Dirga menautkan alis melihat selembar surat yang terletak di meja kerjanya. Lelaki yang baru sampai di kantor itu meletakkan tas dan duduk di kursi. Alisnya bertaut melihat logo dari Pengadilan Agama setempat. Dengan hati berdebar, Dirga membuka amplop.Lelaki itu menggeram saat mengetahui isi amplop itu adalah surat panggilan sidang tahap pertama. Dirga meremas surat hingga tak berbentuk lagi. Lelaki itu tidak menyangka Nia akan melayangkan gugatan tanpa berbicara dengannya lebih dulu.“Lihat? Sekarang berpikirlah. Wajar mereka menginjak-injak harga diriku karena suamiku sendiri tidak bisa menghargai aku sebagai seorang istri. CERAI! Aku tidak bisa hidup dengan lelaki tidak tegas sepertimu lebih lama lagi.” Ucapan Nia saat itu terngiang kembali di telinga Dirga.Lelaki itu memijat keningnya pelan. Dia kira permasalahan mereka sudah selesai. Waktu itu hanya kemarahan sementara Nia. Berbulan-bulan sejak kejadian itu, hubungan mereka sudah baik-baik saja. Nia bahkan masih melayaninya ta
“Aku tidak sekuat dirimu, Je.” Nia menggigit bibir.“Aku kuat karena Mas Aditya, Nia. Dia benar-benar menunjukkan perubahannya. Dia menjadi lebih perhatian pada aku dan anak-anak. Mas Aditya juga membuktikan dia tidak lagi mengulangi kesalahannya dulu. Dia berhasil meyakinkan aku bahwa keputusan yang kuambil untuk mempertahankan pernikahan kami dulu tidaklah salah.”“Aku lelah berjuang sendirian.” Nia tergugu. Akhirnya, air mata wanita itu mengalir juga. Susah payah dia menahan tangis sejak tadi, tapi ternyata dia tidak sekuat itu. “Terima kasih.” Nia menerima tisu yang diberikan Jihan.“Aku sengaja mendiamkan Dirga. Bersikap seolah pernikahan kami baik-baik saja. Tapi, dia tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Bahkan, kata maaf tidak pernah terucap dari bibirnya karena telah menyakiti aku. Aku iri sekali dengan pernikahanmu, Je.”Jihan menarik napas panjang. Dia memegang tangan Nia dengan erat, berusaha memberikan kekuatan pada sahabatnya yang sedang sangat rapuh.“Dia tidak be
"Kenapa mundur?" Belum juga sempurna mereka duduk, pertanyaan itu sudah meluncur dari mulut Armila. Dia sudah tidak kuat menahan hati karena sepanjang perjalanan tadi mereka saling diam."Aku ingin kita tidak berhubungan lagi." Ucapan Dirga membuat Armila terbelalak. "Kalau aku terus berada di tim ini, mau tidak mau kita akan tetap berhubungan, Mil.""Karena Nia? Kau mengorbankan karirmu hanya demi dia?"Dia istriku. Ibu dari anakku. Wanita yang selama belasan tahun ini menemaniku menghabiskan malam. Dia yang merawat aku saat sakit. Dia juga yang memastikan makan dan bajuku tersedia dengan baik dan rapi. Jadi, dia bukan sekedar hanya bagiku, Mil."Armila bungkam mendengar ucapan Dirga. Sementara Dirga menarik napas dalam-dalam. Dia menunjuk minuman asal-asalan saat pramusaji menghampiri. Lelaki itu memesan sushi untuk dibawa pulang hingga membuat Armila menautkan alis.Dirga memang sengaja mengajak Armila bicara disana sekalian memesankan sushi di resto kesukaan Nia. dia berharap deng
“Alhamdulillah ya, Mas, reservasi kamar sudah penuh sampai waktu liburan selesai nanti. Tempat wisata juga semingguan ini selalu ramai.” Jihan memperhatikan pengunjung yang terus berdatangan. Baru jam sepuluh pagi, tempat wisata Mata Air Buana sudah ramai sekali. Sesuai perkiraan, pengunjung akan meningkat pesat di minggu kedua libur sekolah.“Iya, omset resto juga meningkat drastis. Kita sampai menambah tenaga harian lepas agar karyawan tidak keteteran. Sekitar lima belas orang kita rekrut untuk waktu kerja sampai masa liburan berakhir nanti.” Aditya menyelonjorkan kaki. Dia tersenyum lebar melihat wajah pengunjung yang sumringah menghabiskan waktu di sana.Hari ini, Aditya sengaja memboyong keluarga kecilnya ke tempat wisata mereka. Sejak tadi, Rayna dan Damar tak berhenti mencoba wahana yang ada. Mereka tambah semangat mencoba semua saat bertemu dengan teman yang mereka kenal.“Mama sama Papa jadi kesini, Mas?” Jihan dan Aditya tertawa berbarengan melihat Pardi dan Sumi basah kuyup
Jihan dan Aditya saling berpandangan saat mendadak tempat itu menjadi riuh seketika. Beberapa pengunjung langsung fokus pada ponsel mereka. Bahkan, mereka yang tadinya masih mengantri untuk bermain wahana meninggalkan antrian begitu saja.“Ada apa?” Rayna langsung mencegat teman yang dikenalnya. Mereka benar-benar tidak mengerti dengan keramaian yang terjadi. Tempat yang tadinya rapi bahkan sedikit berantakan karena orang-orang berkerumun tanpa memperhatikan sekitar hingga menyenggol tanaman dan tempat sampah.“Buka ponselmu, lihat saluran berita apa saja.” Anak lelaki itu langsung pergi setelah menepuk bahu Rayna pelan. Rayna yang kebingungan langsung berlari dan mencari ponsel di tasnya.“Tepat jam setengah sebelas tadi atau beberapa menit sebelum berita ini mengudara, hampir semua stasiun televisi dan akun-akun berita di media sosial mendapat email yang isinya tidak terduga.Foto-foto Aditya Buana dan Ralin Kamala yang sedang melakukan adegan tidak senonoh di sebuah kamar hotel mem
“APA YANG ADA DI OTAKMU SELAIN S*LANG*ANGAN WANITA, ADITYA? B*NGSAT!” Cakra Buana langsung melompat ke arah saung. Bogem mentahnya langsung menghantam rahang tegas Aditya.“Kakek!” Rayna memekik kencang. Jihan dengan sigap menarik Rayna. Hati wanita itu perih menyadari kedua anaknya harus menyaksikan kekacauan ini tepat di depan mata mereka. Trauma. Pasti kejadian hari ini akan membekas selamanya di memori jangka panjang Damar dan Rayna.“Kau membuat malu keluarga dengan kelakuan bejatmu itu!” Sekali lagi, bogem Cakra telak mengenai hidung Aditya. Darah segar terciprat ke jilbab Jihan yang duduk di samping suaminya. Wanita itu menatap jerih pada cairan merah yang meresap ke dalam serat-serat kain jilbab yang dia kenakan.“B*DOH!” Saat bogem ketiga menghantam wajah Aditya, lelaki itu terkulai lemah.“Anakku!” Aditya masih sempat mendengar suara sang Mama sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Sementara disini, Cakra Buana terduduk dengan wajah bersimbah air mata. Lelaki berusia senj
"Itulah salah satu keluhan pengunjung yang berhasil kami wawancarai. Menurut pantauan tim kami, aplikasi Mata Air Buana saat ini juga sedang tidak dapat diakses. Padahal, banyak calon pengunjung yang ingin membatalkan booking tiket mereka.Keributan ini juga memenuhi media sosial. Calon pengunjung ramai-ramai melakukan komplain di sana. Mereka minta uang mereka dikembalikan karena tidak ingin menghabiskan liburan di tempat yang bermasalah.Sampai berita ini kami turunkan, belum ada klarifikasi apapun dari pihak Mata Air Buana. Baik secara langsung maupun melalui media sosial yang mereka punya.Keadaan ini tentu membuat publik menduga-duga, akankah Aditya dan Jihan memilih bungkam seperti tiga tahun lalu?""Bungkam bukan pilihan yang tepat karena usaha mereka sedang berada di puncaknya. Seharusnya, Aditya bisa meredam berita ini. Tapi, apa pula yang mau diredam? Foto dan video itu jelas dirinya." Afrizal kembali terbahak-bahak.Dia mengangguk-angguk menyadari kepintarannya merancang st
"Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu."Mendadak ruangan yang diperuntukkan bagi talent berdandan itu hening. Tempat yang tadinya ramai oleh canda dan tawa menjadi senyap seketika. Ruangan itu sempurna tanpa suara. Hanya terdengar pendingin ruangan yang berdesing pelan menandakan benda itu bekerja secara maksimal.Hampir secara bersamaan, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh pada gadis muda yang berdiri santai di samping meja rias Jihan. Wanita itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan pada Jihan yang masih terpaku menatapnya dengan wajah kebingungan. Ketukan di pintu membuat kesibukan yang sempat terhenti menggeliat kembali. “Jihan, siap-siap yuk. Giliran kamu perform lima menit lagi.”“Oke, Mas Galang.” Jihan mengangkat jempol sambil mengedipkan mata pada crew stasiun televisi swasta itu. “Sudah, Kak?” Jihan menoleh pada Sisi, MUA yang sejak tadi memoles wajahnya dengan riasan dan memastikan pakaian yang dia kenakan menempel dengan sempurna di tubuh lan
"Itulah salah satu keluhan pengunjung yang berhasil kami wawancarai. Menurut pantauan tim kami, aplikasi Mata Air Buana saat ini juga sedang tidak dapat diakses. Padahal, banyak calon pengunjung yang ingin membatalkan booking tiket mereka.Keributan ini juga memenuhi media sosial. Calon pengunjung ramai-ramai melakukan komplain di sana. Mereka minta uang mereka dikembalikan karena tidak ingin menghabiskan liburan di tempat yang bermasalah.Sampai berita ini kami turunkan, belum ada klarifikasi apapun dari pihak Mata Air Buana. Baik secara langsung maupun melalui media sosial yang mereka punya.Keadaan ini tentu membuat publik menduga-duga, akankah Aditya dan Jihan memilih bungkam seperti tiga tahun lalu?""Bungkam bukan pilihan yang tepat karena usaha mereka sedang berada di puncaknya. Seharusnya, Aditya bisa meredam berita ini. Tapi, apa pula yang mau diredam? Foto dan video itu jelas dirinya." Afrizal kembali terbahak-bahak.Dia mengangguk-angguk menyadari kepintarannya merancang st
“APA YANG ADA DI OTAKMU SELAIN S*LANG*ANGAN WANITA, ADITYA? B*NGSAT!” Cakra Buana langsung melompat ke arah saung. Bogem mentahnya langsung menghantam rahang tegas Aditya.“Kakek!” Rayna memekik kencang. Jihan dengan sigap menarik Rayna. Hati wanita itu perih menyadari kedua anaknya harus menyaksikan kekacauan ini tepat di depan mata mereka. Trauma. Pasti kejadian hari ini akan membekas selamanya di memori jangka panjang Damar dan Rayna.“Kau membuat malu keluarga dengan kelakuan bejatmu itu!” Sekali lagi, bogem Cakra telak mengenai hidung Aditya. Darah segar terciprat ke jilbab Jihan yang duduk di samping suaminya. Wanita itu menatap jerih pada cairan merah yang meresap ke dalam serat-serat kain jilbab yang dia kenakan.“B*DOH!” Saat bogem ketiga menghantam wajah Aditya, lelaki itu terkulai lemah.“Anakku!” Aditya masih sempat mendengar suara sang Mama sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Sementara disini, Cakra Buana terduduk dengan wajah bersimbah air mata. Lelaki berusia senj
Jihan dan Aditya saling berpandangan saat mendadak tempat itu menjadi riuh seketika. Beberapa pengunjung langsung fokus pada ponsel mereka. Bahkan, mereka yang tadinya masih mengantri untuk bermain wahana meninggalkan antrian begitu saja.“Ada apa?” Rayna langsung mencegat teman yang dikenalnya. Mereka benar-benar tidak mengerti dengan keramaian yang terjadi. Tempat yang tadinya rapi bahkan sedikit berantakan karena orang-orang berkerumun tanpa memperhatikan sekitar hingga menyenggol tanaman dan tempat sampah.“Buka ponselmu, lihat saluran berita apa saja.” Anak lelaki itu langsung pergi setelah menepuk bahu Rayna pelan. Rayna yang kebingungan langsung berlari dan mencari ponsel di tasnya.“Tepat jam setengah sebelas tadi atau beberapa menit sebelum berita ini mengudara, hampir semua stasiun televisi dan akun-akun berita di media sosial mendapat email yang isinya tidak terduga.Foto-foto Aditya Buana dan Ralin Kamala yang sedang melakukan adegan tidak senonoh di sebuah kamar hotel mem
“Alhamdulillah ya, Mas, reservasi kamar sudah penuh sampai waktu liburan selesai nanti. Tempat wisata juga semingguan ini selalu ramai.” Jihan memperhatikan pengunjung yang terus berdatangan. Baru jam sepuluh pagi, tempat wisata Mata Air Buana sudah ramai sekali. Sesuai perkiraan, pengunjung akan meningkat pesat di minggu kedua libur sekolah.“Iya, omset resto juga meningkat drastis. Kita sampai menambah tenaga harian lepas agar karyawan tidak keteteran. Sekitar lima belas orang kita rekrut untuk waktu kerja sampai masa liburan berakhir nanti.” Aditya menyelonjorkan kaki. Dia tersenyum lebar melihat wajah pengunjung yang sumringah menghabiskan waktu di sana.Hari ini, Aditya sengaja memboyong keluarga kecilnya ke tempat wisata mereka. Sejak tadi, Rayna dan Damar tak berhenti mencoba wahana yang ada. Mereka tambah semangat mencoba semua saat bertemu dengan teman yang mereka kenal.“Mama sama Papa jadi kesini, Mas?” Jihan dan Aditya tertawa berbarengan melihat Pardi dan Sumi basah kuyup
"Kenapa mundur?" Belum juga sempurna mereka duduk, pertanyaan itu sudah meluncur dari mulut Armila. Dia sudah tidak kuat menahan hati karena sepanjang perjalanan tadi mereka saling diam."Aku ingin kita tidak berhubungan lagi." Ucapan Dirga membuat Armila terbelalak. "Kalau aku terus berada di tim ini, mau tidak mau kita akan tetap berhubungan, Mil.""Karena Nia? Kau mengorbankan karirmu hanya demi dia?"Dia istriku. Ibu dari anakku. Wanita yang selama belasan tahun ini menemaniku menghabiskan malam. Dia yang merawat aku saat sakit. Dia juga yang memastikan makan dan bajuku tersedia dengan baik dan rapi. Jadi, dia bukan sekedar hanya bagiku, Mil."Armila bungkam mendengar ucapan Dirga. Sementara Dirga menarik napas dalam-dalam. Dia menunjuk minuman asal-asalan saat pramusaji menghampiri. Lelaki itu memesan sushi untuk dibawa pulang hingga membuat Armila menautkan alis.Dirga memang sengaja mengajak Armila bicara disana sekalian memesankan sushi di resto kesukaan Nia. dia berharap deng
“Aku tidak sekuat dirimu, Je.” Nia menggigit bibir.“Aku kuat karena Mas Aditya, Nia. Dia benar-benar menunjukkan perubahannya. Dia menjadi lebih perhatian pada aku dan anak-anak. Mas Aditya juga membuktikan dia tidak lagi mengulangi kesalahannya dulu. Dia berhasil meyakinkan aku bahwa keputusan yang kuambil untuk mempertahankan pernikahan kami dulu tidaklah salah.”“Aku lelah berjuang sendirian.” Nia tergugu. Akhirnya, air mata wanita itu mengalir juga. Susah payah dia menahan tangis sejak tadi, tapi ternyata dia tidak sekuat itu. “Terima kasih.” Nia menerima tisu yang diberikan Jihan.“Aku sengaja mendiamkan Dirga. Bersikap seolah pernikahan kami baik-baik saja. Tapi, dia tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Bahkan, kata maaf tidak pernah terucap dari bibirnya karena telah menyakiti aku. Aku iri sekali dengan pernikahanmu, Je.”Jihan menarik napas panjang. Dia memegang tangan Nia dengan erat, berusaha memberikan kekuatan pada sahabatnya yang sedang sangat rapuh.“Dia tidak be
Dirga menautkan alis melihat selembar surat yang terletak di meja kerjanya. Lelaki yang baru sampai di kantor itu meletakkan tas dan duduk di kursi. Alisnya bertaut melihat logo dari Pengadilan Agama setempat. Dengan hati berdebar, Dirga membuka amplop.Lelaki itu menggeram saat mengetahui isi amplop itu adalah surat panggilan sidang tahap pertama. Dirga meremas surat hingga tak berbentuk lagi. Lelaki itu tidak menyangka Nia akan melayangkan gugatan tanpa berbicara dengannya lebih dulu.“Lihat? Sekarang berpikirlah. Wajar mereka menginjak-injak harga diriku karena suamiku sendiri tidak bisa menghargai aku sebagai seorang istri. CERAI! Aku tidak bisa hidup dengan lelaki tidak tegas sepertimu lebih lama lagi.” Ucapan Nia saat itu terngiang kembali di telinga Dirga.Lelaki itu memijat keningnya pelan. Dia kira permasalahan mereka sudah selesai. Waktu itu hanya kemarahan sementara Nia. Berbulan-bulan sejak kejadian itu, hubungan mereka sudah baik-baik saja. Nia bahkan masih melayaninya ta
“Entahlah, kata Pak Afrizal semua sudah dia bereskan kalau kau setuju.”Ralin berpikir sejenak. Sebenarnya, tanpa bayaran pun dia mau asal bisa memberi pelajaran pada Jihan. Dia yang sudah sesumbar lelakinya berubah, ternyata masih bermain hati. Ralin tidak bisa membayangkan hancurnya wanita angkuh itu mengetahui Aditya kembali mendatanginya.“Mas Aditya tidak minum alkohol. Jangankan alkohol, merokok pun tidak. Bagaimana cara kita menjebaknya?” Ralin dapat melihat Rey tersenyum tipis. Dengan bertanya seperti itu, artinya dia sudah setuju menerima tawaran dari Afrizal.“Biar itu menjadi urusan Pak Afrizal. Tugasmu hanya memastikan Pak Aditya menghabiskan malam di kamar yang sama. Sebelum semua itu, Pak Afrizal bilang dia yang akan mengatur semua.”Ralin tersenyum lebar mengingat semua itu. Saat melihat Aditya minta izin istirahat semalam, dia langsung berjalan cepat mengejar. Setelah masuk pada kamar hotel yang memang sudah disiapkan, Ralin langsung mengirimkan foto pada Afrizal. Tak
“Kau pewaris tunggal usaha keluarga kita. Puluhan tahun Papa membangun usaha ini dengan kerja keras dan mempertahankan nama baik. Kita bukan berasal dari keluarga kaya, Dit Papa mendapatkan semua kemewahan ini dengan perjuangan dan air mata.” Suara berat papanya seolah bergema diantara gemericik air di kamar mandi.“Jauhi sedari dini. Sekali kau coba-coba, selamanya kau akan menganggap itu hal biasa dan menjadi gaya hidup. Menghabiskan malam-malam dengan teman. Merayakan keberhasilan usaha dengan alkohol menjadi hal yang biasa. JAUHI, paham?”Aditya melenguh, kenangan dua puluh enam tahun yang lalu itu seakan baru terjadi kemarin. Suara dan wajah Cakra Buana sempurna memenuhi ruang ingatan sang putra.“Jangan sampai tergelincir menyentuh benda haram itu, Dit. Karenanya otak tidak bisa bekerja, hanya menunggu waktu sampai kehancuran datang. Entah tubuh yang rusak, pikiran yang kacau atau semua yang kita miliki kembali pada ketiadaan.”Sekali, seumur hidupnya hanya sekali itu Aditya men