Cassiel Smeraldo—nama lengkap dari gadis yang kini sedang duduk di kursi bar dengan segelas martini di tangan kanannya. Dia tampak menawan dengan gaun sabrina yang memiliki belahan dada rendah. Warna merah maroon pada gaun tersebut juga terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang seputih salju.
Sesekali dia tampak menyesap martininya, kemudian beralih pandang pada jajaran minuman beralkohol di hadapannya. Samuel, sang bartender terkadang mengajaknya berbincang ringan. Mereka tampak akrab, karena memang pada kenyataannya seperti itu. Cassie sering mendatangi bar ini setiap malam minggu untuk mengusir kepenatannya. Dia sibuk bekerja setiap hari dan akan melupakan segala masalahnya di malam ini."Kudengar ibumu menyuruhmu pergi kencan buta lagi," kata Samuel saat Cassie menyesap kembali martininya."Dari mana kau tau?" tanya Cassie menatap Samuel penuh selidik."Ibumu yang bercerita langsung padaku akhir pekan lalu saat kami sedang makan siang bersama." Samuel menjawab dengan santai.Cassie mendesis lirih sebelum menjawab. "Ya, dan aku sudah melakukan banyak hal untuk menghentikannya. Tapi seperti yang kau ketahui, semuanya sia-sia. Dia tetap menyuruhku mendatangi para lelaki itu."Mendengar jawaban Cassie, Samuel tertawa sambil menuangkan tequilla pada gelas kaca, dia akan menyajikan pesanan segelas margarita milik pelanggan lain. "Sudah berapa banyak lelaki yang kau tolak, Cas? Ibumu mungkin sangat khawatir kamu tidak akan menikah."Cassie mendengus dan memutar bola matanya malas. "Kenapa juga harus menikah disaat aku bahagia hidup sendiri. Menurutku, memiliki kekasih atau suami hanya akan merepotkanku di masa depan." Ujar Cassie dengan jari telunjuknya yang bergerak memutari gelas."Oh, c'mon Cas. Semuanya tidak seburuk itu. Kau harus merubah sudut pandangmu tentang pria." Samuel kembali merespon ucapan Cassie.Saat Cassie akan menjawab, seorang pria muda mendatangi mereka. Dia berbicara dengan Samuel dan mengabaikan keberadaan Cassie."Hey, dude!" sapa Samuel saat melihat pria muda tersebut."Hey, Sam!" balasnya ringan. Dia mengambil tempat duduk tepat di sebelah Cassie, meski begitu dia benar-benar tidak menoleh sedikitpun pada Cassie."Kau datang sendiri? Di mana Carlo? Biasanya dia akan mengambil pesananmu." Samuel bertanya sembari meletakkan segelas margarita tadi di depan pria muda tersebut."Ya, aku kabur darinya. Akhir-akhir ini dia banyak bersekongkol dengan ayahku." Balas pria muda itu dengan ketus. Lalu, dia menyesap margaritanya secara perlahan."Apalagi yang Carlo rencanakan padamu?" tanya Samuel dengan nada geli sembari menggeleng-gelengkan kepalanya dan menahan tawa.Pria muda itu mendengus. "Dia bersikeras untuk melelangku pada banyak kenalan anak pengusaha di luaran sana. Dia pikir aku tidak sanggup lagi untuk mencari perempuan?"Kini Samuel tidak bisa lagi menahannya, tawanya meledak begitu saja setelah pria muda di depannya selesai berbicara. "Mungkin Carlo pikir kau tidak memiliki waktu untuk yang satu itu, Ralph.""Aku punya waktu andai aku ingin mencarinya." Balas pria muda itu yang diketahui bernama Ralph.Samuel tertawa, kali ini tawanya terdengar lebih keras. "Kalian berdua sama saja." Ujar Samuel di sela-sela tawanya yang belum mereda."Jangan samakan aku dengan asisten keparat itu," ucap Ralph dengan nada kesal.Spontan Samuel menghentikan tawanya. Dia mengangkat kedua tangan dan juga alisnya. "Oh, bukan kau dan Carlo yang kumaksud, dude.""Lalu, siapa lagi?"Jari telunjuk Samuel bergerak menunjuk Ralph dan Cassie secara bergantian. "Kau dan gadis ini."Melihat Samuel yang menunjuknya, Cassie sontak melotot horor. "Kenapa kau membawaku ke dalam obrolanmu!"Sementara itu, Ralph di sebelahnya justru menolehkan kepalanya agar dapat melihat Cassie dengan lebih jelas. Sejenak, meski hanya beberapa detik saja, tapi Ralph sempat terpesona dengan sosok Cassie. Gadis cantik dengan wajah khas perempuan asia yang memiliki rambut hitam pekat dan bergelombang. Harus diakui, dia nampak lebih unik daripada gadis eropa lainnya yang ia temui di sini. Meskipun wajahnya seperti gadis keturunan asia, tetapi warna mata gadis itu menunjukkan dia bukan murni keturunan asia. Gadis asia mana yang memiliki manik mata berwarna hijau zamrud? "Hai, nona. Sepertinya kita satu nasib," sapanya dengan senyum miring yang tercetak jelas di wajahnya.Cassie memutar bola matanya, dia sungguh tidak suka berkenalan dengan laki-laki di bar. Karena menurutnya, semua laki-laki di sini adalah bajingan yang sesungguhnya.Tanpa basa basi atau berniat untuk membalas sapaan pria muda itu, Cassie langsung mengambil tasnya dan melangkah pergi tanpa berpamitan pada Samuel."Hey, Cassie! Kau belum menghabiskan minumanmu!" samar-samar terdengar teriakan Samuel di antara ramainya suara musik yang terdengar. Tetapi Cassie tidak peduli lagi dan tidak berniat kembali ke mejanya.Pria muda tadi kembali tersenyum. Kali ini dengan seringaian di wajahnya. Cassie sungguh menarik."Apakah dia selalu seperti itu, Sam?" Ralph tidak mengalihkan pandangannya dari Cassie hingga gadis itu menghilang di antara kerumunan orang."Ya, dia tidak suka berkenalan dengan pria di bar. Dia membenci pria." Jawab Samuel dengan santai. Dia kembali disibukkan dengan pesanan koktail yang lain."Ralph, kalau kau mencari kekasih, jangan dia." Ujar Samuel secara tiba-tiba saat pria muda itu sudah beralih dari Cassie."Kenapa? Apakah karena dia membenci laki-laki?" tanya Ralph. Dia sungguh penasaran, karena menurutnya Cassie perempuan yang cukup menarik."Bukan. Karena dia tidak bisa memberikan apapun yang kau inginkan."Ralph itu terlihat mengerutkan keningnya. "Maksudmu?""Tidak mudah untuk menaklukannya, Ralph. Percaya padaku. Aku sudah mengenalnya lebih dari lima tahun." Kali ini Samuel menatap Ralph dengan serius."Apakah dia keturunan Eropa?" Ralph memilih mengabaikan perkataan Samuel sebelumnya, dan mengajukan pertanyaan yang sedari tadi membuatnya penasaran.Samuel berbalik membelakangi Ralph untuk mengambil sebuah minuman beralkohol dari sebuah rak. "Dia blasteran Asia. Ayahnya keturunan Asia Tenggara yang lama tinggal di Italia. Sedangkan ibunya keturunan Greek. Dia mewarisi sebagian besar gen ayahnya."Bersamaan dengan selesainya Samuel berbicara, sebuah panggilan suara masuk di ponsel Ralph. Dia melirik sekilas pada layar ponsel untuk melihat ID caller sebelum mengangkatnya."Halo, Dad. Ada apa malam-malam menghubungiku?" tanya Ralph pada ayahnya di seberang sana."Besok malam kau akan datang bersama kekasihmu kan, kiddo?"Shit. Ralph membatu setelah mendengar pertanyaan ayahnya. Mengapa ia bisa melupakan acara makan malam keluarga itu.Ya, acara itu sudah lama direncanakan. Dia dan saudara-saudaranya yang lain harus menghadiri acara itu dengan membawa pasangan masing-masing. Seharusnya, bila sesuai rencana sebelumnya, Ralph datang bersama mantan kekasihnya—Abigail Bloom. Namun, sayangnya mereka sudah mengakhiri hubungan sejak bulan lalu."T-tentu saja, Dad. Kau pikir aku tidak bisa memegang omonganku." Ujar Ralph sedikit terbata di awal ucapannya.Terdengar sebuah kekehan di ujung sana. Ayahnya tertawa. "Bukan aku tidak tau kau telah putus dengan gadis amerika itu, kiddo. Bahkan bukan hanya aku, ibumu juga sudah mengetahuinya. Lantas bagaimana kau membawa kekasihmu besok? Bukankah sekarang kau melajang?"Ralph mendengus, egonya sedikit tersentil akibat ucapan sang ayah. Sebagai pria berusia matang dan bekerja sebagai CEO perusahaan arsitektur, bukankah seharusnya mudah untuknya menggaet perempuan dengan cepat?"Masalah itu sudah sebulan berlalu, Dad. Tentu saja aku sudah memiliki kekasih baru sekarang." Ucap Ralph dengan percaya diri, tetapi penuh kebohongan."Carlo bilang, kau masih belum bisa melupakan nona Bloom." Ujar ayahnya lagi.Ralph melebarkan matanya. Damn, ingatkan ia untuk memberi pelajaran pada asisten pribadinya itu yang sekarang sudah merangkap menjadi mata-mata ayahnya."Omong kosong. Dia berbohong, Dad. Aku akan datang besok malam dengan kekasihku. Akan kukenalkan dia padamu dan Mom.""Aku masih sibuk, Dad. Nanti kutelepon lagi. Bye, Dad." Lanjut Ralph dan langsung menutup panggilan suara itu.Dia meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian matanya beralih pada Samuel yang ternyata sejak tadi menyimak pembicaraannya dengan sang ayah di telepon."Kenapa kau melihatku dengan pandangan seperti itu?" tanya Ralph dengan raut was-was. Pasalnya Samuel memandanginya dengan senyum mencurigakan."Sepertinya aku punya solusi untukmu."Sinar mentari yang menyelinap melalui tirai kamar membuat Ralph mengerang rendah. Dia masih butuh mengistirahatkan tubuhnya, energinya terkuras habis semalam karena mengurus masalah James dan Grace.Cassie melihat Ralph yang hanya berbalik badan dan kembali tertidur. Ia pun berinisiatif untuk menutup tirai kamar hotel dengan gordennya. Lalu, ia kembali ke meja kerja dan melanjutkan aktivitasnya, apalagi jika bukan revisi desain.Fokusnya tidak lagi terpecah. Ia harus segera menyelesaikan revisiannya, karena sore nanti ia harus membawa Ralph pergi ke rumahnya. Ia belum membicarakan hal itu dengan Ralph, tapi Cassie yakin kekasihnya akan mengiyakan.Ketika jemarinya sedang sibuk dengan mouse, tiba-tiba sepasang tangan memeluknya dari belakang. Aroma musky bercampur woody mengenai penciuman Cassie. Tak perlu menoleh, Cassie sudah hafal itu adalah Ralph."Selamat pagi," sapa Ralph dengan nada rendah.Cassie mengusap tangan itu dengan lembut dan tersenyum hangat. Kepalanya menoleh ke atas,
Jemari Grace bergerak, perlahan kelopak matanya terbuka. Dilihatnya langit-langit ruangan yang berwarna putih, juga sedikit aroma obat-obatan khas rumah sakit yang mulai dirasakan oleh indra penciumannya. Matanya berkedip, kemudian menoleh pada sebuah sofa panjang yang ada di sebelah ranjang pasien. Seorang lelaki tertidur dengan tangan kiri menutupi kedua matanya, napasnya terlihat naik turun secara teratur. Tentu saja Grace mengenali sosok tersebut, Arthur. Karena tak ingin mengganggu, Grace berinisiatif memencet bel, agar perawat segera mendatangi kamarnya. Setidaknya harus ada orang yang mengetahui dirinya telah siuman. Benar saja, tak membutuhkan waktu yang lama untuk seorang perawat mendatanginya. Grace tersenyum dan mengangguk saat perawat tersebut meminta izin untuk memeriksanya. "Silakan." Katanya. "Untuk saat ini kondisi Nona sudah stabil, namun Nona masih dalam masa observasi dokter. Nanti dokter akan datang
Lima menit yang lalu, Ralph sudah pergi ke rumah sakit. Lelaki itu tidak pergi begitu saja, ia mencium kening Cassie terlebih dahulu, dan bertanya apakah dirinya diperbolehkan pergi ke rumah sakit malam ini juga?"Aku akan pergi, jika kau mengizinkan." Kata Ralph sembari mengusap puncak kepala Cassie dengan lembut.Cassie mengangguk. "Pergilah. Sepertinya mereka membutuhkanmu. Tapi kau tetap hutang cerita padaku."Ralph terkekeh mendengarnya. "Iya, aku akan menceritakannya nanti. Tunggu aku, ya ... ah tidak, maksudku, lebih baik kau melanjutkan tidurmu saja. Maafkan aku yang membuatmu terbangun. Saat ada kabar nanti, aku akan segera menghubungimu lagi." Jelas Ralph panjang lebar.Cassie mengangguk lagi. "Ya, pergilah. Hati-hati di jalan, jangan mengebut."Sebuah kecupan mendarat di kening Cassie. "Tentu saja. Aku pergi bersama Carlo, kau tak perlu khawatir. Jika ada hal mendesak segera hubungi Jovan, ia selalu siap sedia 24/7."Cassie tersenyum bila mengingatnya. Ia percaya, Ralph tid
James berlarian menggendong Grace dari depan IGD, para perawat yang melihat kehadiran mereka segera bertindak mengambil bed mobile atau tempat tidur pasien yang dapat digeser."Selamat malam, Tuan. Apa yang terjadi?" seorang dokter IGD menghampiri James setelah berhasil meletakkan tubuh Grace di atas bed mobile."Dia minum alkohol seharian hingga melewati batas wajarnya. Kurasa dia juga tidak memakan apapun hari ini. Aku baru menemukannya dan sudah memberikan obat pengar. Mohon bantuanmu," pinta James yang raut memohon.Dokter tersebut mengangguk. "Baiklah, kau bisa menunggu di sana. Aku akan memeriksa kondisinya lebih dulu.""Dokter! Ada darah yang keluar dari rahimnya!" seru seorang perawat pada dokter IGD.Sontak saja kedua lelaki itu menoleh bersama. James dapat melihat darah merah yang kental keluar membasahi kaki Grace.Dahi James mengernyit. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah Grace memiliki sebuah penyakit serius yang tak ia ketahui? Atau apa? Sekarang apa yang harus ia lakuka
"Apakah semuanya aman, Bambolotta?" suara lembut dari seberang sana cukup membuat rasa penat Cassie berkurang.Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, masih dengan pakaian yang sama. Ia hanya menanggalkan sepatu hak tinggi dari kedua kakinya."Ya, kurasa." Balas Cassie seraya memijat pelipisnya."Tapi suaramu tidak menunjukkan hal yang sama, Bambolotta. Apakah ada sesuatu yang kau tutupi dariku?" tanya Iris sedikit khawatir.Cassie menggeleng ringan. "Tidak, aku hanya butuh beristirahat karena desain yang kubawa akan direvisi kembali.""Ah, begitu rupanya. Ya, kau memang perlu istirahat putriku. Madre akan pulang besok, mari bertemu di rumah." Ujar Iris yang merasa iba.Cassie mengangguk, kembali melupakan bahwa mereka sedang berbicara melalui telepon."Oh, iya. Kenapa aku bisa melupakannya?" Iris tiba-tiba berseru dan berbicara pada dirinya sendiri.Sementara itu Cassie melenguh kecil, dia sedikit terkejut dengan seruan ibunya. "Ada apa, Madre? Kau mengagetkanku.""Besok janga
"Kalian tidak mungkin saling tertarik satu sama lain, kan?" tiba-tiba saja suara James menginterupsi hingga memutuskan kontak mata antara Cassie dan Ralph. Mendengar itu Cassie langsung tergagap. Entah mengapa ia merasa lidahnya kelu, padahal tadinya ia sangat lancar menjelaskan desain yang dibawanya. Jantungnya juga bereaksi lain, berdegup kencang jauh berbeda dari sebelumnya. "Aku? Kau mungkin sedang bercanda, Tuan James. Mana mungkin aku berani mengencani Tuan Muda Holt." Balas Cassie dengan segera. Ralph menyunggingkan senyuman miringnya. Dalam hal menghindari pertanyaan, Cassie memang jagonya. Tetapi sepertinya gadis itu melupakan satu hal, James Arthur merupakan pembaca mimik wajah yang handal. James terlihat mengernyit setelah mendengar jawaban Cassie. "Oh ya? Tetapi sepertinya aku tidak mengatakan kau berniat mengencani Tuan Holt. Kupikir kau hanya tertarik padanya, karena dia sangat ahli dalam bidang arsitektur