LOGIN
"Konon, saat bulan tak terlihat di langit, para peri di hutan akan keluar dari persembunyiannya. Sosok tinggi dengan rambut hitam legam yang panjang, mengenakan jubah putih hingga menutupi kaki. Para peri ini akan menculik manusia yang berkeliaran di hutan saat itu, lalu membawa mereka jauh ke dalam hutan, dan mengambil jantung mereka untuk dibuat ramuan umur panjang."
Suara petir menggelegar di udara. Ji An menunduk sambil menutupi telinganya sambil menggerakkan kedua kakinya setengah berlari, menjauhi deretan pepohonan. Sepertinya hujan akan turun. Ia berjalan lebih cepat mencari tempat di dalam hutan untuk menginap malam ini. Berjalan cukup lama ia akhirnya menemukan sebuah sungai kecil. Ji An segera mendirikan tenda kecilnya di dekat sungai di tanah yang lebih tinggi agar saat hujan tempatnya tidak akan tergenang air. Cepat-cepat ia mengumpulkan ranting-ranting kecil yang ada di sekitarnya. Setelah merasa cukup, ia menyusun ranting-ranting itu dan menyalakan api. Beruntung hujan belum turun. Ia mendekatkan tubuhnya ke api untuk mendapat kehangatan. Di dalam hutan udara mulai dingin dan lembab. Ji an mengeluarkan roti kering dari buntelan di sampingnya. Menggigitnya perlahan sambil matanya memandang kosong ke nyala api yang berkobar di depan. Ini adalah hari kelimanya berada dalam hutan dan ia belum juga menemukan tanaman obat yang dicarinya. Ia memang mendengar tanaman obat itu sangatlah langka. Namun karena sudah menyanggupi permintaan seorang pelanggan akhirnya ia pun berlari ke dalam hutan. Kalau saja ia bisa menemukannya, tanaman itu bisa dihargai dua kantung perak. Cukup untuk memberi mereka sekeluarga makan selama tiga bulan. Setelah membersihkan tangan dan wajahnya di pinggir sungai, Ji An merangkak masuk ke dalam tenda kecilnya untuk tidur. Di luar terdengar suara kayu yang berderak-derak dilalap api. Serta suara serangga malam yang sudah mulai terbiasa ia dengar. Tak lama kemudian akhirnya semua suara itu diredam oleh suara hujan yang turun cukup deras. Ji An melanjutkan perjalanannya sejak hari mulai terang. Ia beruntung hujan semalam hanya bertahan sebentar saja. Kalau tidak, hari ini ia hanya akan tinggal di dalam tenda saja. Tangan kirinya memegang sebuah kertas yang sudah lecek yang sesekali dilihatnya saat menemukan tanaman yang dirasa mirip dengan gambar di kertas. Namun tidak satu pun yang benar-benar sesuai dengan gambar. Ia mendesah pelan. Apakah harus menyerah saja dan kembali ke desa? Timbangnya. Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Ji An berhenti untuk beristirahat di bawah sebuah pohon besar dengan cabangnya yang lebat menghalangi terik matahari. Dilepaskannya kantong air yang terikat di sabuknya dan minum beberapa teguk dari sana lalu disimpannya kembali. Cukup beruntung tadi ia mendapatkan buah-buahan liar yang kini menjadi makan siangnya. Ji An bersandar di pohon dengan kepala sedikit mendongak ke atas. Menutup matanya berharap bisa tidur siang sebentar. Dari jauh terdengar suara gemerisik dedaunan. Matanya kembali membuka. Sekelebat bayangan putih lewat di antara pepohonan. Apa yang baru saja lewat adalah binatang? Namun ia tidak berani untuk mengamati lebih dekat. Ji An cepat-cepat bersembunyi di balik pohon, takut-takut sekelebat bayangan putih yang lewat itu kembali. Sesekali ia mengintip dan mengawasi sekitarnya. Setelah beberapa lama menunggu, tidak terjadi apa-apa, tidak ada tanda-tanda apapun yang lewat tadi kembali, ketegangannya pun sedikit mereda. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk berpikir bahwa itu mungkin hanya tupai atau hewan sejenisnya. Ji An memutuskan mengakhiri istirahat siangnya lalu membereskan barang-barangnya. Kantuknya sudah hilang sejak tadi. Kegelapan malam datang, namun kali ini lebih gelap dari malam-malam kemarin. Ji An menyadari hari ini adalah hari bulan baru. Sepintas teringat dengan nasihat para orangtua di desa tentang malam tanpa bulan di dalam hutan. Sebenarnya, Ji An tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti seperti itu. Namun berjalan di kegelapan seperti ini memang bukan ide yang bagus. Ia memutuskan untuk mendirikan tenda di bawah sebuah pohon dedalu besar yang tebal batangnya sekitar tujuh kaki dengan ranting-rantingnya yang menjuntai membentuk tirai alami yang hampir mencapai permukaan tanah. Tempat yang sangat baik untuk menyembunyikan dirinya dari binatang buas maupun dari para bandit gunung yang konon banyak berkeliaran di area hutan. Malam ini hutan juga tampak lebih sunyi. Entah kemana perginya para serangga maupun binatang yang biasanya menginterupsi kesunyian malam hari di hutan. Ketenangan saat ini terasa mencekam. Ji An memasukkan beberapa ranting ke dalam api. Setelah cukup makan, ia merangkak masuk ke dalam tendanya seperti biasa, berharap bisa melalui malam ini dengan aman. Suara berisik dari atas pohon membangunkannya. Ia membuka mata, menajamkan telinganya. Menebak-nebak apa yang sedang terjadi di atas sana. Ia mendengar suara gemerisik dari dedaunan terus menerus. Suara samar-samar kaki yang menapak di dahan di atasnya. Tapi bagaimana mungkin orang biasa bisa dengan mudah naik ke atas pohon setinggi itu, di malam dengan kegelapan yang pekat seperti saat ini? Sekejap suara-suara gemerisik itu berhenti, disusul dengan suara raungan yang melengking. Sontak membuat Ji An bergidik ngeri, ia refleks menutup telinganya, melengkungkan tubuhnya. Namun suara itu tidak lama kemudian menghilang. Sebenarnya makhluk apa yang mengeluarkan raungan seperti itu? Mungkinkah itu suara beruang? Namun ia belum pernah sekalipun mendengar mengenai keberadaan beruang di hutan itu. Lalu bagaimana menjelaskan ketenangan yang datang setelah jeritan mengerikan itu? Apakah makhluk apapun yang bersuara itu tadi masih di atas sana? Tidak mungkin! Karena suara apapun tidak terdengar lagi. Berbagai pikiran segera menghinggapi di sela-sela ketakutannya. Ia menelan ludahnya, berpikir bahwa sepertinya ia sudah salah memilih tempat ini untuk beristirahat. Setelah banyak berpikir, ia memutuskan tetap bertahan di dalam tenda kecilnya. Bagaimanapun, berpindah tempat saat ini bukan ide yang bagus. Mungkin saja makhluk apapun tadi belum menyadari keberadaannya di bawah sana. Akan lebih aman baginya tetap di sana. Ia meringkuk di sudut tenda mengecilkan tubuhnya, bahkan bernapas pun dilakukannya dengan sangat pelan. Takut sesuatu yang ada di atas sana menyadari kehadirannya. Beruntung api yang dinyalakannya tadi sudah padam sepenuhnya. Di luar, sesuatu telah terjatuh dengan ringan dari atas pohon dedalu, sama sekali tidak menimbulkan suara. Itu sebenarnya terlihat seperti potongan kecil akar dari sebuah pohon. 'Potongan akar' itu menggeliat sebentar di tanah, kemudian terdiam. Setelah terdiam singkat, seolah telah menemukan sesuatu, dengan sisa-sisa kekuatannya ia perlahan merayap menuju ke suatu tempat di balik tirai dedalu yang menjuntai... Catatan Penulis: Halo! Sedikit latar belakang. Cerita ini awalnya sudah mulai sy kerjakan 2 tahun yang lalu. Namun saat itu stuck begitu saja, kekurangan referensi, ide dan sebagainya. Akhirnya di akhir tahun ini sy buka kembali dan perbaiki di sana sini, dan akhirnya bisa sampai ke platform GN. Kali ini sy bertekad akan melanjutkan kisah ini sampai akhir! Mohon kritik dan saran yang membangun ya teman2 🫰 Terima Kasih!Xuanyi tidak langsung membantah ibunya dengan keras. Ia tahu, jika ia membela Ji An mati-matian, ibunya akan semakin tidak senang padanya, sehingga keinginannya untuk bersamanya akan lebih sulit. Jadi dia hanya menahan diri ketika wanita yang disayanginya dibicarakan seperti itu.Maka ia berkata tanpa amarah, "Aku mengerti kekhawatiran Ibu. Namun, aku bisa menjamin bahwa Ji An adalah gadis yang baik dan jujur. Keadaan hidupnya yang telah berubah telah membuatnya terbiasa melakukan berbagai pekerjaan di luar. Mengenai utang keluarganya, ini juga lambat laun akan diselesaikan.""Bukan itu intinya! Telah diselesaikan atau belum, ini tetap akan mempengaruhi pandangan orang lain. Memangnya keluarga kita begitu terpuruk hingga tidak mampu mengambil seorang gadis dari keluarga bergengsi untuk menjadi menantu keluarga? Kita bukannya begitu tidak mampu!" Ia mengatakan itu semua dalam sekali tarikan napas.Saat berikutnya, ia mengambil tangan putranya, menatapnya dengan memohon, "Yi'er, Ibu moh
Beberapa waktu setelah pertengkaran itu, keadaan kembali menjadi tenang.Namun, ada beberapa hal yang berubah dari ibunya.Ia menjadi lebih pemurung. Terkadang menjadi sangat sensitif. Suatu ketika, saat kediaman mereka sedang mengadakan perjamuan, ia menemukan ibunya sedang menatap penuh kebencian pada seseorang di seberang meja.Orang yang ditatap itu adalah bibi tetangga, ibu Ji An.Ia tidak mengerti apa yang membuat ibunya marah kepada ibu Ji An.Kemudian, saat para tamu satu per satu pamit kepada tuan rumah, ia sedang berdiri di sisi ayahnya ketika ia menyadari tatapan ayahnya menjadi linglung.Du Yunzhao kecil penasaran. Ia mengikuti arah pandang sang ayah, yang berujung pada seseorang yang sedang berjalan keluar dari ambang paviliun tamu.Itu lagi-lagi bibi tetangganya.Apa yang membuat kedua orang tuanya begitu memperhatikan bibi tetangga ini?Sekitar setahun setelah kejadian itu, ibunya meninggal dunia.Tabib bilang, ibunya terlalu banyak pikiran hingga setahun belakangan in
Sebelum pergi di pagi hari, Feng Jin telah memberitahu Ji An bahwa mereka akan pergi ke kabin hutan dua hari lagi, saat hari bulan penuh.Ji An segera menyetujuinya. ----Nyonya Besar Wu sedang berada di halamannya ketika putra keduanya, Wu Xuanyi masuk dari luar.Ia sedikit menunduk, menyapanya, "Ibu." Nyonya Wu tersenyum, "Yi'er, sangat jarang melihatmu datang menemui Ibu sepagi ini."Ia lalu menunjuk kursi di dekatnya, "Duduklah. Jangan terus berdiri seperti itu."Masih dengan kepala tertunduk, Xuanyi duduk dengan patuh."Katakan, ada apa kau mencari Ibumu?"Xuanyi mengangkat kepalanya, bertemu dengan tatapan ibunya."Ibu, aku ingin menikah."Mata Nyonya Wu yang melebar, dipenuhi dengan kegembiraan, "Yi'er, ini sangat baik, kau akhirnya mau mendengarkan Ibu. Bagus, bagus, kalau begitu Ibu akan segera mencarikan seseorang...""Ibu."Sebelum bisa menyelesaikan ucapannya, Xuanyi segera memotongnya. Nyonya Wu mengangkat alisnya, menatapnya dengan penuh tanya."Aku ingin menikahi Ji
Malam semakin larut, suara percakapan yang berisik terdengar di mana-mana di dalam menara.Saat pertunjukan tarian di panggung mulai terasa membosankan, Ji An mengajak Feng Jin untuk kembali.Lagipula, ia harus bangun pagi untuk bekerja besok.Sang iblis tentu saja belum keluar karena ia belum tidur. Atau mungkin saja malam ini ia memilih untuk tidak keluar."Maaf, lain kali aku akan mentraktirmu dengan suguhan yang lebih layak." Ji An berkata."Aku hanya mengajakmu melihat-lihat sebelumnya, bukan memintamu untuk mentraktir."Ji An mengangguk.Ketika mereka hendak keluar, sebuah rombongan besar tengah masuk ke dalam menara, memenuhi pintu.Ji An yang telah berjalan duluan di depan, terpisah dengan Feng Jin oleh kerumunan.Saat ia memutuskan untuk menunggunya di luar, Ji An mendengar seseorang memanggil namanya."Adik An." Sapa Wu Xuanyi gembira. Ia tidak menyangka akan begitu cepat bertemu lagi dengan gadis yang telah mengganggu tidurnya semalam."Xuanyi?" Ji An tertawa, "Aku tidak me
Feng Jin menatap gadis di depan yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Seperti kemarin, saat ini mereka berdua sedang makan malam di dalam kamar Ji An. Pandangannya sesekali akan terangkat, mengamati gerak geriknya tanpa kentara. Gadis itu tiba-tiba menghela napas berat, kali berikutnya pandangannya tampak linglung. Ia jelas sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Ji An menatap Feng Jin kemudian menundukkan kembali pandangannya, sorot matanya agak sendu. Tangannya yang sedang memegang sumpit, hanya mengaduk-aduk nasi di mangkuk, jelas ia tidak sedang berselera. "Sesuatu terjadi?" Feng Jin menurunkan matanya. Ji An menggeleng, masih mengaduk-aduk nasi di mangkuk, "Ng..sebenarnya, tidak ada hal penting yang terjadi." Ketika Ji An mengangkat wajahnya lagi, ia bertemu dengan tatapan Feng Jin yang seakan sedang bertanya "Lalu ada apa denganmu?" Ji An menunduk, meringis, "Aku.. sepertinya aku telah membuat hinaan seseorang berhasil mempengaruhiku." Ia kemudian ters
Feng Jin hendak berbaring ketika hidungnya menangkap sebuah aroma familiar.Ia menunduk, mengendus jubah hitamnya.Aroma lembut itu berasal dari sana. Sepertinya itu tertinggal saat ia membungkus Ji An dengan jubahnya semalam.Feng Jin tampak sedikit kikuk saat kemudian ia akhirnya berhasil berbaring di atas dipan.Matanya dengan linglung menatap langit-langit kamar sejenak sebelum perlahan menutup.-----Ji An masih sibuk di belakang dapur restoran.Waktu makan siang selalu ramai dengan pelanggan. Sehingga mereka harus bergerak lebih cepat untuk menyelesaikan setiap pesanan.Sedangkan Ji An yang tidak terlibat langsung dengan para tamu, sedang mengatur penempatan berbagai bahan-bahan segar yang diantarkan tadi pagi.Seseorang keluar dari pintu belakang dapur, menghampirinya."Nona Ji, bisakah kau menggantikanku sebentar untuk mengantarkan salah satu pesanan tamu di depan?" Seorang pelayan wanita bertanya, sementara wajahnya berkerut seperti sedang menahan sesuatu.Ji An segera menger







