Ibunya menyodorkan segelas air putih pada Noval. "Kamu, kok, sampai kaget begitu?"
Renata hanya tersenyum melihat tingkah Noval. "Yes, sepertinya rencanaku berhasil." Sekilas Noval melihat ke arah Renata yang berpura-pura melihat ke arah lain. Ibu Wati kembali melanjutkan ucapannya. "Kemarin, saat kamu pergi Nak Renata datang sama temennya itu lho, siapa ya, ibu lupa namanya?" "Sesil!" jawab mereka serempak. Akhirnya netra mereka bertemu. Noval menaikkan kedua alis matanya, memberi tanda ketidaktahuannya mengenai semua ini. Renata hanya membalas dengan isyarat bibir. "Kena, lu!" "Iya ... Nak Sesil. Mereka bawa makanan serta obat buat ayahmu. Tapi sayang, ayahmu sudah keburu dibawa polisi." Ibu Wati melanjutkan kembali ucapannya, ada raut kesedihan kembali tersurat di sana ketika teringat kejadian kemarin. "Iya, kemaren Ibu udah cerita semua sama aku. Aku turut prihatin ya soal penangkapan itu. Mungkin ada sesuatu yang bisa aku bantu?" Renata mencoba menawarkan bantuan kepada Noval, berharap ketika Noval menerima bantuannya, ia juga bisa membantu wanita itu. "Nggak perlu, makasih buat tawarannya," jawab Noval dingin. "Iya, Nak Renata nggak perlu repot-repot ini masalahnya cukup rumit. Insyaallah semua ada jalannya. Oh iya, Val. Hari ini, kita jadi 'kan jenguk ayahmu?" Ibu Wati menggenggam tangan Renata seraya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya pada keluarga kecilnya itu. "Iya, Bu." "Kalau begitu, ibu mau siap-siap dulu. Kalian ngobrol berdua saja. Mungkin ada hal yang kalian ingin bicarakan. Ibu tinggal ke dalam, ya?" Ibu Wati beranjak dan masuk ke kamarnya. Sejenak, mereka saling terdiam kembali. "Kita bicara di luar." Akhirnya Noval bersuara. Renata bangkit dan mulai mengekor di belakang Noval. Ternyata, menuju suatu tempat ternyaman untuk Noval. Di pelataran belakang rumahnya ternyata ada juga sebuah taman kecil yang sangat indah. Tanaman hias tertata sangat rapi, selain itu ada sebuah gazebo yang cukup besar di sana, biasanya digunakan untuk acara makan-makan dengan keluarga besar Sanjaya lainnya. Di dekatnya, ada sebuah kursi gantung berbentuk ayunan rotan dari sintetis dilengkapi dengan bantal duduk yang empuk sangat nyaman untuk bersantai dari segala rutinitas yang membuat penat. "Rumahmu sangat nyaman ternyata. Banyak bunga terawat dengan baik." Renata mencoba membuka obrolan. Menciumi bunga-bunga yang sedang mekar. "Ibu sangat suka bunga. Semua tanaman ini ibu yang rawat," jelas Noval sambil berjalan menuju gazebo yang berada di paling ujung. "kenapa kamu berbohong dan mengaku sebagai calon istriku?" Noval langsung bertanya tanpa basa-basi lagi. Berhenti berjalan. Melihat ke arah Renata yang ada di dekatnya. Tatapannya setajam mata elang yang siap mengincar mangsa yang akan diterkam. "Sebenarnya apa maumu? Apa semua ini termasuk dalam rencanamu?" Belum sempat Renata menjawab, ia sudah diberondongi dengan pertanyaan berikutnya. "Jangan salah paham dulu, gue nggak tau apa-apa soal penangkapan bokap lu itu. Semua cuman kebetulan aja. Kemaren gue nggak sengaja lihat pas bokap lu dibawa ke kantor polisi. Dan ya, entah kenapa gue ngerasa kasian lihat ibu yang sampe lari ngejar mobil sambil nangis-nangis. Tadinya gue nggak mau masuk takutnya ganggu, tapi saat gue lihat lu pergi, ya gue masuk sama Sesil buat lihat kondisi ibu. Saat ibu tanya gue siapa, gue asal sebut gue calon istri lu, biar gue nggak ditanya macem-macem lagi." "Aku nggak percaya, sama kayak waktu kejadian di rumah sakit, kamu bilang aku pacar kamu di depan ayahmu dan sekarang kamu bilang ke ibu kalau sekarang calon istri aku, heuh! Aneh." "Sebenarnya gue datang ke sini, cuman butuh bantuan lu. Bokap sakit dan sekarang masuk rumah sakit dia cuman mau ketemu sama lu. Ok, semua memang berawal dari gue yang asbun(asal bunyi), tapi benaran waktu itu gue kepepet banget. Lagian gue juga nggak tau kalau lu ternyata kenal sama papi gue." "Ayolah, gini aja. Lu bantu gue, Dan gue juga bakal bantu bebasin bokap lu dari penjara. Lu ingat 'kan gue pernah nawarin uang buat lunasin hutang-hutang lu ke klub itu, dan tawaran itu masih berlaku. Kita sama-sama diuntungin, bukan?" Noval tidak bereaksi dengan tawaran Renata. "Ayolah, emangnya lu tega liat ibu sedih terus kayak gitu? Emangnya lu mau liat Tiara nggak pergi sekolah gara-gara takut di-bully sama temen-temennya? Emang lu tega lihat bokap lu lagi sakit terus mendekap di penjara? Ayolah, turunin ego lu! Kita sama-sama diuntungkan dengan kesepakatan ini." Renata mencoba menyakinkan Noval dengan tawarannya. Noval tampak berpikir. Mencerna perkataan yang Renata ucapkan. "Kalau setuju, sekarang juga gue bakal telepon pengacara gue buat ngurus semuanya. Nanti pas ibu ke lapas, gue jamin bokap lu udah bebas dan bisa ikut pulang ke rumah. Gimana?" 'Ayolah Noval, jangan egois. Plis, lu harus mau.' gumamnya lirih. Renata sudah kehabisan akal untuk membujuk Noval. "Lu nggak kasian juga, lihat papi gue yang terus nanyain lu sampe dia masuk rumah sakit karena terus memikirkan anak gadisnya yang nggak nemuin kepastian dari 'pacarnya'?" ucap Renata geram. Noval langsung melotot melihat Renata yang lagi-lagi menyudutkannya. Tiba-tiba Renata berteriak kencang. "Kamu tega ya, Mas. Aku udah telat masa Kamu nggak mau tanggung jawab!" Sepertinya sengaja biar ibu dan adiknya Noval dengar apa yang dia ucapkan. Lagi-lagi Renata asal bunyi. Dia sama-sama sekali tidak memikirkan apa akibat dari semua ucapannya itu. "Kamu tega, Mas. Kamu tega!" Huhuhu. Renata menangis tersedu. "Heuh!" Noval hanya tersenyum getir melihat tingkah Renata yang mencoba segala cara untuk mendapatkan perhatian semua orang. Tiba-tiba Renata hampir jatuh terpeleset menginjak lantai keramik yang licin karena semalam turun hujan. "Awas, hati-hati!" ucap Noval spontan. Bugh! Tak sempat menolong, Renata akhirnya terjatuh. "Aw!" ucapnya sambil kesakitan. "Makanya jangan suka bohong, karma itu nyata, 'kan!" Noval mengulurkan tangannya membatu Renata berdiri. Akan tetapi, karena lantai yang licin Renata yang mau berdiri malah menarik Noval jatuh dan hampir menimpa tubuh Renata. Untung saja, tangannya dengan sigap membalikkan posisi tubuh Renata sehingga Noval yang jatuh pertama ke lantai. Dan ya, Renata kini yang berada di atas tubuh Noval. Bugh! Akhirnya mereka berdua benar-benar terjatuh. "Maaf!" Bukannya berdiri, Renata malah menatap lekat wajah Noval dari dekat. Untuk kesekian kalinya netra mereka kembali bertemu. Mereka seperti tengah menikmati aroma parfum yang mengguar hidung dari jarak yang hanya kurang dari lima centimeter itu. Bahkan hembusan napas keduanya sangat terasa dengan jelas. Entah kenapa, ada rasa nyaman saat Renata berada sedekat ini dengan Noval. Jantungnya berdebar kencang. Begitupun dengan Noval. Pikirannya berkeliling, ingin sekali rasanya Renata merasakan sebuah sentuhan di bibirnya yang kini merona. Renata menutup matanya berharap sentuhan itu terbalaskan. Namun, sayang Noval malah memalingkan wajahnya. "Astaghfirullah, ada apa ini? Kalian lagi ngapain?" Ibu berteriak kencang saat melihat Renata berada di atas tubuh anaknya. Saat mendengar ada suara benda jatuh ibu langsung mencari sumber suara. Sontak Renata dan Noval terperanjat. Gegas mereka berdiri dengan susah payah karena lantai keramik yang masih basah. "Ibu jangan salah paham dulu. Ini nggak seperti yang ibu bayangin!" Noval mencoba menjelaskan. "Astaghfirullahaladzim. Noval ...!"Jam dinding sudah menunjukkan angka 11.35 malam. Suasana terasa hening. Renata terbangun dari lelapnya. Menggeliat seperti bayi. Melihat sekelilingnya, ia baru ingat jika malam ini tidak ada guling kesayangan menemaninya bermimpi. "Oh iya, gue lagi di rumah sakit," ucapnya pelan. Renata berdiri, berjalan menuju dispenser yang terletak dekat sebuah meja panjang, mengambil segelas air putih dan langsung menenggak habis semua isinya. Dia menengok ke arah sofa ruang tunggu. Ada Renata yang tengah terlelap dengan memegang remot TV. "Dia ketiduran di sana rupanya." Renata menghampirinya dan menyimpan remote TV itu ke tempatnya. "Sil, bangun!" ucapnya pelan. "Sil, bangun, Sil!" Renata mencoba kembali membangunkan Sesilia. Untuk ketiga kalinya, Sesil akhirnya terbangun. "Apa?" Sambil kembali menguap, menahan matanya yang enggan terbuka. "Kok papi belum masuk ruangan? Lu temenin gue tanyain perawat di depan, ya!" "Lah, lu kan tinggal pencet tombol di sana, yang deket bed. Tar juga per
"Tunggu, gue mikir apaan, sih? Terus kenapa dia berani meluk gue?" gerutunya perlahan hampir tidak terdengar oleh siapapun termasuk Noval. Tiba-tiba Renata mendorong tubuh Noval untuk menjauh darinya. "Lu ngapain meluk-meluk gue? Lu mau ambil kesempatan dalam kesempitan, hah?!" pekik Renata kencang. Membuat gempar para tenaga medis di sana. Bahkan ada beberapa perawat keluar dari ruang ICU untuk melihat keadaan di sana. Namun, mereka hanya diam saja melihat Renata memarahi Noval. Petugas kesehatan di sana sudah mengetahui siapa Renata, anak Mr William, salah satu pemenang saham di rumah sakit tempat mereka bekerja. "Maaf, aku nggak bermaksud ...." Renata langsung memotong ucapan Noval. "Alah, omong kosong." Noval mencoba menenangkan Renata yang tiba-tiba meledak amarahnya. Namun, sepertinya wanita itu tidak mengindahkan ucapan Noval. Malah terjadi adu mulut di antara keduanya. Hingga Sesil datang dan berhasil menenangkan keduanya.
Beberapa saat sebelumnya."Mana Nak Renata, Ibu mau bicara?" Ibu Wati menahan Noval yang akan masuk ke kamar."Sudah pulang. Ada urusan mendadak katanya. Dia titip maaf karena tidak bisa pamitan sama Ibu.""Kalau begitu kita bicara di depan. Ini menyangkut tentang hubungan kalian berdua.""Ibu, sudah berapa kali Noval bilang, dia nggak hamil. Dan walaupun hamil juga itu bukan anak Noval. Noval sama sekali nggak pernah sedikit pun nyentuh Renata. Ibu harus percaya sama Noval, ya! Sekarang lebih baik kita pergi ke rutan buat lihat kondisi ayah," ajaknya dengan halus. Mengalihkan perhatian ibunya untuk tidak lagi membahas tentang Renata.Noval masuk kamarnya, mengambil jaket hoody berwarna hitam yang tergantung di belakang pintu. Setelah itu mengambil tas selempang yang tergeletak di dekat meja komputer.Namun, perhatiannya teralihkan oleh sebuah tas perempuan berwarna soft pink yang tidak ia kenal. Tergant
Setelah berganti pakaian, Bu Wati langsung menyidang keduanya di ruang tengah.Renata hanya mengganti celananya saja yang basah. Untungnya ukuran celana Tiara tidak beda jauh darinya.Noval nampak tertunduk mendengarkan setiap omelan ibunya. Sedangkan Renata terlihat menahan tawa saat dirinya ikut kena omelan."Jadi gini rasanya kena omelan seorang ibu? Kok gue malah seneng, ya?" lirihnya pelan, dia seakan menikmati segala wejangan yang Ibu Wati berikan.Baru kali ini ada orang lain--selain ayahnya, yang berani memarahi dirinya. Tapi, rasanya sangat berbeda. Tidak ada rasa sakit hati ataupun amarah saat Ibu Wati mengomel terus seperti sekarang ini."Kalian itu sudah dewasa, harusnya tau mana yang dilarang oleh agama. Itu dosa, kalian belum resmi menikah.""Ibu, jangan salah paham. Tadi Renata mau jatuh karena lantainya licin. Aku mau bantu dia berdiri cuman malah ikutan jatuh. Ibu jangan berpikir buruk dulu." No
Ibunya menyodorkan segelas air putih pada Noval. "Kamu, kok, sampai kaget begitu?" Renata hanya tersenyum melihat tingkah Noval. "Yes, sepertinya rencanaku berhasil." Sekilas Noval melihat ke arah Renata yang berpura-pura melihat ke arah lain. Ibu Wati kembali melanjutkan ucapannya. "Kemarin, saat kamu pergi Nak Renata datang sama temennya itu lho, siapa ya, ibu lupa namanya?" "Sesil!" jawab mereka serempak. Akhirnya netra mereka bertemu. Noval menaikkan kedua alis matanya, memberi tanda ketidaktahuannya mengenai semua ini. Renata hanya membalas dengan isyarat bibir. "Kena, lu!" "Iya ... Nak Sesil. Mereka bawa makanan serta obat buat ayahmu. Tapi sayang, ayahmu sudah keburu dibawa polisi." Ibu Wati melanjutkan kembali ucapannya, ada raut kesedihan kembali tersurat di sana ketika teringat kejadian kemarin. "Iya, kemaren Ibu udah cerita semua sama aku. Aku turut prihatin ya soal penangkapan itu. Mungkin ada sesuatu yang bisa aku bantu?" Renata mencoba menawarkan bantuan ke
"Dua orang perempuan?" Noval mengernyitkan keningnya. "Yang satu kayak bule cantik banget. Kalau nggak salah namanya Renata. Yang satu lagi kayak cowok, tomboy gitu. Tapi aslinya kayaknya cantik juga kalau nggak salah namanya--" "Sesilia?" Noval langsung menebak nama kedua yang adiknya itu maksud. "Iya bener, kok, kamu bisa tau? Mas kenal sama kedua perempuan itu?" "Hanya teman waktu sekolah. Mau apa mereka ke sini?" "Aku nggak tau, mereka ngobrol sama ibu. Aku di suruh ke warung untuk membeli makanan sama ibu. Kayaknya obrolan mereka serius makannya nyuruh aku pergi. Oh iya, Mas. Tadi aku kesel banget sama orang-orang. Mereka terus ngebully aku. Katanya jangan deket sama Si Tiara, hati-hati ayahnya penjahat." Tiara menirukan gerakan bibir orang-orang yang membicarakannya. "Kamu yang sabar, ya! Abang lagi usaha buat cari uang pengganti itu. Ayah pasti segera kumpul lagi sama kita. Dan kalau ada