Share

Chapter 3 : Saya Dokter Adit.

Misuh misuh terjadi di kamar Mia. Gadis itu masih saja berkutat dengan perlengkapannya untuk pergi besok pagi walaupun jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Ia harus memastikan tak ada yang tertinggal. Mulai dari kamera, cas-an ponselnya, penutup mata saat ia tidur, earphone, make up dan masih banyak lainnya.

Terkhusus untuk make up, ia tak mau sedikitpun ada yang tertinggal. Walaupun make up nya tak terlalu banyak dan yang wajar-wajar saja. Namun yang ia tahu puncak itu dingin, ia tak mau kulitnya gersang karena tak bawa pelembab dengan lengkap.

"Selesai!" serunya sambil menatap koper besar yang super lengkap itu.

Ia menyingkirkan koper tersebut ke pinggir dan bersiap untuk tidur. Besok adalah hari yang ia tunggu. Membantu Randi sekaligus berlibur.

Puncak, Sampai jumpa besok.

~

Pagi ini keributan dan gelak tawa sudah terdengar di kediaman Randi. Pasalnya titik keberangkatan ada di rumah pria tersebut. Dibantu oleh kedua orang tua Randi, semuanya tersusun dengan rapi.

Tante Linda dan Om Burhan ikut antusias saat melihat teman dari anak-anaknya yang juga terlihat bersemangat.

"Nara sumbernya mana?" tanya Burhan pada Randi yang baru saja keluar rumah sambil menenteng sebuah tas ransel.

"Nara sumbernya pakai mobil sendiri pa. Kita tawarin, cuma dia bilang hari ini dia ada tugas sebentar di rumah sakit, setelah itu baru dia nyusul ke puncak." jelas sang anak membuat Burhan mengangguk paham.

"Ya sudah. Kalian semua hati-hati. Sampai di sana kabari papa sama mama segera."

Randi mengangguk. Ia pamit lalu menyalami kedua orang tuanya. Begitupun dengan Mia. Gadis itu ikut menyalami om dan tantenya sebelum naik ke dalam bus.

Selama perjalanan, Bus melaju tak terlalu kencang. Karena memang mereka tak dikejar deadline. Jadi pak sopir diperintahkan untuk melaju santai. Walaupun begitu,  suasana di dalam bus terasa sangat menyenangkan. Ada yang bernyanyi sembari diikuti alunan gitar, ada yang heboh bermain game, ada juga yang hanya sekedar duduk-duduk menatap jalanan.

Termasuk Mia dan Kleo. Kedua gadis itu memilih untuk berbincang-bincang berdua menceritakan banyak hal, termasuk rencana Kleo yang meminta Mia mencari kekasih untuk pendamping nanti saat wisuda.

Semuanya mereka rencanakan secara detail dan sebaik mungkin.

"Lo tahu kan? Arin itu nggak bakalan tenang gangguin lo kalau lo nggak nunjukin ke dia, lo bisa punya pacar." ucap Kleo.

"Tapi dia nggak ada urusan sama gue."

"Gue tahu Mia, tapi kalau Arin, kita nggak bisa tenang gitu aja sama dia. Tu anak otaknya gila!"

"Hahahah. Lo ada-ada aja. Udah! Yang begitu begitu nanti dipikirin. Sekarang kita liburan dulu. Mumpung dapat jatah seminggu libur, dan kita ke puncak, mending kita senang-senang. Siapa tahu nanti bisa ketemu cowok tampan di puncak."

"Dih! Jauh amat neng cari jodoh."

"Hahahha. Kan siapa tahu. Si Arin aja ketemu orang Jepang, jauhan mana Jepang sama Puncak?"

"Jangan disamain. Tu anak emang perek!"

"Hussh. Ngomong lo."

"Eh emang bener kan?"

"Ya tapi jangan diperjelas."

"Biarin. Toh orangnya nggak ada disini juga."

Mia menatap Kleo lalu menggelengkan kepalanya heran. Heran kenapa Kleo begitu membenci Arin, heran kenapa Kleo tak pernah akur dengan Arin.

Seolah kedua anak manusia itu diciptakan untuk saling perang.

~

Suasana tenang terlihat di sebuah rumah sakit yang cukup besar di ibu kota. Banyak perawat yang kini berlalu lalang seperti mengejar sesuatu.

"Dokter Adit!" teriak seorang wanita di sebuah lorong rumah sakit. Wanita itu bernama Kinara. Ia berlari kecil mengejar dokter muda yang hendak masuk ke dalam ruangannya.

"Oh Mbak Kinara. Ada apa?"

"Ih Dokter, jangan panggil mbak dong. Panggil Kinara aja. Atau suster Kinara, gitu." ucapnya sedikit kecentilan. Adit hanya tersenyum menanggapi tingkah sang perawat.

"Baiklah. Apa apa suster?" tanya Adit.

"Nah, gitu kan enak didengarnya. Gini, nanti malam dokter ada kegiatan nggak? Kita yang pulang sore, akan ngadain kumpul bareng di cafe Inayya. Dokter ikut ya?!"

Adit sedikit meringis.

"Hmm, gimana ya--"

"Kenapa? Dokter Adit nggak bisa?"

"Bukannya nggak bisa, tapi--"

"Berarti nanti ikut dong?!"

Adit mendadak jengah karena omongannya selalu dipotong oleh Kinara.

"Begini Sus, hari ini sampai seminggu ke depan saya ada urusan penyuluhan. Saya diminta untuk jadi nara sumber di sana. Dan ini saya mau berangkat ke sana." ucap Adit menjelaskan.

Raut wajah Kinara mendadak suram. Ia seperti gadis yang baru saja diputus cinta.

"Apa tidak bisa ditunda besok dok?"

Adit tersenyum canggung, "Aduh gimana ya Sus. Saya nggak enak juga sama panitia acara. Maaf ya sus. Lain kali saja. Saya ke dalam dulu." tanpa menunggu jawaban dari Kinara, Adit langsung ngacir masuk ke dalam ruangannya.

Ia sungguh sudah dikejar waktu karena sekarang sudah tengah hari. Rombongan Randi pasti sudah sampai di puncak.

Setelah berganti pakaian menjadi lebih santai, ia pun keluar dari rumah sakit dan melajukan mobilnya menuju puncak.

Sementara, di Puncak, Rombongan sudah mulai mengisi kamar masing-masing dan ada yang sedang berkumpul di dapur menyiapkan makanan serta cemilan untuk rombongan yang lain. Dan tentu saja itu bagian perempuan saja.

"Hari ini kita keliling sebentar. Ada yang mau ikut?" teriak Randi dari pintu masuk.

Kehebohan langsung terjadi. Karena hampir semuanya ingin ikut dengan rombongan lain, namun tidak untuk Mia. Ia lebih memilih beristirahat di Villa.

Sementara yang lain pergi, Mia memutuskan untuk menikmati pemandangan di pandopo kecil yang disediakan oleh pemilik Villa. Pandopo tersebut menghadap ke arah pemandangan ladang dan kebun serta pegunungan. Membuat mata siapa saja yang menyaksikannya akan terpesona.

Tak terkecuali dengan Mia. Gadis itu bahkan sangat takjub. Pasalnya pemandangan seperti ini sangat sulit ia temukan di Jakarta. Karena itu ia sangat terkesima dibuatnya.

Beralih pada sisi sebelah kanan, Mia bisa melihat para petani sedang memanen banyak sayur dan buah. Mulai dari ketimun, kacang panjang, cabai, tomat dan masih banyak lainnya. Suara aliran sungai kecil juga terdengar begitu menenangkan.

Percayalah, suasana seperti ini yang banyak dicari orang untuk menenangkan diri. Terutama orang-orang yang disibukkan dengan hiruk-pikuk pekerjaan mereka di kota-kota besar.

Setengah jam bersantai, Mia merasakan matanya mengantuk. Menunggu teman-temannya sepertinya akan lama.

Mia turun dari pandopo dan berjalan menuju villa. Ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, setelah itu makan dan tidur. Karena memang tujuannya tak ikut tadi karena ingin tidur.

~

Hamparan kebun teh yang begitu luas sungguh menyejukkan pandangan mata. Angin sepoi sepoi, suara dedaunan dan ranting yang saling beradu ditiup angin, aroma dedaunan yang menyegarkan, dan jangan lupakan suara aliran sungai kecil yang ada di tepian kebun.

Seperti inilah gambaran pedesaan yang menenangkan jiwa. Siapapun pasti akan betah berlama-lama termasuk Randi.

Lelah berjalan, rombongan yang tadi ikut survei lapangan berhenti di sebuah warung kopi kecil yang juga sedang berkumpul para petani yang sedang beristirahat.

Mereka saling menyapa dan berkenalan satu sama lain. Mengakrabkan diri dan memberitahukan tujuan dan maksud mereka ada di sini.

Sempat terjadi keributan dari salah satu petani yang menolak kedatangan mereka dan mengusir rombongan. Pria itu mengatakan jika dulu juga ada yang berkunjung seperti ini. Dari kota besar juga dan dengan tujuan yang sama. Ternyata mereka malah pesta sex di Villa. Beruntung ada warga yang saat itu sedang panen buah-buahan dan datang ke Villa untuk membagikan sedikit hasil panen pada mereka. Jika tidak, pasti pesta gila itu tak akan diketahui.

Suasana yang awalnya panas, secara perlahan berubah dingin dan terkontrol. Randi sebagai ketua berhasil meyakinkan warga untuk percaya pada mereka. Bahkan Randi menjaminkan dirinya jika ada dari anggotanya yang berbuat senonoh.

Apalagi pernyataan Randi diperkuat dengan adanya nara sumber yaitu seorang dokter. Dari sanalah warga mulai melunak dan menerima rombongan dengan tangan terbuka.

"Neng yang di sana kasep pisan." sapa seorang ibu-ibu yang sedang istirahat di warung.

Arah tunjuk ibu tersebut, mengarah pada Kleo. Membuat gadis itu mendadak malu.

"Ih ibuk mah. Jangan digodain begitu. Saya bisa terbang buk."

"Iya neng. Neng cantik."

"Hahaha. Bapak bisa saja. Makasi bapak, ibuk."

"Ada yang lebih cantik dari dia buk." seru Abdil cepat membuat tatapan tajam Kleo langsung menghunus pada Abdil.

"Oh ada lagi? Mana?" wanita paruh baya itu melirik beberapa gadis di sana, namun tak ada yang lebih cantik dari Kleo.

"Dia di Villa buk. Ketiduran. Tadi kita pergi keliling, dia lagi tidur. Kasihan Juga dibangunin. Insya Allah besok dia akan ikut keliling, sama pak dokternya juga."

"Waaah. Benar? Ibuk jadi ndak sabar lihatnya. Cantik-cantik ya gadis kota. Neng neng yang dibelakang juga cantik-cantik." puji wanita itu.

Alhasil semua gadis rombongan seketika tersipu malu.

"Ya sudah atuh kenapa pada berdiri aja. Ayuk sini dimakan gorengannya. Ini juga ada minuman dingin. Minuman Hangat juga ada."

Suasana yang sudah mencair, membuat kecanggungan mereka menghilang. Berbaur satu sama lain membuat rasa kekeluargaan itu semakin erat.

~

Langit sore sudah menyapa. Dan Mia baru saja terbangun dari tidurnya dan mendapati teman-temannya masih belum kembali.

"Lama banget?" tanya Mia sambil melirik jam dinding di Villa.

Ia berjalan menuju dapur dan mengambil air minum yang disediakan dalam lemari pendingin. Meneguknya beberapa tegukan sebelum ia dihentikan oleh suara bel yang berbunyi.

Mia berjalan sedikit cepat menuju pintu masuk dan membukanya.

Namun mendadak ia membeku. Bukan teman-temannya yang datang, melainkan seorang pria tampan dengan tubuh tegap. Parasnya sungguh menghipnotis Mia untuk tak berkedip.

"Selamat sore." sapa pria itu.

namun dengan bodohnya ,Mia hanya diam. "Selamat sore mbak?" sapa pria itu lagi dan kali ini berhasil menyadarkan Mia.

"So--sore mas. Cari siapa ya?"

"Oh, iya. Apa benar ini Villa dari rombongan Jakarta? Ketua panitianya Randi."

Mia mengangguk cukup antusias, "Mas ini siapa ya?"

"Oh ,kenalkan. Saya Adit. Dokter yang diminta Randi untuk melakukan penyuluhan di sini."

Gilaaaa! Ganteng banget dokternya. Kalau begini gue betah lama-lama penyuluhannya.

Teriak Mia dalam hati. Dengan tak tahu dirinya, Mia langsung meraih uluran tangan Adit dan tersenyum sangat lebar.

"Aku Mia. Sepupunya Randi."

Mulus banget sih tu muka. Pacaran sama gue mau?

Sungguh, Mia dibuat ketar-ketir.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status