Setelah hampir sepuluh hari berada di Shanghai Radev kembali ke Indonesia dan memulai rutinitas seperti biasa.
Para karyawan Casanova Garment berbisik-bisik saat lelaki itu melintas. Dari dulu sampai sekarang pembicaraan tentang Radev tidak pernah mendingin di kalangan para pegawainya, terutama pegawai wanita. Apapun yang ada pada Radev selalu menarik untuk dibahas. Mulai dari wajahnya yang tampan, kerajaan bisnisnya yang tersohor, sampai tunangannya yang membuat iri banyak perempuan karena berhasil mendapatkan hati Radev.
Sebelum memulai aktivitas kerja biasanya setiap pagi seluruh karyawan ikut briefing. Tapi briefing kali ini terasa jauh lebih spesial karena Radev menghadirinya.
Para karyawan tampak khidmat menanti apa yang akan Radev sampaikan. Sementara pria itu belum bicara apa-apa. Ada sesuatu yang mengganjal. Starla tidak ada di antara karyawannya yang lain.
“Starla mana?” tanyanya.
“Starla kan sudah berhenti, Pak." Seseorang memberitahu.
“Berhenti?” Sebelah alis laki-laki itu terangkat. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Seingatnya sebelum berangkat ke luar negeri Starla tidak berbicara sesuatu yang krusial.
Selesai briefing Radev kembali ke ruangannya. Di saat itulah ia baru menyadari ada amplop di atas mejanya yang terletak di atas tumpukan berkas-berkas yang lain.
Meraih amplop itu, Radev melihat nama Starla sebagai pengirimnya. Dengan cepat pria itu membuka amplop tersebut yang ternyata isinya adalah surat pengunduran diri Starla.
Radev mengerutkan dahi setelah membaca berkali-kali surat tersebut. Starla sudah bertahun-tahun bekerja menjadi asistennya. Bahkan perempuan itu sudah menjadi tangan dan kakinya. Seketika mood-nya menjadi tidak karuan.
Radev tidak ingin berlama-lama dalam masalah ini. Toh ia bisa mencari sekretaris baru. Pria itu lalu menegakkan tubuhnya dan meraih gagang telepon. Ia menghubungi bagian HRD.
“Lian, kamu atur proses rekrutmen untuk mencari sekretaris baru saya.”
“Baik, Pak,” jawab suara di seberang sana.
Keesokan harinya Radev mulai mengadakan rekrutmen untuk mencari pengganti Starla sampai beberapa hari berturut-turut. Banyak pelamar datang silih berganti. Namun, tidak satu pun dari mereka yang sesuai dengan keinginan Radev.
Telepon di ruangannya berbunyi memecah hening. Dengan malas Radev memutar kursi lalu menjangkau gagang telepon.
“Pak Radev, ada Pak Bjorka yang ingin bertemu dengan Bapak.” Resepsionis di lobi memberitahu.
“Suruh langsung ke ruangan saya,” jawab Radev sebelum meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya.
Hanya ada satu orang yang tidak pernah Radev tolak kedatangannya, yaitu Bjorka, sahabat dekatnya sekaligus orang kepercayaan Radev.
Selang beberapa menit kemudian pintu ruangan terbuka. Bjorka muncul dan langsung masuk ke ruangan Radev.
“Kusut amat tampang lo. Bad day, huh?” Bjorka mengomentari saat melihat penampakan Radev.
“Asisten gue resign mendadak. Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba berhenti.” Radev menjawab sambil menyugar kasar rambutnya.
“Kok bisa?”
“Itu dia yang gue nggak tahu. Gue baru pulang dari Shanghai dan nemu surat pengunduran diri dia di atas meja.” Radev menunjuk dengan dagunya surat dari Starla yang masih berada di meja.
Bjorka ikut menurunkan pandangan melihat ke arah yang sama.
“Gue udah open rekrutment beberapa hari ini tapi nggak ada yang cocok dan ngertiin gue kayak Starla.”
“Berarti lo harus panggil dia balik, minta biar kerja lagi jadi asisten lo.”
Radev berdecak. Ia tidak mungkin melakukannya. Yang ada Starla hanya akan jadi besar kepala.
“Ka, gue butuh distraksi nih. Mumet gue lama-lama di sini. Ke luar yuk!”
“Ke mana?”
“Broken Wings.”
***
Starla memandang ke sekelilingnya dengan gelisah. Sudah sejak tadi ia menanti seseorang yang akan menjadi teman kencannya malam ini yang juga merupakan pelanggan pertamanya.
Inilah pekerjaan dengan gaji besar yang dimaksud ibu tirinya. Mayang membawa Starla pada mucikari untuk dipekerjakan sebagai perempuan malam. Tentu saja Starla menolak dengan keras. Tapi Mayang tak henti menekannya. Perempuan tak punya hati itu terus mengancamnya.
Starla yang tak berdaya pada akhirnya berpasrah pada nasib. Ia bersedia menerima pekerjaan tersebut demi kesehatan ayahnya. Lagi pula Starla merasa hidupnya sudah tidak berarti. Ia sudah kehilangan satu-satunya hal paling berharga yang dimilikinya. Jadi demi kelangsungan hidup dan keluarganya Starla terpaksa memilih jalan ini walau hatinya menangis.
“Kamu Starla?” Seorang pria separuh baya berperut besar dengan tato menyelimuti lengan dan leher kini berdiri di hadapan Starla. Pria itu tampak begitu mengerikan.
“Iya. Anda siapa?” Starla balik bertanya.
Pria itu terkekeh menampakkan deretan gigi kuningnya sambil menjawab, “Aku teman kencanmu malam ini.”
Mendadak sekujur tubuh Starla menggigil. Ketakutan mulai menghantuinya. Ia tidak sanggup membayangkan akan menyerahkan diri pada pria mengerikan itu. Melihatnya saja Starla sudah kehilangan nyali, apalagi kalau sampai bercinta dengannya.
“Ayo pergi sekarang. Kamar untuk kita sudah tersedia.” Pria itu menggamit lengan Starla agar ikut dengannya.
Starla menyentak dengan keras hingga pria itu terkejut.
“Maaf, Pak, nggak jadi.”
“Apa maksud kamu bilang nggak jadi? Kamu jangan main-main dengan saya. Saya sudah bayar kamu dengan harga yang mahal,” kata pria itu tidak terima.
Pria itu kini mencekal lengan Starla dan mencoba mengecupnya. Starla berkelit hingga bibir pria tersebut hanya menyentuh angin.
“Jangan kurang ajar sama saya, Pak!” Starla memberontak untuk melepaskan diri, tapi cengkraman pria tatoan terlalu kuat.
“Kamu yang kurang ajar. Saya sudah keluar uang yang banyak untuk kamu, tapi kamu malah mau kabur.”
Tak jauh dari tempat Starla berada saat ini Radev sedang mengamatinya sejak tadi.
Radev tidak menduga kalau ternyata Starla seorang perempuan murahan. Starla dengan gampangnya menyerahkan diri dan membiarkan dirinya disentuh dan dipegang-pegang. Rasanya Radev ingin menumpahkan kemarahan pada Starla.
“Lo mau ke mana, Dev?” panggil Bjorka saat Radev berdiri lalu melangkah pergi.
Radev mengabaikan Bjorka. Lelaki itu berjalan cepat menuju Starla.
“Jadi ini alasan kamu berhenti dari perusahaan saya?”
***
Kedatangan Radev tak pelak mengejutkan Starla. Gadis itu dengan refleks menyentak tangannya yang dicekal pria di sampingnya.“Pak Radev ...”Radev mendengkus sambil memandangi pria menjijikkan yang bersama Starla. “Pantas saja kamu resign, ternyata di sini bayaran kamu jauh lebih besar,” ucapnya sinis.“Apa maksud Bapak?”“Don’t pretend with me, Starla. Saya pikir kamu perempuan baik-baik. Saya sangka kamu terpelajar. Tapi setelah apa yang saya saksikan malam ini sudah cukup menjadi alasan atas apa yang terjadi kemarin. Kamu benar-benar memalukan. Saya menyesal mempekerjakan perempuan sehina kamu sebagai asisten saya!”Senyum miring tercetak di bibir Radev menyaksikan mantan asistennya yang hanya diam membeku di hadapannya tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya sebagai pembelaan. Hal itu memberi keyakinan pada Radev bahwa Starla membenarkan perbuatannya.“Dengar, Starla, saya benar-benar menyesal pernah mempekerjakan kamu!” Radev mengucapkannya sekali lagi sebelum pergi mening
Bagai ada bom yang dijatuhkan di depannya Ajeng terkesiap. Akhirnya kebusukannya tercium oleh Radev. Tapi perempuan itu tidak akan semudah itu mengakuinya.“Surat pemecatan Starla? Ini kamu kok jadi nuduh aku sih, Dev?”“Aku menuduh kamu bukan tanpa alasan. Aku punya bukti yang kuat untuk itu.”“Bukti apa?” Ajeng mengerutkan dahi. Sementara jantungnya berdebar dengan kencang. Ia takut kalau Radev benar-benar akan menyuguhkan bukti yang tidak bisa disangkal.Radev mengeluarkan ponsel dari saku kemudian menunjukkan bukti rekaman CCTV pada Ajeng.“See? Kamu yang membuat surat itu dan menyuruh office boy untuk meletakkannya di meja Starla. Kamu kenapa sih, Jeng? Ada masalah apa dengan Starla?”“Tahu dari mana kalau aku yang membuat surat itu? Bisa aja kan office boy itu yang ngarang cerita,” balas Ajeng yang belum mau mengaku.“Buat apa dia ngarang cerita dan memfitnah kamu? Kamu itu tunangan aku, Jeng. Dia nggak akan seberani itu bawa-bawa kamu. Dia hanya karyawan biasa. Sedangkan kamu?”
Bentley hitam itu berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat tiga. Pagar otomatis membuka memberi jalan. Dengan transisi yang mulus kendaraan roda empat itu berbelok lalu berhenti di halaman.Tak lama pintu terbuka, menampakkan sosok Radev yang keluar dari dalamnya. Ia memang lebih suka menyetir sendiri ke mana-mana ketimbang menggunakan tenaga supir, walau dirinya memiliki supir pribadi. Lelaki itu tampak begitu segar. Setelan jas mahal yang membalut tubuhnya memberi kesan profesional yang tidak dibuat-buat.Dengan sebelah tangan berada di dalam saku celana pria itu berjalan ke rumah orang tuanya.Radev tidak menemukan siapa-siapa di rumah besar itu sehingga ia pun bertanya pada asisten rumah tangga yang ditemuinya.“Mami mana, Bi?”“Ada di belakang, Mas Radev.”Radev pergi tanpa berkata apa pun. Ia menemukan ibunya itu sedang berada di ruang makan. Tidak sendiri, ada perempuan muda bersamanya. Ajeng, sang tunangan.“Coba deh, Jeng, kamu bayangin, masa Radev jam sebelas masih tidur. K
Starla tidak langsung memberi jawaban. Berbagai tanya berkumpul di kepalanya.Dari mana sahabat mantan atasannya itu mendapat nomor Starla? Lantas apa tujuannya mengajak bertemu?“Bapak tahu nomor telfon saya dari mana? Bertemu untuk apa, Pak?” Starla menyuarakan kumpulan pikiran di benaknya.“Nanti akan saya jelaskan setelah kita meet up. Saya tunggu ya, setelah ini saya share loc.”“Baik, Pak.” Starla terpaksa mengiakan karena ia merasa penasaran pada tujuan Bjorka.Setelah panggilan tersebut berakhir Starla segera bersiap-siap. Ia tidak ingin terlambat. Tidak enak kalau Bjorka sampai menunggu terlalu lama.Keluar dari kamar, Starla berpapasan dengan ibu tirinya. Perempuan itu menatapnya tajam setelah memindai dari puncak kepala hingga ujung kaki.“Kamu mau ke mana?”“Ke luar sebentar, Tante.”“Ke luar?” Mayang menyipit mengulangi perkataan Starla.“Hanya sebentar, nanti aku akan langsung pulang.”“Keadaan genting begini kamu masih bisa mikirin main dan hangout di mall?”“Aku bukan
Baru berpisah selama lebih kurang tiga minggu tapi rasanya seakan tiga tahun tidak bertemu. Radev benci mengakui kalau dirinya merindukan Starla atas alasan yang tidak mampu ia jelaskan.Apa? Kangen?Gila kali gue kangen sama Starla.Radev menolak keras perasaaan itu. Ia tidak mungkin merindukan Starla. Memangnya siapa dia? Apa kelebihannya? Selain cantik tentu saja, lalu baik, lalu sangat mengerti Radev. Lalu …Arghhh …Kenapa juga dirinya mengurai satu demi satu poin positif gadis itu?Radev baru menyadari bahwa Starla tidak datang sendiri. Ada Bjorka sedang berdiri di sisi pintu. Temannya itu mengedipkan sebelah mata seakan ingin mengatakan, ‘mission complete.’Radev melempar senyum samar sebelum Bjorka pergi dari sana. Pria itu dengan kilat menyimpan senyumnya lalu mengganti dengan raut dingin seperti biasa saat menyadari ada Starla yang saat ini sedang berdiri di depannya. Starla tidak boleh tahu kalau Radev begitu mengharapkan gadis itu kembali.“Duduk,” suruhnya pada Starla.Pa
Starla terpaksa duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Radev. Ia baru tahu kalau tadi pria itu menyuruhnya membeli dua porsi bukanlah untuk dihabiskan sendiri, tetapi juga untuk Starla.Ini bukanlah untuk pertama kalinya Starla menemani Radev makan. Mereka sering makan siang bersama, entah itu di restoran, di café, saat meeting bersama klien ataupun di saat dan di tempat-tempat random lain. Namun, entah mengapa atmosfir kali ini terasa berbeda.Starla pikir Radev akan mengizinkannya kembali ke ruangan setelah makan siang. Nyatanya lelaki itu meminta Starla tetap berada di ruangannya. Tidak ada yang dilakukan Starla. Ia hanya duduk diam menemani Radev, sementara lelaki itu asyik sendiri dengan ponselnya. Radev seakan menganggap Starla tidak ada di sana.Hampir setengah jam berlalu dan pria itu tidak memberi instruksi apa pun pada Starla hingga Starla merasa tidak tahan untuk tetap bungkam.“Pak, ada yang bisa saya kerjakan?”Radev tidak merespon. Lelaki itu tetap terpaku dalam gaw
“Starla, kamu nggak dengar saya bicara?” tegur Radev pada Starla yang masih berdiri tegak di hadapannya.“Dengar, Pak,” jawab Starla kelu.“Lalu tunggu apa lagi?” Radev melebarkan pintu kamar mandi agar gadis itu bisa masuk. “Masuk!”Starla menyeret langkah berat memasuki area kamar mandi. Ia hampir tidak mampu menatap Radev yang saat itu hanya menggunakan selembar handuk untuk melapisi tubuhnya.Starla dan Radev sama-sama berdiri menyamping berhadapan di depan kaca wastafel. Lelaki itu menyuruh agar Starla segera mulai mencukur facial hair-nya.Dengan tangan gemetar Starla mengoleskan shave cream ke bagian rahang, dagu, serta bagian atas bibir Radev. Ini adalah pengalaman pertama Starla. Dan ia tidak tahu kenapa lelaki itu menyuruh melakukannya.Setelah krim tersebut terpulas secara merata Starla mulai menyapukan pisau cukur dengan hati-hati. Ia takut teledor yang akan melukai kulit Radev.Sementara Starla bekerja, Radev terus mengawasi dengan sepasang matanya. Cara laki-laki itu men
“Makasih, Pak Radev,” ucap Starla pelan.Radev tidak memberikan respon apa pun. Entah itu jawaban melalui kata-kata atau sekadar anggukan kepala. Lelaki itu berlalu pergi begitu saja meninggalkan Starla yang berdiri terpaku di depan pintu rumah. Padahal Starla ingin menawarkan pada Radev untuk mampir dulu.Starla tersentak Ketika mendengar suara petir menggelegar. Entah berapa lama dirinya berdiri sendiri memikirkan sikap Radev yang begitu manis malam ini. Bahkan terlalu manis untuk ukuran seorang Radev yang sehari-hari begitu dingin dan tidak pernah memerhatikan Starla.Starla membuka pintu rumah dan ia langsung disambut oleh Mayang dan Tantri yang sudah menunggunya sejak tadi.“Mana uangnya?” Mayang menengadahkan tangan pada Starla.“Uang apa, Tante?”“Lo nggak usah pura-pura bego deh, La,” sela Tantri yang berdiri di sebelah ibunya.“Aku baru aja diterima, nggak mungkinlah langsung gajian.”“Terus semesteran gue gimana? Lo beneran mau bikin gue malu?”Starla mengembuskan napas pela