Share

Chapter 2

      Saat aku mencari siapa yang tepat,

Kau datang dengan semua pesona yang ada dalam dirimu.

*****

Mia terdiam di kamarnya. Ia masih teringat dengan tantangan yang Kleo berikan padanya tadi saat di kantin.

Mencari seorang kekasih.

Jujur, ia belum yakin dengan keberhasilan tantangan tersebut, pasalnya Ia sendiri tak berani mengatakan ia akan bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Bayang-bayang yang membuatnya menjadi seperti ini. Takut akan cinta.

Ia juga tak bisa mengatakan ia akan mampu bebas dari sepinya kisahnya dulu. Bahkan masih jelas dalam ingatannya bagaimana perceraian kedua orang tuanya sampai keduanya meninggal dan ia menjadi yatim piatu.

Kisah hidupnya sungguh klise. Penuh drama yang mengharu biru namun baginya sangat menjijikkan.

~

Hanya untuk pendamping saat wisuda. Hanya untuk itu kan? Ia pasti akan bisa dan ia akan berjuang. Walaupun ia yakin akan sangat sulit, namun ia pasti akan bisa.

Haaah!

Beginilah nasib jomblo akut dari lahir. Dipaksa mencari kekasih hanya untuk kencan satu hati saat wisuda.

Tok Tok Tok.

Suara ketukan pintu membuyaran segala pikiran kalut Mia. Ia melirik ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Di sana ia bisa melihat keberadaan Randi.

Sepupu paling tampan dan baik hati yang ia punya.

Mia menatap Randi yang berjalan mendekatinya. Dalam benaknya kini terlintas banyak pertanyaan. Salah satunya soalan Randi yang tak pernah terlihat dekat dengan seorang gadis. Lebih detailnya, Randi yang tak pernah malam mingguan dengan seorang gadis kecuali dirinya.

Apa benar ia sudah mengganggu kisah percintaan Randi?.

"Lagi sibuk?" tanya Randi pada Mia. saat pria itu sudah berdiri di hadapan Mia yang sedari tadi duduk di tempat tidur.

Mia menggeleng, "kenapa?" tanya Mia. Ia memperbaiki posisinya duduk agak ke atas dan memeluk boneka pisang sebesar guling miliknya.

"mau ngapain lo malam-malam ke kamar gue? Jangan bilang mau curhat galau lagi?"

Randi menggeleng duduk di depan gadis tersebut.

"Lo tahu kan Mia, kalau Papa selalu dengerin kemauan lo dan paling sayang sama lo! Bahkan gue yang anak kandungnya saja tak dianggap jika beliau sudah bersama dengan Lo."

Dengan bangganya Mia menganggukkan kepalanya. Karena memang fakta yang ada menyebutkan seperti itu. Ia sendiri kadang heran dengan keluarga di rumah ini. padahal ia hanyalah keponakan dari om Burhan, namun yang ia dapatkan bahkan lebih dari yang didapatkan anak kandung di rumah ini yaitu Randi.

Tapi ia tak pernah ada maksud mengambil hati keluarga ini. Jujur, ditampung untuk tinggal di sini dan diberi perhatian seperti anak saja ia sudah bersyukur. Apalagi Randi yang selalu menjaganya dan menganggap jika dirinya adalah adik perempuan yang harus dijaga. Walaupun pada nyatanya, ia dan Randi adalah seumuran.

Namun hebatnya, Randi tak marah ataupun cemburu. Justru ia selalu memanfaatkan Mia. Jika ada satu urusan yang membutuhkan izin orang tuanya yang ia tahu tak akan bisa ia dapatkan, Randi pasti membujuk dirinya untuk mau berkongsi.

Dan mendengar Randi berkata seperti yang ia dengar tadi, ia yakin Randi pasti sedang menginginkan sesuatu dan takut meminta pada kedua orang tuanya.

"Dan lo tahu kan Mia semua omongan lo selalu dituruti." ucapnya lagi dengan wajah memelas.

Lagi-lagi Mia mengangguk. Namun kali ini diikuti dengan senyuman geli.

"Gini Mia---" Randi semakin mendekatkan dirinya pada Mia.

"He ehmmm."

"lusa gue ada janji sama teman-teman buat liburan ke puncak sekaligus bakti sosial, dan gue sendiri yakin nggak bakalan dapat izin. Jadi—"

"jangan bilang lo mau minta bantuan gue buat bujuk bokap lo dan izinin lo pergi?"

Randi mengangguk dengan sangat antusiasnya. "Bahkan gue bawa lo sekalian."

"Ha? Lo seriusan? Itu kan acara lo! Kenapa bawa gue?" protes Mia.

"Ayolah Mia. Sebenarnya ini juga bisa dikatakan sebagai penyuluhan. Lo bisa keliling pedesaan di sana sambil menikmati sejuknya udara pegunungan. Dan satu lagi, kita juga datangin nara sumber yaitu seorang dokter. Jadi lo bisa tanya-tanya juga sama tu dokter. Gimana? tertarik?"

"Nggak! Lagian nggak ada urusannya sama gue. Lo yang bakalan penyuluhan, kenapa gue yang dibawa-bawa."

"Ayolah. Cuma lo yang bisa bantuin."

"Tapi kan ini urusan lo. Kalau gue nggak mau ikut gimana?"

"Lo harus ikut.!"

"Dih! Maksa."

"Mia. Gue mohon. Ini demi kinerja kesegaran otak gue. Otak gue mumet ni."

"Ya kalau mumet itu, liburan."

"Lah kan ini gue mau liburan."

"Penyuluhan itu bukan liburan."

"Liburan Mia. Makanya ikut sama gue. Dijamin seru. Di sana ada kebun stroberi. Lo bisa petikin dan mereka lagi masa panen. Lo suka stroberi kan?"

Mia diam sejenak. Ia cukup tertarik dengan tawaran yang Randi berikan. Stroberi? Oh ya Tuhan ,itu buah kesukaannya. Ia bahkan bisa menghabiskan banyak stroberi dalam sekali duduk. Tapi apa ini sungguh penyuluhan? Atau hanya tipuan yang Randi lakukan?.

Mia menatap Randi curiga.

"Kenapa lo tatap gue begitu?"

"Ini lo serius kan? Nggak bohong doang kan? Jangan-jangan ini Cuma akal-akalan lo doang."

"Ya Allah Mia. Segitu panjang lebarnya gue cerita, tanggapan lo Cuma satu, yaitu gue bohong. Gue nggak bohong Mia. Kalau gue bohong, lo bisa ambil mobil gue yang gue pinjamin ke lo. Lo bisa jadiin mobil itu sebagai hak milik lo. Gimana? Lagian gue bisa perlihatkan surat izin BakSos nya ke lo."

Setelah cukup lama berpikir, Mia akhirnya menyetujui tawaran Randi. Setidaknya ia bisa berlibur dan makan stroberi sepuasnya.

"Lo janji? Kalau lo bohong, mobil lo buat gue!"

Randi mengangguk, "Gue janji." jawabnya tegas dan yakin.

"kalau lo bohong, mobil lo jadi milik gue?" ulang Mia.

"Jadi milik lo! Bahkan gue yang bakalan bantuin pemindahan namanya nanti kalau lo masih belum percaya."

Mia tersenyum menang, "Oke. Gue bakalan bantuin lo. Tapi dengan satu permintaan."

"Permintaan apa?"

"Kleo juga harus ikut."

Randi menghela nafas panjang. Ia pikir permintaan apa yang akan Mia ucapkan, ternyata hanya bahasan tentang harus bawa Kleo. Kalau itu ia bisa menyetujuinya.

"Oke! Lo boleh bawa Kleo. Tapi lo harus berhasil bujukin bokap gue buat kasih gue izin. Gimana?"

"Kalau soal bujuk-bujukan itu perkara mudah. Lo tahu kan, om Burhan lebih percaya gue dari pada Lo!"

Randi seketika mengumpat membuat Mia langsung tertawa.

"ya udah. Besok gue coba ngomong." Ucap Mia.

Randi mengangguk. Pria itu lalu keluar dari kamar Mia. Setelah kepergian Randi dari kamarnya, Mia segera menghubungi Kleo guna memberitahukan soal ke puncak untuk mengikuti acara yang Randi lakukan nanti. Ia mewanti-wanti waktu Kleo yang harus kosong.

*****

Esok paginya, Seperti janjinya Mia semalam, pagi ini ia akan bicara dengan Om Burhan. Kebetulan hari ini hari minggu dan Om Burhan juga libur bekerja. Setelah selesai sarapan, Randi kembali mendesak Mia untuk bicara.

Sebenarnya alasan Randi tak diizinkan itu karena satu hal dan itu berhasil membuat Randi terlihat seperti anak TK yang dijaga ketat.

Hanya karena Randi anak satu-satunya dan penerus perusahaan yang sudah dirintis om Burhan sejak dulu. Sejak dua tahun pernikahannya dengan tante Linda, ibu dari Randi. Dan sejak melahirkan Randi, Tante Linda difonis dokter tak bisa melahirkan lagi karena harus menjalani pengangkatan rahim karena terserang tumor.

Kembali pada Mia,  Gadis itu berjalan mendekati Om Burhan yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Tanpa rasa takut dan ragu sedikitpun, Mia duduk di sebelah pria tersebut.

"Om. Mia boleh bicara sebentar?" tanya Mia yang memulai pembicaraan tanpa ragu.

Burhan mengecilkan volume televisinya dan fokus pada Mia.

"Bicara apa nak? Kok serius begitu?"

Mia tersenyum, "Gini om. Mia sama Randi mau minta izin sama om. Kita mengadakan penyuluhan di kota Bogor om. Mendatangi desa-desa terpencil dan mendata masyarakat di sana. Sebenarnya ini tak ada ikatannya dengan kampus, hanya inisiatif kami untuk melakukannya. Dan kami juga sudah mendapatkan nara sumber untuk ikut serta nantinya dengan kami."

Burhan menatap Mia sedikit curiga, "Penyuluhan? Bukan dari kampus?"

Mia menggeleng. "Bukan om. Ini dari organisasi remaja yang dibuat oleh teman-teman Randi. Sebenarnya rencana ini sudah lama dibuat, hanya saja baru terealisasikan sekarang. Karena harus survei dulu dan kita juga nyari nara sumber yang tepat agar cocok saat kita bawa ke sana."

Burhan mengangguk paham. "Narasumbernya siapa?"

"Seorang dokter muda, namanya Adit. Mia juga sudah kenal dengan dokternya. Dia seorang dokter dari rumah sakit Dandelion.

Di sini, Mia bisa bernafas lega. Beruntung Randi sudah menceritakan semuanya padanya.

Burhan yang percaya akhirnya mengangguk, lalu tersenyum, "Boleh. Kapan rencana kalian akan pergi?"

Mia seketika bersorak dalam hati, Randi yang mengintip dari balik pembatas tangga langsung  tak percay. Sekarang ia seperti meragukan, jika dirinya bukanlah anak kandung dari orang tuanya. Karena saat ia meminta izin seperti ini, pasti tak akan diberi izin, terutama untuk bundanyanya sendiri.

Ini sungguh tidak adil. Baginya sangat tidak adil.

Ia kembali memperhatikan Mia yang masih berbicara dengan santai dan tenang dengan ayahnya.

Dengan rasa kesal, ia kembali menuju kamarnya dan membanting pintu kamar tersebut cukup keras membuat Mia langsung tertawa.

"Kenapa dia?" tanya Burhan.

Mia hanya menggeleng sambil tersenyum.

"Makasi ya Om sudah izinin kami pergi."

"Iya. Kalau nanti butuh sesuatu, kamu bilang saja sama om ya. Nanti Om ikut fasilitasi kegiatan kalian."

Mia mengangguk, "Siap Om. Ya sudah, Mia ke kamar dulu ya Om." Pamitnya.

Burhan mengangguk. Setelahnya Mia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju kamar Randi. Dan sesampainya di kamar tersebut, ia tertawa sangat keras, apa lagi kalau bukan karena ingin menertawakan nasib Randi yang ngenes bukan main.

"Puas lo ketawanya?"

"Hahahha. Banget! Lo lihat kan tadi? Bokap lo lebih sayang sama gue ketimbang sama lo."

"Dih! Ge er. Udah sana lo keluar."

"Lah! Gue diusir."

"Iya. Lo diusir."

Bukannya marah, Mia justru kembali menertawakan Randi yang terlihat cemburu. Dan itu sangat menggemaskan.

Namun sebelum ia keluar Randi kembali memanggilnya dan mengucapkan terima kasih.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status