Kedatangan Radev tak pelak mengejutkan Starla. Gadis itu dengan refleks menyentak tangannya yang dicekal pria di sampingnya.
“Pak Radev ...”
Radev mendengkus sambil memandangi pria menjijikkan yang bersama Starla. “Pantas saja kamu resign, ternyata di sini bayaran kamu jauh lebih besar,” ucapnya sinis.
“Apa maksud Bapak?”
“Don’t pretend with me, Starla. Saya pikir kamu perempuan baik-baik. Saya sangka kamu terpelajar. Tapi setelah apa yang saya saksikan malam ini sudah cukup menjadi alasan atas apa yang terjadi kemarin. Kamu benar-benar memalukan. Saya menyesal mempekerjakan perempuan sehina kamu sebagai asisten saya!”
Senyum miring tercetak di bibir Radev menyaksikan mantan asistennya yang hanya diam membeku di hadapannya tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya sebagai pembelaan. Hal itu memberi keyakinan pada Radev bahwa Starla membenarkan perbuatannya.
“Dengar, Starla, saya benar-benar menyesal pernah mempekerjakan kamu!” Radev mengucapkannya sekali lagi sebelum pergi meninggalkan Starla.
Lelaki itu baru saja membalikkan badannya. Kakinya tertahan ketika mendengar suara Starla.
“Saya nggak akan begini kalau Bapak nggak memecat saya.”
Dengan tubuh membelakangi Starla Radev mengerutkan dahi. Ia merasa heran atas perkataan perempuan itu. Diputar kembali tubuhnya mengarah pada Starla.
“Apa kamu bilang? Saya memecat kamu?”
“Sekarang malah Bapak yang berpura-pura,” dengkus Starla.
“Starla, kamu jangan membuat saya bingung. Jelaskan semua pada saya apa maksud kamu.”
“Saya menemukan surat pemecatan di atas meja setelah Bapak pergi ke Shanghai.”
Radev memutar ingatannya. Sebelum dirinya pergi Radev tidak meninggalkan apa pun untuk Starla apalagi surat pemecatan.
“Mana suratnya? Saya mau lihat.”
Starla membuka tas, mengambil surat tersebut lalu menunjukkan pada Radev.
Radev membacanya dengan teliti. Di surat itu memang tertera perihal pemecatan Starla. Tapi masalahnya adalah Radev tidak pernah membuat surat tersebut. Ia tidak memecat Starla.
“Biar saya pegang surat ini dulu,” katanya kemudian lalu melirik pria tatoan yang masih berdiri di dekat Starla. “Ambil ini dan pergi jauh-jauh. Dia bagian saya.”
Pria itu pergi setelah menerima setumpuk uang dari Radev.
Starla ingin berterima kasih karena Radev membebaskannya, tapi Radev hanya mendengkus kemudian pergi meninggalkannya.
Lo dari mana aja, Dev?” Bjorka bertanya setelah Radev kembali ke tempat duduknya.
“Gue ketemu Starla terus ngobrol sebentar. Katanya dia dipecat, tapi gue nggak pernah mecat dia. Ini surat yang ditemuinya di meja.” Radev memberikan surat tersebut pada Bjorka agar sang sahabat bisa melihat secara langsung.
Di dalam temaram cahaya, Bjorka yang sudah bertahun-tahun berteman dekat dengan Radev mengamati surat itu dengan seksama. Tidak ada yang aneh di sana. Surat tersebut sama dengan surat pemecatan pada umumnya. Yang membuat surat tersebut terkesan janggal adalah karena Radev merasa tidak pernah mengeluarkan surat tersebut.
“Lo yakin nggak bikin surat ini?” Bjorka mengembalikannya pada Radev.
“Ya yakinlah. Gue belum pikun kali, Ka. Kurang kerjaan apa gue mecat dia?”
“Terus siapa dong yang bikin surat ini?”
“Itu dia yang bikin gue bingung.” Radev memijit pelipisnya.
“Berarti ada orang yang bikin surat ini tapi pake nama lo biar terkesan surat ini dari lo.” Bjorka menyampaikan hasil analisanya yang membuat Radev tercenung.
Lelaki dua puluh tujuh tahun itu memaksa otaknya untuk berpikir keras. Siapa yang berniat buruk dengan membuat surat pemecatan palsu untuk Starla yang mengatasnamakannya? Lantas apa tujuan orang itu?
“Kira-kira menurut lo siapa yang bikin surat itu, Ka?”
“Gue nggak tahu kalo soal itu. Yang punya perusahaan kan elo.”
Radev melipat tangan di dada sembari memikirkan siapa pelakunya.
“Lo nggak usah pake bingung, Dev. Tinggal lihat CCTV apa susahnya?” Bjorka mencetuskan ide itu.
***
Sepulang dari Broken Wings, Radev kembali ke kantornya. Ia harus memeriksa rekaman CCTV agar tahu siapa pelakunya. Beberapa orang karyawan lembur masih ada di kantor. Mereka serentak menutup mulut saat melihat wajah kusut Radev. Sejak Starla tidak lagi bekerja di sana Radev sering marah-marah tidak jelas.
Masuk ke dalam ruang kerjanya, Radev langsung memeriksa data kamera pengintai yang terpasang di sudut-sudut tersembunyi di area kantornya. Ia langsung mencari data di hari pertama setelah keberangkatannya ke Shanghai.
Tidak ada yang aneh. Semua biasa-biasa saja dan berjalan menurut semestinya.
Radev hampir mematikan monitor ketika tiba-tiba ia melihat adegan seorang office boy masuk ke ruang kerja Starla lalu meletakkan map di atas meja. Radev mem-previous adegan itu lalu menekan zoom. Ia melakukannya berkali-kali. Sekarang ia yakin jika office boy itulah pelakunya. Dan office boy itu juga kunci dari kejadian ini.
“Kia, Pongki sudah pulang?” tanya Radev melalui sambungan telepon pada Kia yang malam itu lembur.
“Sudah, Pak,” jawab suara di seberang.
“Telepon dia, suruh balik ke kantor dan temui saya.”
“Tapi, Pak, ini kan sudah malam,” jawab Kia kebingungan.
“Kamu lupa kalau saya pemilik perusahaan? Perlu saya ingatkan lagi?”
Suara dingin tapi tegas milik Radev membuat Kia tak sanggup melawan. “Baik, Pak, saya akan telepon Pongki sekarang dan suruh dia ke si—”
Belum Kia selesai bicara Radev sudah memutus sambungan telepon yang membuat gadis itu hanya bisa membuang napas.
Radev menunggu dengan gelisah di dalam ruangannya. Lelaki penuh pesona itu tidak kuasa menahan rasa penasaran. Ia sungguh ingin tahu siapa yang menyuruh office boy meletakkan surat palsu tersebut di sana. Siapa yang tidak menyukai Starla dan berniat jahat padanya? Seingat Radev Starla merupakan pegawai yang paling disenangi di kantor.
Pintu kemudian diketuk. Radev menyuruh tamunya masuk.
Pongki melangkah ke ruangan dengan tubuh gemetar. Tadi ia sedang istirahat ketika mendapat telepon dari kantor. Lelaki itu takut Radev memanggilnya karena kesalahan yang mungkin telah dilakukannya.
“Maaf, Pak, apa Bapak memanggil saya?” tanya laki-laki itu takut-takut.
“Apa benar kamu yang meletakkan map di meja Starla saat saya ke luar negeri?”
Pongki tidak langsung menjawab. Lelaki itu berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. “Iya, Pak, saya.”
“Apa kamu tahu isinya?” Radev menatap penuh selidik salah satu karyawannya itu.
“Maaf, Pak, saya tidak tahu.”
“Siapa yang menyuruh kamu meletakkannya?”
Pongki menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menjawab karena sudah berjanji akan menutup mulut.
“Katakan siapa yang menyuruh kamu, atau … mau saya pecat?” Kalimat itu diucapkan dengan datar, tapi nada ancaman di dalamnya membuat Pongki ketakutan setengah mati.
“Ja— jangan pecat saya, Pak. Saya akan beritahu siapa orangnya.” Pria itu tergagap.
“Siapa?”
“Mbak Ajeng, Pak, tapi tolong jangan bilang kalau saya mengatakan ini pada Bapak.”
Radev sulit memercayai pendengarannya sendiri. Bagaimana bisa tunangannya melakukan hal jahat itu?
Di matanya Ajeng tidak hanya cantik. Perempuan itu juga baik dan pandai menyenangkan. Dia juga memiliki segalanya yang tidak dimiliki semua wanita. Mulai dari segi fisik sampai materi. Jadi hampir tidak ada alasan Ajeng menjahati Starla.
Malam itu juga Radev mendatangi rumah Ajeng. Ajeng tinggal dengan orangtuanya yang merupakan sahabat orangtua Radev.
Ajeng sendiri yang membuka pintu saat Radev muncul.
“Dev? Tumben malam-malam ke sini?” Ajeng berbinar senang. Ia berjingkat untuk mengecup pipi Radev. Tapi Radev berkelit. Alhasil perempuan itu hanya meyentuh angin.
Sambil menatap tunangannya dengan perasaan tidak habis pikir, Radev menanyakannya, "Apa maksud kamu membuat surat pemecatan palsu untuk Starla?”
***
Bagai ada bom yang dijatuhkan di depannya Ajeng terkesiap. Akhirnya kebusukannya tercium oleh Radev. Tapi perempuan itu tidak akan semudah itu mengakuinya.“Surat pemecatan Starla? Ini kamu kok jadi nuduh aku sih, Dev?”“Aku menuduh kamu bukan tanpa alasan. Aku punya bukti yang kuat untuk itu.”“Bukti apa?” Ajeng mengerutkan dahi. Sementara jantungnya berdebar dengan kencang. Ia takut kalau Radev benar-benar akan menyuguhkan bukti yang tidak bisa disangkal.Radev mengeluarkan ponsel dari saku kemudian menunjukkan bukti rekaman CCTV pada Ajeng.“See? Kamu yang membuat surat itu dan menyuruh office boy untuk meletakkannya di meja Starla. Kamu kenapa sih, Jeng? Ada masalah apa dengan Starla?”“Tahu dari mana kalau aku yang membuat surat itu? Bisa aja kan office boy itu yang ngarang cerita,” balas Ajeng yang belum mau mengaku.“Buat apa dia ngarang cerita dan memfitnah kamu? Kamu itu tunangan aku, Jeng. Dia nggak akan seberani itu bawa-bawa kamu. Dia hanya karyawan biasa. Sedangkan kamu?”
Bentley hitam itu berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat tiga. Pagar otomatis membuka memberi jalan. Dengan transisi yang mulus kendaraan roda empat itu berbelok lalu berhenti di halaman.Tak lama pintu terbuka, menampakkan sosok Radev yang keluar dari dalamnya. Ia memang lebih suka menyetir sendiri ke mana-mana ketimbang menggunakan tenaga supir, walau dirinya memiliki supir pribadi. Lelaki itu tampak begitu segar. Setelan jas mahal yang membalut tubuhnya memberi kesan profesional yang tidak dibuat-buat.Dengan sebelah tangan berada di dalam saku celana pria itu berjalan ke rumah orang tuanya.Radev tidak menemukan siapa-siapa di rumah besar itu sehingga ia pun bertanya pada asisten rumah tangga yang ditemuinya.“Mami mana, Bi?”“Ada di belakang, Mas Radev.”Radev pergi tanpa berkata apa pun. Ia menemukan ibunya itu sedang berada di ruang makan. Tidak sendiri, ada perempuan muda bersamanya. Ajeng, sang tunangan.“Coba deh, Jeng, kamu bayangin, masa Radev jam sebelas masih tidur. K
Starla tidak langsung memberi jawaban. Berbagai tanya berkumpul di kepalanya.Dari mana sahabat mantan atasannya itu mendapat nomor Starla? Lantas apa tujuannya mengajak bertemu?“Bapak tahu nomor telfon saya dari mana? Bertemu untuk apa, Pak?” Starla menyuarakan kumpulan pikiran di benaknya.“Nanti akan saya jelaskan setelah kita meet up. Saya tunggu ya, setelah ini saya share loc.”“Baik, Pak.” Starla terpaksa mengiakan karena ia merasa penasaran pada tujuan Bjorka.Setelah panggilan tersebut berakhir Starla segera bersiap-siap. Ia tidak ingin terlambat. Tidak enak kalau Bjorka sampai menunggu terlalu lama.Keluar dari kamar, Starla berpapasan dengan ibu tirinya. Perempuan itu menatapnya tajam setelah memindai dari puncak kepala hingga ujung kaki.“Kamu mau ke mana?”“Ke luar sebentar, Tante.”“Ke luar?” Mayang menyipit mengulangi perkataan Starla.“Hanya sebentar, nanti aku akan langsung pulang.”“Keadaan genting begini kamu masih bisa mikirin main dan hangout di mall?”“Aku bukan
Baru berpisah selama lebih kurang tiga minggu tapi rasanya seakan tiga tahun tidak bertemu. Radev benci mengakui kalau dirinya merindukan Starla atas alasan yang tidak mampu ia jelaskan.Apa? Kangen?Gila kali gue kangen sama Starla.Radev menolak keras perasaaan itu. Ia tidak mungkin merindukan Starla. Memangnya siapa dia? Apa kelebihannya? Selain cantik tentu saja, lalu baik, lalu sangat mengerti Radev. Lalu …Arghhh …Kenapa juga dirinya mengurai satu demi satu poin positif gadis itu?Radev baru menyadari bahwa Starla tidak datang sendiri. Ada Bjorka sedang berdiri di sisi pintu. Temannya itu mengedipkan sebelah mata seakan ingin mengatakan, ‘mission complete.’Radev melempar senyum samar sebelum Bjorka pergi dari sana. Pria itu dengan kilat menyimpan senyumnya lalu mengganti dengan raut dingin seperti biasa saat menyadari ada Starla yang saat ini sedang berdiri di depannya. Starla tidak boleh tahu kalau Radev begitu mengharapkan gadis itu kembali.“Duduk,” suruhnya pada Starla.Pa
Starla terpaksa duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Radev. Ia baru tahu kalau tadi pria itu menyuruhnya membeli dua porsi bukanlah untuk dihabiskan sendiri, tetapi juga untuk Starla.Ini bukanlah untuk pertama kalinya Starla menemani Radev makan. Mereka sering makan siang bersama, entah itu di restoran, di café, saat meeting bersama klien ataupun di saat dan di tempat-tempat random lain. Namun, entah mengapa atmosfir kali ini terasa berbeda.Starla pikir Radev akan mengizinkannya kembali ke ruangan setelah makan siang. Nyatanya lelaki itu meminta Starla tetap berada di ruangannya. Tidak ada yang dilakukan Starla. Ia hanya duduk diam menemani Radev, sementara lelaki itu asyik sendiri dengan ponselnya. Radev seakan menganggap Starla tidak ada di sana.Hampir setengah jam berlalu dan pria itu tidak memberi instruksi apa pun pada Starla hingga Starla merasa tidak tahan untuk tetap bungkam.“Pak, ada yang bisa saya kerjakan?”Radev tidak merespon. Lelaki itu tetap terpaku dalam gaw
“Starla, kamu nggak dengar saya bicara?” tegur Radev pada Starla yang masih berdiri tegak di hadapannya.“Dengar, Pak,” jawab Starla kelu.“Lalu tunggu apa lagi?” Radev melebarkan pintu kamar mandi agar gadis itu bisa masuk. “Masuk!”Starla menyeret langkah berat memasuki area kamar mandi. Ia hampir tidak mampu menatap Radev yang saat itu hanya menggunakan selembar handuk untuk melapisi tubuhnya.Starla dan Radev sama-sama berdiri menyamping berhadapan di depan kaca wastafel. Lelaki itu menyuruh agar Starla segera mulai mencukur facial hair-nya.Dengan tangan gemetar Starla mengoleskan shave cream ke bagian rahang, dagu, serta bagian atas bibir Radev. Ini adalah pengalaman pertama Starla. Dan ia tidak tahu kenapa lelaki itu menyuruh melakukannya.Setelah krim tersebut terpulas secara merata Starla mulai menyapukan pisau cukur dengan hati-hati. Ia takut teledor yang akan melukai kulit Radev.Sementara Starla bekerja, Radev terus mengawasi dengan sepasang matanya. Cara laki-laki itu men
“Makasih, Pak Radev,” ucap Starla pelan.Radev tidak memberikan respon apa pun. Entah itu jawaban melalui kata-kata atau sekadar anggukan kepala. Lelaki itu berlalu pergi begitu saja meninggalkan Starla yang berdiri terpaku di depan pintu rumah. Padahal Starla ingin menawarkan pada Radev untuk mampir dulu.Starla tersentak Ketika mendengar suara petir menggelegar. Entah berapa lama dirinya berdiri sendiri memikirkan sikap Radev yang begitu manis malam ini. Bahkan terlalu manis untuk ukuran seorang Radev yang sehari-hari begitu dingin dan tidak pernah memerhatikan Starla.Starla membuka pintu rumah dan ia langsung disambut oleh Mayang dan Tantri yang sudah menunggunya sejak tadi.“Mana uangnya?” Mayang menengadahkan tangan pada Starla.“Uang apa, Tante?”“Lo nggak usah pura-pura bego deh, La,” sela Tantri yang berdiri di sebelah ibunya.“Aku baru aja diterima, nggak mungkinlah langsung gajian.”“Terus semesteran gue gimana? Lo beneran mau bikin gue malu?”Starla mengembuskan napas pela
“Pagi, Mbak Ajeng,” sapa Starla ramah setelah berhasil meredakan rasa kagetnya. Tidak hanya karena bertemu Ajeng sepagi itu di apartemen Radev, namun juga karena jenis pakaian yang digunakan perempuan itu. Ajeng mendengkus pelan lalu memandang Starla tidak suka. “Mau apa?” tanyanya ketus.“Saya mau ketemu Pak Radev. Semalam dia menyuruh saya ke sini.”“Apa?” Ajeng mengerutkan dahinya. “Buat apa Radev menyuruh kamu ke sini?”“Saya mau menyiapkan perlengkapan Bapak, Mbak.” Starla menjawab apa adanya sesuai yang dikatakan Radev kemarin.“Bukannya kamu udah dipecat ya?”“Saya sudah kerja lagi, Mbak.”“Kok bisa?” Ajeng menaikkan intonasi suaranya. Dadanya berkecamuk. Bagaimana mungkin ia tidak tahu hal sekrusial ini?“Saya bicara sama Pak Radev dan minta kesempatan satu kali lagi. Pak Radev menerima saya.”‘Kok Radev nggak bilang sama aku?’ Ajeng membatin menahan emosi.“Sejak kapan kamu kembali jadi asisten Radev?” tanyanya lagi pada Starla.“Sejak kemarin. Maaf, Mbak Ajeng, saya sudah b