"Dua orang perempuan?" Noval mengernyitkan keningnya.
"Yang satu kayak bule cantik banget. Kalau nggak salah namanya Renata. Yang satu lagi kayak cowok, tomboy gitu. Tapi aslinya kayaknya cantik juga kalau nggak salah namanya--" "Sesilia?" Noval langsung menebak nama kedua yang adiknya itu maksud. "Iya bener, kok, kamu bisa tau? Mas kenal sama kedua perempuan itu?" "Hanya teman waktu sekolah. Mau apa mereka ke sini?" "Aku nggak tau, mereka ngobrol sama ibu. Aku di suruh ke warung untuk membeli makanan sama ibu. Kayaknya obrolan mereka serius makannya nyuruh aku pergi. Oh iya, Mas. Tadi aku kesel banget sama orang-orang. Mereka terus ngebully aku. Katanya jangan deket sama Si Tiara, hati-hati ayahnya penjahat." Tiara menirukan gerakan bibir orang-orang yang membicarakannya. "Kamu yang sabar, ya! Abang lagi usaha buat cari uang pengganti itu. Ayah pasti segera kumpul lagi sama kita. Dan kalau ada lagi yang berani sama Ade Abang yang satu ini, pasti urusannya bakal panjang nanti." Noval membela adiknya yang terlihat cemberut. Ia mengelus pucuk kepala Tiara dengan lembut. Andai saja Noval perempuan mungkin saat kini ia telah berlinang air mata. Harus menjadi tulang punggung keluarga di usianya yang masih sangat muda. Bahkan ia rela mengorbankan pekerjaan impiannya demi menyelamatkan ayahnya. Dan kini semua beban kehidupan bertumpu padanya. "Mau apa sebenarnya Renata datang ke rumah ini?" "Ya Allah, apalagi ini?" *** Tidak seperti biasanya, cuaca Jakarta pagi ini terasa dingin. Hujan lebat sejak pukul 03.00 dini hari tadi membuat sejumlah genangan air di sejumlah tempat. Termasuk jalanan di dekat rumah Noval yang notabene-nya merupakan tanah beraspal yang mulai rusak. Seorang wanita cantik turun dari sebuah mobil sedan yang terparkir tidak jauh dari rumah bercat putih dan sebagiannya coklat muda itu. Renata membawa sebuah goodybag yang berisikan makanan dan buah-buahan segar sebagai buah tangan untuk diberikan kepada keluarga Sanjaya. Dengan mengenakan sebuah blus lengan panjang merah muda dan dipadukan dengan celana jeans belel serta sepatu flatshoes berwarna senada, Renata terlihat cantik walaupun dengan pakaian yang cukup sederhana. Renata mulai berjalan menuju Kediaman Sanjaya. Rasa risih dan jijik terlihat saat ia mulai melangkahkan kakinya di jalanan yang becek. "Sumpah, ya, demi apa coba gue harus kayak gini?" gerutunya sepanjang jalan. "Mana Sesil nggak bisa nemenin gue kali ini, ah sudahlah." Sedikit tidak nyaman dengan tampilannya membuatnya mood-nya sedikit berantakan pagi ini. Namun, demi rencana yang telah mereka susun semua harus sesuai. Sesekali Renata harus bertegur sapa dengan beberapa warga yang ia lalui, yang mengagumi kecantikannya. Untuk kali pertama dalam hidupnya dia terpaksa tersenyum ramah di depan orang-orang. Akhirnya Renata tiba di depan rumah yang ia tuju. Terlihat sebuah halaman yang cukup asri dengan sebuah kolam ikan kecil di sana. Beberapa bunga hias terlihat masih menyisakan air sisa hujan tadi pagi. "Assalamualaikum." Belum ada jawaban dari empunya rumah Renata kembali mengucapkan salam. Terdengar derap langkah seseorang berlari mendekati pintu. Ceklek! Pintu mulai terbuka. "Waalaikumsalam," jawabnya kemudian. "Novalnya ada?" Renata memberikan senyuman terbaiknya pada gadis belia di depannya. "Ada, cuman masih tidur? Eh, bukannya kamu yang kemarin datang ke sini, ya?" Tiara memperhatikan wajah Renata lekat. "Mau apa ketemu kakak aku?" Tiara kembali memasang muka juteknya. "Iya, aku mau ...." ucapan Renata terputus. "Tiara, siapa yang datang? Suruh masuk dulu!" Terdengar teriakan ibu Wati dari dalam rumah. "Iya, Bu." Akhirnya Tiara mengizinkan Renata masuk dan menunggu di ruang tamu. "Bentar aku bangunin dia dulu!" 'Kayaknya adiknya nggak suka sama aku,' batin Renata lirih. Tak lama kemudian ibunya keluar dari arah dapur. Gegas ia melepaskan celemek lusuh yang tadi ia kenakan saat mencuci piring. "Oh, ada Nak Renata ternyata. Silakan duduk! Maaf ya ibu baru selesai mencuci piring. Tangan ibu masih basah," tolak Ibu Wati saat Renata mengajaknya bersalaman. Renata menganggukan kepalanya dan tersenyum sangat cantik. "Nggak apa-apa, Bu." "Ibu nggak nyangka kalau Cah Ayu datang sepagi ini. Oh iya, sudah sarapan? Tadi pagi ibu sudah masak banyak sekalian buat nanti dibawa ke lapas buat ayahnya Noval." "Udah, Bu, makasih," tolak Renata sopan. Tapi tiba-tiba suara perut Renata terdengar. Kruk! Duh malu-maluin. "Tapi, itu perutnya bilang belum, lho!" Ibu Wati tersenyum melihat rona wajah Renata yang merona. "Nggak apa-apa nanti kita sarapan bareng, ya!" "Beneran, Bu. Tadi saya udah makan di rumah," tolaknya lagi. Ibu Wati tetap mengajak Renata ke ruang makan. "Nda usah sungkan. Kamu 'kan calon menantu ibu. Ibu senang punya menantu secantik dan sebaik kamu." Ibu Wati terlihat sedikit melupakan masalahnya kemarin. "Tiara, tolong panggilkan Noval, Mas-mu itu jam segini masih tidur. Kasih tau dia, ini lho, Nak Renata sudah datang," bisik Ibu Wati kepada Tiara yang tengah sibuk memainkan gawainya. "Udah Tiara bangunin Bu, tadi. Cuman bukannya bangun eh ngoroknya makin kenceng." "Boleh saya yang bangunin?" Tiba-tiba Renata menawarkan diri untuk membangunkan Noval. Dia ingin tahu reaksi Noval saat melihat kehadirannya di rumah ini. Ibu Wati dan Tiara saling berpandangan. Kemudian akhirnya mengizinkan Renata memasuki kamar Noval dengan ditemani Tiara. Sebuah kamar yang terlihat sangat rapi dan tertata dengan baik. Dengan cet tembok yang lebih dominan warna abu dan hitam, menonjolkan sisi kelelakian Noval. Di dekat meja komputer ada sebuah lemari kaca cukup besar yang didalamnya terdapat banyak piala dan medali penghargaan saat dia masih sekolah. Beberapa foto penghargaan dan foto kenangan lainya juga terpasang rapi di atas tempat tidur. Renata sedikit memperhatikan setiap detail foto-foto yang terpasang di sana. Ternyata ada satu foto yang mencuri perhatiannya. "Hah, bukanya itu foto gue waktu SMA? Kenapa bisa terpajang di sana?" Renata sedikit memperhatikan setiap detail foto-foto yang terpasang di sana. Ternyata ada satu foto yang mencuri perhatiannya. "Hah, bukannya itu foto gue waktu SMA? Kenapa bisa terpajang di sana?" "Kok malah ngelamun? Kalau Mbak bisa bangunin dia, aku traktir makan es krim, deh!" tantang Tiara membuat Renata terpancing. "Ok!" Sejenak Renata menatap lekat wajah Noval yang tengah terlelap. Sangat menawan membuatnya harus menelan salivanya sendiri. 'Ih apa-apaan ini?' "Mas, bangun. Mas ...," ucapnya lembut dekat telinga sebelah kanan. Tidak ada respon sama sekali. Tiara terlihat menertawakan Renata dan mengolok-oloknya. Tidak habis akal, akhirnya Renata mencoba cara yang pernah Sesil lakukan padanya. "Kebakaran! Ada kebakaran! Tolong! Kebakaran!" Benar saja, seketika pria yang kini hanya memakai kaos lengan pendek dan sebuah boxer berwarna hitam itu langsung terperanjat karena terkejut mendengar suara minta tolong. "Kebakaran! Ada kebakaran!" Clingak-clinguk Noval mencari titik api. TOS! "Berhasil." Terdengar suara dua orang yang tengah tertawa puas melihat Noval yang kebingungan. Tiara bahkan sampai sakit perut menertawakan tingkah konyol sang kakak. "Jadi kalian ngerjain aku? Kamu?" tunjuknya pada Renata. "Kenapa kalian berdua ada di kamarku, hah?" Noval menjadi salah tingkah karena melihat ada Renata di kamarnya sekarang. Tak lama ia mengusir kedua wanita itu dari kamarnya. "Keluar dari kamarku!" Renata dan Tiara keluar dari kamar itu. Mereka terlihat lebih akrab sekarang. Tiara berjanji akan mentraktir Renata makan es krim nanti siang karna ia telah kalah tadi. "Lho, ini ada apa? Kenapa kalian senang sekali kelihatannya? Tadi ada apa ribut-ribut di kamar Mas-mu, toh?" Ibu Wati menghampiri mereka berdua. "Ini lho Bu, Mba Renata lucu. Masa bangunin Mas Noval bilang kalau ada kebakaran. Mas Noval langsung loncat dari kasur tadi. Tiara sampai sakit perut ini." "Maaf, soalnya tadi Noval kayaknya nyenyak banget tidurnya." Ibu Wati hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat kelakuan dua orang wanita muda di depannya itu. Ada sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba menyelinap masuk dalam sanubari seorang Renata. Kehangatan sebuah keluarga, sederhana, namun sangat bermakna yang tentunya tidak pernah bisa ia rasakan selama ini. "Apa ini artinya sebuah keluarga? Mereka tetap terlihat bahagia walaupun gue tau masalah besar sedang mereka hadapi? Hangatnya senyuman seorang ibu yang dengan tulus menyiapkan makanan kesukaan anak-anaknya. Tatapan penuh kasih sayang seorang ibu bikin gue iri ngeliatnya. Kamu beruntung Noval, mempunyai sebuah keluarga yang begitu sayang padamu," batin Renata menyuarakan kepedihan jiwanya. Selesai sarapan, Ibu Wati mengajak Noval dan Renata untuk berbicara di ruang tengah. Sedangkan Tiara membantu membersihkan piring cucian kotor sisa makan kali ini. Gadis belia yang kini baru saja menginjakkan kakinya di kelas 10 sebuah Sekolah Menengah Atas itu, lebih memilih izin untuk tidak masuk hari ini. Dia sangat yakin desas-desus tentang ayahnya yang ditangkap polisi telah ikut tersebar ke sekolahnya. "Dari pada aku kena bully satu sekolah, kayaknya harus off dulu. Aku cuman mau ngejaga mental aku, Mas," ucap Tiara saat melobby ibu serta Kakaknya untuk tidak masuk sekolah. Di ruang tengah, Renata dan Noval saling membisu, hanya terdiam tanpa bersuara. Sampai saat ibunya mulai membuka obrolan. "Kenapa kamu nggak pernah ngenalin calon istrimu ini sama ibu?" "Ukhuk!" Noval tiba-tiba terbatuk, mendengar ibunya itu menyebut Renata calon istrinya. "Calon istri? Siapa? Renata?"Jam dinding sudah menunjukkan angka 11.35 malam. Suasana terasa hening. Renata terbangun dari lelapnya. Menggeliat seperti bayi. Melihat sekelilingnya, ia baru ingat jika malam ini tidak ada guling kesayangan menemaninya bermimpi. "Oh iya, gue lagi di rumah sakit," ucapnya pelan. Renata berdiri, berjalan menuju dispenser yang terletak dekat sebuah meja panjang, mengambil segelas air putih dan langsung menenggak habis semua isinya. Dia menengok ke arah sofa ruang tunggu. Ada Renata yang tengah terlelap dengan memegang remot TV. "Dia ketiduran di sana rupanya." Renata menghampirinya dan menyimpan remote TV itu ke tempatnya. "Sil, bangun!" ucapnya pelan. "Sil, bangun, Sil!" Renata mencoba kembali membangunkan Sesilia. Untuk ketiga kalinya, Sesil akhirnya terbangun. "Apa?" Sambil kembali menguap, menahan matanya yang enggan terbuka. "Kok papi belum masuk ruangan? Lu temenin gue tanyain perawat di depan, ya!" "Lah, lu kan tinggal pencet tombol di sana, yang deket bed. Tar juga per
"Tunggu, gue mikir apaan, sih? Terus kenapa dia berani meluk gue?" gerutunya perlahan hampir tidak terdengar oleh siapapun termasuk Noval. Tiba-tiba Renata mendorong tubuh Noval untuk menjauh darinya. "Lu ngapain meluk-meluk gue? Lu mau ambil kesempatan dalam kesempitan, hah?!" pekik Renata kencang. Membuat gempar para tenaga medis di sana. Bahkan ada beberapa perawat keluar dari ruang ICU untuk melihat keadaan di sana. Namun, mereka hanya diam saja melihat Renata memarahi Noval. Petugas kesehatan di sana sudah mengetahui siapa Renata, anak Mr William, salah satu pemenang saham di rumah sakit tempat mereka bekerja. "Maaf, aku nggak bermaksud ...." Renata langsung memotong ucapan Noval. "Alah, omong kosong." Noval mencoba menenangkan Renata yang tiba-tiba meledak amarahnya. Namun, sepertinya wanita itu tidak mengindahkan ucapan Noval. Malah terjadi adu mulut di antara keduanya. Hingga Sesil datang dan berhasil menenangkan keduanya.
Beberapa saat sebelumnya."Mana Nak Renata, Ibu mau bicara?" Ibu Wati menahan Noval yang akan masuk ke kamar."Sudah pulang. Ada urusan mendadak katanya. Dia titip maaf karena tidak bisa pamitan sama Ibu.""Kalau begitu kita bicara di depan. Ini menyangkut tentang hubungan kalian berdua.""Ibu, sudah berapa kali Noval bilang, dia nggak hamil. Dan walaupun hamil juga itu bukan anak Noval. Noval sama sekali nggak pernah sedikit pun nyentuh Renata. Ibu harus percaya sama Noval, ya! Sekarang lebih baik kita pergi ke rutan buat lihat kondisi ayah," ajaknya dengan halus. Mengalihkan perhatian ibunya untuk tidak lagi membahas tentang Renata.Noval masuk kamarnya, mengambil jaket hoody berwarna hitam yang tergantung di belakang pintu. Setelah itu mengambil tas selempang yang tergeletak di dekat meja komputer.Namun, perhatiannya teralihkan oleh sebuah tas perempuan berwarna soft pink yang tidak ia kenal. Tergant
Setelah berganti pakaian, Bu Wati langsung menyidang keduanya di ruang tengah.Renata hanya mengganti celananya saja yang basah. Untungnya ukuran celana Tiara tidak beda jauh darinya.Noval nampak tertunduk mendengarkan setiap omelan ibunya. Sedangkan Renata terlihat menahan tawa saat dirinya ikut kena omelan."Jadi gini rasanya kena omelan seorang ibu? Kok gue malah seneng, ya?" lirihnya pelan, dia seakan menikmati segala wejangan yang Ibu Wati berikan.Baru kali ini ada orang lain--selain ayahnya, yang berani memarahi dirinya. Tapi, rasanya sangat berbeda. Tidak ada rasa sakit hati ataupun amarah saat Ibu Wati mengomel terus seperti sekarang ini."Kalian itu sudah dewasa, harusnya tau mana yang dilarang oleh agama. Itu dosa, kalian belum resmi menikah.""Ibu, jangan salah paham. Tadi Renata mau jatuh karena lantainya licin. Aku mau bantu dia berdiri cuman malah ikutan jatuh. Ibu jangan berpikir buruk dulu." No
Ibunya menyodorkan segelas air putih pada Noval. "Kamu, kok, sampai kaget begitu?" Renata hanya tersenyum melihat tingkah Noval. "Yes, sepertinya rencanaku berhasil." Sekilas Noval melihat ke arah Renata yang berpura-pura melihat ke arah lain. Ibu Wati kembali melanjutkan ucapannya. "Kemarin, saat kamu pergi Nak Renata datang sama temennya itu lho, siapa ya, ibu lupa namanya?" "Sesil!" jawab mereka serempak. Akhirnya netra mereka bertemu. Noval menaikkan kedua alis matanya, memberi tanda ketidaktahuannya mengenai semua ini. Renata hanya membalas dengan isyarat bibir. "Kena, lu!" "Iya ... Nak Sesil. Mereka bawa makanan serta obat buat ayahmu. Tapi sayang, ayahmu sudah keburu dibawa polisi." Ibu Wati melanjutkan kembali ucapannya, ada raut kesedihan kembali tersurat di sana ketika teringat kejadian kemarin. "Iya, kemaren Ibu udah cerita semua sama aku. Aku turut prihatin ya soal penangkapan itu. Mungkin ada sesuatu yang bisa aku bantu?" Renata mencoba menawarkan bantuan ke
"Dua orang perempuan?" Noval mengernyitkan keningnya. "Yang satu kayak bule cantik banget. Kalau nggak salah namanya Renata. Yang satu lagi kayak cowok, tomboy gitu. Tapi aslinya kayaknya cantik juga kalau nggak salah namanya--" "Sesilia?" Noval langsung menebak nama kedua yang adiknya itu maksud. "Iya bener, kok, kamu bisa tau? Mas kenal sama kedua perempuan itu?" "Hanya teman waktu sekolah. Mau apa mereka ke sini?" "Aku nggak tau, mereka ngobrol sama ibu. Aku di suruh ke warung untuk membeli makanan sama ibu. Kayaknya obrolan mereka serius makannya nyuruh aku pergi. Oh iya, Mas. Tadi aku kesel banget sama orang-orang. Mereka terus ngebully aku. Katanya jangan deket sama Si Tiara, hati-hati ayahnya penjahat." Tiara menirukan gerakan bibir orang-orang yang membicarakannya. "Kamu yang sabar, ya! Abang lagi usaha buat cari uang pengganti itu. Ayah pasti segera kumpul lagi sama kita. Dan kalau ada