria terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Ketakutan masih ada, tapi tekadnya kini membara. Ia tahu ia tak bisa menyerah. "Jika aku tidak bisa meninggalkan dunia ini," gumamnya pada pantulan dirinya di cermin, "maka aku akan menjadi yang terbaik di dalamnya. Figuran yang tak bisa diabaikan." Beberapa hari berlalu dengan tenang, meskipun Elaria masih merasa tertekan oleh tatapan dan bisikan para bangsawan yang menganggapnya aneh. Ia tetap menyelinap keluar untuk membantu rakyat miskin, kini dengan kewaspadaan yang lebih tinggi. Suatu pagi, seluruh Istana Nightborne, dan bahkan Estate Thorne, gempar. Berita mengejutkan
"Ada ratapan yang mengguncang semesta, bisikan jiwa yang tak lagi mampu berjuang. Di ambang keputusasaan, bahkan takdir pun terkesiap, seolah mendengar jerit hati yang terlanjur patah." *** Kue labu yang dikirimkan Kaelion memang membawa secercah kehangatan, namun itu hanya sesaat. Kata-kata pedasnya, "Kau figuran, tapi menyebalkan," terus terngiang di telinga Elaria, menggerogoti setiap kepercayaan dirinya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Kaelion mungkin hanya ingin bersikap lucu, atau bahwa itu adalah caranya menunjukkan perhatian. Namun, hatinya tahu itu adalah cara Kaelion memandangnya: tak penting, sampingan, dan menjengkelkan. "Bagaimana mungkin aku bisa menggapai hatinya?" Elaria bergumam pada Clara, suatu sore saat mereka merapikan lemari. "Dia seperti tembok es yang tak bisa dihancurkan." Clara menghela napas. "Duke Kaelion memang terkenal dingin, Lady Elaria. Tidak ada yang pernah bisa deka
"Ada rindu yang tak terucapkan, tersembunyi di balik kekakuan dan jarak. Kadang, justru hal paling tak terduga yang membuka celah, mempertemukan dua dunia yang berbeda." *** Setelah insiden di taman, Elaria merasa sedikit... aneh. Bukan karena Kaelion melihatnya tertidur, tetapi karena ia tidak bereaksi sama sekali. Tidak ada teguran, tidak ada cibiran. Hanya tatapan yang tak bisa ia artikan. "Dia aneh," gumam Elaria pada dirinya sendiri, saat menyisir rambutnya. "Semakin aku mencoba mengerti pria itu, semakin aku bingung." Kehidupan bangsawan semakin terasa membosankan. Elaria merasa seperti boneka yang dipajang, bukan manusia yang hidup. Setiap hari diisi dengan etiket kaku, jamuan hampa, dan percakapan yang tak berarti. "Aku merindukan kue labu buatan kepala koki lamaku," Elaria menghela napas saat makan siang. "Yang lembut, dengan taburan kayu manis yang melimpah. Ah, surga d