Share

Bab 2. Patah hati

Author: Min_zie
last update Last Updated: 2025-10-17 12:05:36

Aku memutuskan untuk pulang, tidak peduli saat itu waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Keinginanku hanya satu, yakni bertemu Adiba, putri semata wayangku. 

Hatiku hancur takala membayangkan bagaimana nasib Adiba nanti. Anak kecil yang membutuhkan sosok ayah, cinta pertama dalam hidupnya, ternyata tega menyakiti aku dan juga Adiba. 

Kecewa dan sakit hati bercampur aduk menjadi satu, bahkan aku tidak dapat menahan lelehan air mata yang terus membasahi wajah. Mengabaikan tatapan orang-orang padaku. Aku tidak peduli apapun lagi, yang ingin aku lakukan saat ini adalah menangis sampai lelah, sampai tubuhku terasa lemas dan akhirnya aku tertidur. 

Entah tertidur atau mungkin tidak sadarkan diri, sebab saat aku mulai kembali sadar, bangku kosong disampingku sudah diisi oleh seseorang.

Sebelumnya bangku tersenyum kosong, tapi di tengah perjalanan tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang menempatinya. Aku tidak peduli padanya, lebih memilih menatap ke arah samping, dimana aku bisa melihat gelapnya malam.

“Turun dimana, kak?” tanyanya, membuatku terpaksa menoleh. 

“Stasiun depan,” jawabku singkat.

“Kalau begitu sama,” ia lantas tersenyum manis, tapi aku hanya membalas dengan gumaman pelan. Tidak ingin ada obrolan lebih panjang lagi, aku memutuskan untuk menutup wajah dengan menggunakan masker, kembali berpura-pura tidur agar lelaki itu tidak lagi mengajak bicara. 

Perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu lumayan lama, aku sampai di stasiun Jakarta kota sekitar pukul sepuluh malam. 

Ayah mertua sempat mengirim pesan, bahkan ia akan menjemputku di stasiun.

Saat turun dari bus, di dekat pintu keluar aku melihat lelaki paruh baya itu melambaikan tangannya ke arahku. Senyumnya begitu lembut, selembut kasih sayang yang mereka curahkan untukku. Sebagai seorang anak yang dibesarkan di panti asuhan dan tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua yang sesungguhnya, keluarga Mas Angga memberiku itu semua dimana kedua orang tuanya begitu menyayangiku. Bahkan mereka tidak menganggapku sebagai menantu, melainkan seperti anak kandung sendiri. 

“Ayah nunggu lama?” tanyaku, saat melihat botol minuman di tangan Ayah sudah habis.

“Lumayan,” Jawabnya dengan senyum.

“Ayo, pulang. Adiba dan Ibu udah nunggu.” ajaknya.

Aku mengangguk, menerima helm yang akan digunakan selama perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh menit. Lumayan jauh dari lokasi stasiun. 

“Bagaimana keadaan Angga?” tanya ayah.

“Baik,” jawabku singkat. 

Aku tidak berbohong, keadaan Mas Angga memang baik, bahkan sangat baik. Hanya aku yang terluka. 

“Tadi dia sempat nanyain kamu, katanya Hana udah sampai atau belum.”

“Ponselku mati, baru dihidupkan tadi, saat mau sampai.” kali ini aku berbohong, aku memang tidak mau menerima pesan atau panggilan dari Mas Angga, lagipula untuk apa dia masih peduli padaku? 

“Sudah makan?” 

“Sudah.” lagi-lagi aku berbohong.

“Ayah mau makan soto nih, di gang depan sana.” 

“Beli saja, Hana temani.” 

Motor yang dikendarai ayah berbelok menuju gang tempat penjual soto. Di sana kami memesan dua mangkok soto, satu untukku dan satu lagi untuk ayah. Sejujurnya aku sudah tidak berselera makan, hanya saja ayah memaksa. 

Sulit untuk menghabiskan satu mangkok soto meksi aku sudah memesan setengah porsi. Bahkan saat menelan pun rasanya begitu sakit. 

“Seharusnya kamu tidak memaksakan diri ke Bandung, tunggu sampai Angga kembali saja.” Ayah menyodorkan segelas teh panas padaku.

“Kamu terlihat nggak sehat.” lanjutnya.

Sebelum datang ke Bandung kondisiku memang sudah tidak baik, selain demam dan flu, aku juga kerap merasa sakit di bagian kepala. Tapi sakit itu ternyata bertambah parah dengan terkuaknya perselingkuhan Mas Angga dengan tetangganya Mbak Kinan.

“Besok mau minta Mas Aldi belikan obat,” jawabku. 

“Yaudah, sekarang kita pulang dan istirahat.”

Rencananya memang seperti itu, aku ingin sekali istirahat dimana tubuh dan pikiranku terasa begitu kacau, namun saat sudah ada di rumah, di dalam kamar bersama putriku, Adiba. Aku tidak benar-benar tidur, yang terjadi justru aku kembali menangis, meratapi nasib yang akan kau terima nantinya.

Jelas aku tidak akan mau bertahan, apapun alasannya. Tapi setelah menyandang status janda, aku harus kemana? Apakah aku harus kembali ke panti seperti beberapa tahun lalu?

Lalu bagaimana dengan Adiba?

Anak kecil itu tidak mungkin kubawa kesana dimana kehidupan jauh dari kata layak. 

Aku terus menangis sampai benar-benar merasa sangat lelah, hingga kedua mataku akhirnya tertutup. Aku benar-benar lelah, sambil memeluk putri kecilku dengan erat. 

“Bunda akan membawamu, kemanapun Bunda pergi.” bisikku di dekat telinganya..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 11

    Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 10

    “Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi  denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 9

    “Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 8

    Beberapa orang datang, berkerumun hendak menolong. Aku menoleh ke arah Pak ojek, lelaki itu tergeletak tidak berdaya bahkan tidak terlihat pergerakan sedikitpun, hanya tertelungkup dengan helm penutup kepalanya lepas entah kemana. Yang membuatku semakin terkejut yakni saat melihat darah segar mengalir dari hidung dan keningnya. Lelaki tua itu mengalami luka parah, tidak seperti diriku yang masih dalam keadaan sadar, walaupun aku tidak bisa menggerakkan salah satu kakiku. Entah terkilir atau parah, aku tidak tahu pasti. Sakit dan panik bercampur aduk, beberapa orang langsung menolong kami. Aku dibawa oleh seorang lelaki, memangku tubuhku dan segera dilarikan ke ruang IGD. Aku masih terus menoleh ke arah Pak Ojek, dan lelaki itu masih belum juga sadar. Aku semakin takut dibuatnya.“Tolong berbaring, kami harus memeriksa.” seorang perawat menginstruksikan padaku untuk diam, namun aku masih belum bisa tenang sementara bapak itu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 7

    “Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya. “Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?” Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya. “Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya. “Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja. “Iya, cantik sekali.” Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini. Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 6. Menyelamatkan diri

    Sampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau. Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar.“Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh.Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status