LOGINSebuah pikiran buruk sempat terlintas di benak Renata. "Apa jangan-jangan dia mau bawa gue ke hotel atau ke tempat sepi terus gue di gitu-gituin sama dia. Ah, nggak mungkin dia pria baik-baik. Nggak mungkin dia ngelakuin hal gila kayak gitu. Ngeres banget ini otak."
"Ikut aja, nanti aku tunjukin tempatnya." Noval mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Renata. "Ok!" jawabnya tanpa pikir panjang lagi.Noval memberikan helm-nya yang berwarna putih itu pada Renata. Dia mulai menghidupkan kuda besinya dan melaju perlahan meninggalkan pelataran rumah Renata yang luas. Jalanan cukup lengang siang ini. Mungkin karena hari kerja, para pekerja masih disibukan dengan urusan pekerjaan mereka masing-masing. Beda halnya dengan para bos dan pimpinan perusahaan, terkadang meraka memiliki waktu luang yang lebih."Pegangan yang erat," pinta pria yang kini memakai jaket khusus untuk berkendara motor itu pada Renata saat melewati sebuah kawasan perbukitan yang cukupNoval mendekatkan wajahnya. Kini hanya berjarak lima centimeter saja, membuat kedua mata mereka saling beradu. Tatapannya penuh pesona, membuat Renata menjadi sangat bergairah. Wanita itu langsung mengalungkan kedua lengannya ke leher Noval. kedua bola matanya yang biru langsung terpejam. Seakan tak peduli dengan apa yang akan dilakukan Noval padanya. Dia benar, situasi seperti ini membuat setan dengan leluasa menggodanya. Dan sialnya dia sangat menikmati hal tersebut. Pria itu memiringkan wajahnya, semakin dekat dengan leher jenjang milik Renata. Bahkan hembusan napasnya bisa langsung Renata rasakan. Sensasinya membuat tubuhnya menginginkan hal lebih. Sesaat kemudian Noval berbisik lirih," Pergilah mandi, aroma alkohol masih melekat di badanmu!""Apa?" Seketika Renata melepaskan pelukannya. Pikirannya dipenuhi keinginan untuk berteriak dan memaki, melampiaskan kekesalannya. Namun, setiap kali ia membuka mulut, bayangan kejadian memalukan tadi melintas, membuatnya ingin menarik selim
Renata mematung, melihat bayangn dirinya di dalam cermin. Tak ada rona kebahagiaan terpancar di sana. Yang ada hanya kabut pekat yang menyelimuti dunianya. Cukup lama ia larut dalam keheningan. Pikiran dan hatinya kini dinaungi awan hitam, penuh keraguan. Perlahan gadis bermata biru itu mengusap lembut cincin putih yang melingkar manis di salah satu jarinya yang lentik. Renata tampak gusar. Berulang kali ia meremas rambutnya yang panjang. Menghela napas panjang dan membuangnya kasar. "Sial!" Penampilannya bahkan terlihat sangat kacau siang ini; pakaian tidur yang masih melekat di badan; rambut singa yang berantakan dan badan yang bau dengan alkohol. Ting! Tong! Berulang kali suara bel itu terdengar memanggilnya. Karena merasa terganggu ia bangkit walau dengan terpaksa. "Siapa sih, berisik banget?!" Renata membuka lubang intip di pintunya. Seketika matanya terbelalak. Ia mengucek matanya, bahkan sampai mencubit pipi untuk memastikan jika pe
"Iya, tapi 'kan kamu tau, kafe Mas bentar lagi grand opening. Rencananya saat nanti acara itu Ma mau lamar dia dihadapan umum, eh taunya dia batal pulang." Raut wajah Noval terlihat sedikit murung. Ia teringat dengan cincin yang sudah ia pesan untuk acara penting itu. "Ya udah, makanya udah susul aja ke sana. Gimana kalau kondisi ayahnya itu terus menurun, umur nggak ada yang tau, Mas!" ujarnya lalu menggigit buah pir yang ada di atas meja kerja Noval. "Eh, itu buah pir Mas maen gigit aja," Noval merebut buah itu dari tangan Tiara. Seolah mengalihkan topik pembicaraan. "Pelit! Huuuu!" ucapnya sambil berlalu pergi. "Eh, lupa!" Tiara mendongakkan kepalanya di depan pintu kamar yang belum tertutup. "Apa lagi?" jawab Noval malas, ia lalu memutar kursi kerjanya menghadap Tiara. "Bantuin ngerjain PR dong, tugas Kimia sama Matematika! Mumet nih, soalnya susah banget!" rengeknya manja. "Ya udah bawa sini!" jawab Noval setengah malas. Tapi demi adik
"Pak Zul, tolong dengarkan penjelasan saya lebih dulu. Kita kembali ke dalam dan bicarakan ini baik-baik. Kita harus dengarkan apa pendapat anak-anak kita tentang masalah perjodohan ini, Karena sejatinya merakalah nanti yang akan menjalani pernikahan ini," bujuk Pak Sanjaya. "Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Tadi saya dengar sendiri kalau Noval tidak menginginkan anak saya menjadi istrinya."Mendengar pertengkaran yang terjadi di rumah Noval. Para tetangga sekitar mulai berdatangan melihat. "Ada apa ini?""Ada apa ini?"Terdengar suara riuh ibu-ibu yang sudah memadati halaman rumah Noval yang pagarnya tidak terkunci. Bahkan sudah terlihat beberapa orang yang sudah siap dengan ponsel masing-masing yang siap mengabadikan momen pertengkaran yang ada di depan mata.Ketika rasa empati mulai terkikis, dan siapa saja sudah bisa jadi reporter dadakan. Semua direkam, semua diliput dalam media sosial. Dan menjadi trending adalah tujuan yang dicar
"Gue udah di bandara." Sebuah chat masuk ke aplikasi hijau milik Noval. "Beneran aku nggak boleh nganter kamu pergi?" jawab Noval. Tak lama balasan chat Renata datang. "Nggak usah, yang ada tar gue nggak mau pisah dari lu. Makasih ya, buat yang tadi. Sumpah tadi gue malu banget diliatin orang-orang kayak gitu.""Aku yang makasih karena kamu ... udah terima aku. Jangan lepas cincinnya, ya! Maaf aku belum bisa ngasih yang layak buat kamu." Noval mengirim emoji hati merah. Renata mengirim sebuah PAP cincin yang melingkar di jari manis tangan kiri beserta emoji hati yang banyak. "Always together, Hopefully ( selalu bersama, semoga)." Tulis Renata penuh harap. "Semoga ayah kamu segera pulih. Habis itu aku bakal lamar kamu segera." Renata kembali membalas dengan emoji tersenyum girang. Lalu menulis AAMIIN. LOVE YOU. Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan di pintu kamar Noval. Sebelum menutup ponselnya ia dengan cepat membalas chat terak
Sebuah pikiran buruk sempat terlintas di benak Renata. "Apa jangan-jangan dia mau bawa gue ke hotel atau ke tempat sepi terus gue di gitu-gituin sama dia. Ah, nggak mungkin dia pria baik-baik. Nggak mungkin dia ngelakuin hal gila kayak gitu. Ngeres banget ini otak.""Ikut aja, nanti aku tunjukin tempatnya." Noval mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Renata. "Ok!" jawabnya tanpa pikir panjang lagi.Noval memberikan helm-nya yang berwarna putih itu pada Renata. Dia mulai menghidupkan kuda besinya dan melaju perlahan meninggalkan pelataran rumah Renata yang luas.Jalanan cukup lengang siang ini. Mungkin karena hari kerja, para pekerja masih disibukan dengan urusan pekerjaan mereka masing-masing. Beda halnya dengan para bos dan pimpinan perusahaan, terkadang meraka memiliki waktu luang yang lebih."Pegangan yang erat," pinta pria yang kini memakai jaket khusus untuk berkendara motor itu pada Renata saat melewati sebuah kawasan perbukitan yang cukup







